Lelaki Laut
Aku akan memanggilmu Cemara dan kau bisa memanggilku Laut.
Kau tak perlu mengetahui namaku sebagaimana aku tak membutuhkan namamu. Jika sebuah nama diperlukan untuk membuat seseorang menengok saat kita memanggilnya, maka sama sekali kita tak membutuhkannya. Sejak saat ini, kita bisa saling berjanji bahwa aku akan menoleh saat kau memanggil dengan sebutan Laut dan kau akan menengok pada saat kupanggil Cemara. Ini sama sekali bukan sesuatu yang rumit kan?
Ketika diketahuinya perempuan itu tak menyahut, laki-laki itu merasa telah menang. Ia yakin bahwa kalimat-kalimatnya barusan sungguh mempesona, sebaris aksara yang disusun secara rapi sedemikian rupa sehingga siapapun yang mendengarnya akan berdecak. Laki-laki itu amat yakin. Sejak awal membuka obrolan, ia sudah percaya pada kemampuannya untuk berdiplomasi—lebih tepatnya: berakrobat kata-kata.
Di hadapan lawan bicaranya yang ia taksir tak pernah membaca banyak buku itu—apalagi yang berisi puisi—lelaki itu telah tahu bahwa kemenangan akan berpihak kepadanya. Bekalnya lumayan banyak dan dengan itu ia akan selalu yakin banyak kekaguman yang akan disemat baginya. Dan hari ini, beberapa detik silam, ia membuktikan kepercayaan dirinya itu.
Perempuan itu telah takluk, demikian ia membatin.
Kenapa harus laut?
Ketika kalimat tanya dari lawan bicaranya itu terlontar, lelaki itu merasa kemenangan benar-benar sudah ia genggam. Perempuan itu bertanya. Ia penasaran. Itu artinya aku menang. Lelaki itu girang bukan kepalang. Ia tersenyum tanpa berusaha kelihatan bangga. Lalu sebentar ia mengerutkan keningnya. Ia sedang berusaha tampak berpikir. Atau memang, pada akhirnya, ia benar-benar berpikir.
Sebab, meskipun sudah menebak bahwa perempuan itu akan bertanya demikian—lebih dari itu, ia memang mengharapkan perempuan itu akan menanyakan hal tersebut—lelaki itu ternyata tak pernah benar-benar menyiapkan jawaban. Barangkali ia terlampau percaya diri sehingga ia mengharapkan otaknya bisa segera menyembulkan jawaban jika kalimat tanya yang demikian benar-benar diajukan padanya. Namun, kini, ia tak bisa mengandalkan kepercayaan diri semata.
Kenapa aku ingin dipanggil Laut?
Laki-laki itu mengulang kalimat tanya sang perempuan, mungkin supaya terlihat lebih dramatis. Tapi alasannya mengulang kalimat tak perlu itu adalah karena ia butuh waktu, meskipun hanya sejengkal detik, untuk berpikir, merangkai kalimat, dan melontarkannya secara dramatis. Minimal, jawabannya itu harus mengeluarkan pesona yang sama dengan kalimat-kalimat sebelumnya.
Ketika beberapa detik berlalu dalam hening, lelaki itu sadar: meraih kemenangan memang lebih mudah ketimbang mempertahankannya. Ia mulai berkeringat dingin. Beberapa kelebat sajak yang pernah ia baca memang melintas di benaknya, sejumlah kutipan agung yang entah dari mana ia comot juga berjalan-jalan di otaknya. Tapi semuanya seakan tidak berguna. Ia masih belum menjawab pertanyaan itu. Perempuan itu pasti menunggu, ia menggumam dalam hati dengan keyakinan yang dipenuhi belas kasihan pada diri sendiri.
Pada sebuah malam yang membosankan, sebagaimana malam-malam yang kerap ia lalui, laki-laki yang ingin dipanggil Laut itu menghidupkan televisi dan dengan berat hati duduk takluk di hadapannya. Lelaki itu membenci televisi. Sungguh, ia telah mewartakan pendiriannya kepada banyak rekannya, sejumlah tetangganya, dan beberapa manusia yang tak dikenalnya sama sekali.
Tapi malam itu ia takluk. Hawa di rumahnya begitu gerah dan tak ada yang menurutnya bisa dilakukan kecuali menghidupkan televisi. Untuk sementara, aku akan meninggalkan buku-buku dan sajak-sajak itu, katanya dengan bangga—bahkan dalam kesendiriannya yang paling pelosok, ia masih menemukan alasan untuk berbangga pada dirinya sendiri.
Televisi hidup, dan lelaki yang ingin dipanggil Laut itu berusaha keras mendapatkan tayangan yang sedikit berbobot berdasarkan seleranya. Ia menghindari sinetron tentu saja dan juga infotainmen. Debat politik tentang pemilu juga dilewatkannya karena ia sungguh-sungguh yakin bahwa para politisi yang malam itu hadir di layar kaca hanyalah tukang isap.
Satu-satunya acara yang kemudian membuatnya tertarik hanyalah sebuah film asing yang disiarkan satu stasiun televisi swasta. Pada mulanya, lelaki itu tak meyakini ketertarikannya sendiri. Namun begitu mulai memahami alur kisahnya, laki-laki yang ingin dipanggil Laut itu pun merasa mantap. Ia menyimak serius, tiap dialog penting yang menurutnya puitis diingatnya dalam-dalam. Momen-momen visual yang dianggapnya sentral dan bisa memberi banyak makna segera ia hapalkan di luar kepala.
Di akhir kisah, lelaki itu menangis saat menyadari sepasang kekasih yang saling mencintai itu ternyata dipisahkan oleh takdir yang kejam. Laut yang mengamuk, kapal yang karam, tangis ratusan manusia. Momen-momen itu menggetarkannya.
Tapi yang paling membuatnya kagum adalah kenyataan bahwa sepasang kekasih yang dilihatnya dalam film itu ternyata baru saja saling kenal di atas kapal yang mereka tumpangi. Sebelum pelayaran itu, mereka tak memiliki relasi apapun. Pelayaran itulah yang membikin benih-benih asmara tumbuh. Lautlah yang menyatukan mereka, kata laki-laki itu sembari melupakan bahwa laut pula yang memisahkan keduanya.
Sejak saat itu, lelaki itu sangat ingin dipanggil Laut.
Secara gaib, setelah tontonan yang membuatnya merasa telah mengalami semacam metamorfosa itu—sebuah kata yang bisa dipastikan amat hiperbolis—lelaki itu teringat sebuah puisi dari seorang penyair kebanggan negerinya. Sebuah puisi yang dulu di masa-masa patah hatinya begitu ia kenang dan banggakan. Ia hafal puisi itu luar kepala dan dulu ia amat sering membacakannya keras-keras di kamar mandi saat sedang beol atau mandi.
Ingatan tiba-tiba akan sajak patah hatinya membuat lelaki itu takjub. Ia merasa seolah mendapat sebuah ilham, semacam wangsit. Ketakjuban tersebut tambah menjadi tatkala ia sadar bahwa di bait terakhir sajak itu, laut juga disebut-sebut. Ya, potongan baris terakhir sajak itu berbunyi: “di laut tidak bernama”. Laut yang tidak bernama, lelaki itu menggumam beberapa kali. Laut tidak bernama.
Sejak saat itu, lelaki itu benar-benar ingin dipanggil Laut.
Keinginan itu menemui penyalurannya beberapa menit lalu saat ia bersua perempuan itu. Dengan yakin ia mengatakan: Aku akan memanggilmu Cemara dan kau bisa memanggilku Laut. Ini tentu saja awalan ganjil bagi sebuah perkenalan. Tapi laki-laki itu memang hendak tampak ganjil di hadapan perempuan itu. Kalimat pembuka itu kemudian dengan yakin disusul kalimat-kalimat lain yang tak kalah ganjil. Tapi sekali lagi, laki-laki itu memang menginginkan hal yang demikian.
Laki-laki itu tampak puas dengan awalan ganjil itu dan sempat membayangkan seandainya perkenalan ini dilakukan di atas kapal yang berlayar di lautan lepas, sebuah laut tidak bernama—laki-laki itu barangkali alpa bahwa hampir tiap lautan di bumi ini kini telah memiliki nama. Ya, seandainya ia punya kesempatan mewah macam itu.
Kenyataannya tak semewah bayangan lelaki yang ingin dipanggil Laut itu. Ia hanya duduk di hadapan komputer warnet, membuka Yahoo Messenger, dan tiba-tiba menemu sebuah nick name yang aneh: Gadis Cemara. Lalu tiba-tiba ia nyelonong membuka obrolan dengan si empunya nick name ganjil itu. Basa-basi sebentar, lalu ia mulai tebar pesona dengan kata-kata ganjilnya.
Bahkan lelaki yang ingin dipanggil Laut itu tak pernah tahu apakah Gadis Cemara memang benar-benar sosok perempuan. Tapi kenyataannya, ia tak pernah meragukan bahwa sosok yang kemudian dipanggilnya Cemara itu memang perempuan. Ia sadar bisa saja menjadi korban kebodohannya sendiri tapi keyakinan dirinya begitu kuat. Dan ia selalu merasa tak pernah dibohongi oleh kepercayaan dirinya.
Kenapa harus laut?
Kalimat tanya yang diulang oleh kawan chattingnya itu membuat lelaki itu kembali gugup. Sedari tadi, ia belum menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Kali ini, ia benar-benar tak bisa mengandalkan kepercayaan atau kebanggan dirinya.
Di seberang, sang Gadis Cemara tertawa, diawali dengan senyum, lalu terpingkal-pingkal sendiri. Sejurus kemudian ia mengganti status Facebook-nya: sedang mengerjai laki-laki yang ingin dipanggil Laut. 😀
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
halah dowone mas, akhirnya cuma sampek fesbuk… wahaha… bacanya udah serius mode on…
Kasihan si Laut mas dikerjain habis-habisan si gadis cemara..
*glodak*
fiksi ini sangat kini ya, haris
pingsan… selagi mbaca… dowo pol… xixixixix fesbukan… wkwkwkwkwk…
rupa-rupanya lelaki yang ingin dipanggil laut ini mengalami traumatik terhadap laut. ia berusaha melawannya. ia kemudian ingin dipanggil laut. ia menantang laut.
laki-laki laut terdampar. bukan. bukan di pulau tak bertuan. bukan pula sebab diadang gerombolan lanun. laki-laki yang ingin dipanggil laut terdampar di warnet. dunia kotak 3 x 3 m yang membuka imaji seluas cakrawala.
datang gadis cemara. sang laki-laki tak kuasa menutupi kekagumannya. sang gadis bergeming.
katanya: pergi ke laut aja!
ha-ha-ha.
salam.
perkenalan yang jelimet, tak perlulah…
karena perkenalan awal hanya cukup basa-basi apakah menjadi dekat atau bahkan sekedar tahu itu persoalan nanti. Jadi, komunikasi mengalir dululah… tapi jika terancang, hmmm…bisa-bisa hanya sekedar unjuk kemampuan..
@suryaden
facebook itu kan sesuatu yang sangat serius, mas. sangat serius loh. dan ending cerpen ini justru merupakan puncak keseriusan itu:)
@nona senja
ha3. senangnya ada yang mengerti saya:D
@masmpemp
tafsir yang bagus, mas. sangat bagus! terima kasih.
@boyke
justru di soal itulah paradoks dan inti keseriusan kisah ini, mas.
tentu film yang ditonton tokoh bernama laut ini Titanic,bukan?Begitulah.-JBS-
very nice…
lelaki laut? ah, tokoh dalam fiksi yang cukup menarik. kira2 ada ndak lelaki gunung, mas haris? hehehe …..
lelaki laut siapanya lelaki kabut, mas?
=D
oalah agus… agus…. fesbug to, hehehe…. salam kenal….
hehe.. ternyata manusia dan hewan sama aja ya. merak jantan pamer bulunya, kunang2 berlomba cahaya siapa yang paling terang, jangkrik ingin deriknya lebih keras daripada jangkrik lain. semua itu dilakukan untuk menarik perhatian betinanya.
laki-laki laut, seorang laki-laki tak berpengalaman yang berpikiran pendek dan bodoh. Dia hanya bisa meniru, tapi tidak sadar kalau tiruan selamanya tidak sama dengan aslinya. 😀
dowone eram..