Bung Kecil
100 tahun Sutan Sjahrir
Jika Hatta memilih buku dan Soekarno menyukai rapat raksasa, Sjahrir mengintimi anak-anak dan petualangan.
“Pukul setengah lima pagi, saya sudah bangun dan siap, dan pukul setengah enam, kami sudah berada di laut. Kami mengatur sendiri layar dan kemudi. Selam tiga jam, perahu melaju, karena angin yang membantu. Melintasi kebun laut, menyaksikan matahari terbit yang gemilang. Kemudian, mendarat kembali. Di pantai kami menghabiskan sisa hari, dan makan.”
Ditulis pada 12 Oktober 1936, kalimat-kalimat itu adalah bagian dari sebuah surat yang dikirimkan Sutan Sjahrir pada istrinya, Maria. Sjahrir tidak sedang menjalani pariwisata ketika menulis dan kemudian mengirimkan kabar tersebut. Masa-masa itu, ia sedang diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Banda Neira bersama Hatta dan sejumlah tokoh pergerakan lain.
Jika kemudian nada suratnya seperti turis yang bahagia, barangkali memang demikianlah keadaan Sjahrir di sana kala itu. Meski sedang menjalani masa pembuangan, Banda Neira memang terlalu indah untuk membuat Sjahrir bersedih. Dalam pucuk surat lainnya, Sjahrir bahkan menyebut tempat itu sebagai “benar-benar sebuah firdaus”.
Di Banda Neira, Sjahrir berteman dengan anak-anak keluarga Baadila—seorang keturunan Arab yang rumahnya ia tumpangi. Does, Des, Lily, dan Mimi—anak-anak di keluarga itu—segera jadi temannya. Sementara Hatta memilih tenggelam dalam buku dan majalah, Sjahrir memilih mengajar anak-anak itu, membuatkan pakaian untuk mereka, memasak untuk dimakan bersama. Dan, seperti kita baca dari potongan surat Sjahrir, mereka—Sjahrir bersama empat anak itu—juga melakukan petualangan yang menggairahkan dan kadang edan: berenang di pantai, menyeberangi teluk, mendaki gunung api. Surat yang bagiannya saya kutip tadi merupakan catatan mengenai salah satu petualangan yang terlihat sangat bahagia sekaligus menggairahkan.
Tatkala membaca esai Goenawan Mohamad yang berkisah tentang periode pengasingan Sjahrir di Banda Neira, saya terpesona dengan penggambaran Sjahrir sebagai sosok yang rileks, bebas, dan kanak-kanak. Sebagai sebuah narasi biografis, esai berjudul “Sjahrir di Pantai” itu memang hanya memotret sebelah—atau malah lebih kecil dari itu—hidup Sjahrir. Yang hadir dalam esai itu adalah Sjahrir yang bahagia dengan hal-hal kecil dan seperti mengabaikan politik dan intelektualisme—dua pokok besar yang konon merupakan bagian terpenting dalam hidup sang Bung Kecil.
Dalam hampir semua pembicaraan mengenai dia, Sjahrir memang jarang dilepaskan dari politik dan intelektualisme. Dalam esainya di Jurnal Prisma tahun 1977, YB Mangunwijaya menyebut Sjahrir mengalami dilema antara dua pokok itu: ia seolah terombang-ambing antara posisinya sebagai pemikir dan politikus. Masa-masa awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mengharuskan Sjahrir duduk sebagai wakil Indonesia dalam perundingan dengan Sekutu karena dialah yang dianggap bebas dari kolaborasi dengan Jepang, paling tidak jika dibandingkan dengan Soekarno dan Hatta yang memilih kooperatif dengan Jepang. Faktor itulah yang membuatnya terpilih sebagai Perdana Menteri pertama negara kita pada November 1945.
Sebagai intelektual, Sjahrir adalah sosok yang dianggap sangat rasional—kadangkala disebut sebagai “terlalu rasional”. Sejarawan MT Arifin, saat peringatan 100 tahun Sutan Sjahrir di Solo pada 7 Maret lalu menyebut, hal yang menonjol dari pribadi Bung Kecil adalah kecenderungannya untuk selalu berpikir dan mengajak kawan-kawannya untuk berpikir. Dalam hal inilah, ia menyimpang dari jalan yang dipilih Soekarno. Jika Soekarno memilih agitasi, penggelembungan emosi, dan rapat-rapat raksasa yang penuh bombasme tapi miskin argumentasi dan debat, Sjahrir memilih pengkaderan sebagai jalan perjuangan. Ia lebih menyukai mendidik sejumlah kecil manusia secara ketat dan rasional daripada membakar semangat rakyat dengan pidato-pidato yang hiperbolis.
Pilihan jalan itulah yang konon menyebabkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpinnya kurang mendapat dukungan massa luas tapi memiliki kader-kader berkualitas yang berperan menentukan dalam perjalanan Indonesia. MT Arifin bahkan menyebut para kader Sjahrir bermain dan memiliki peran menentukan dalam suksesi kepemimpinan tahun 1966 yang menyingsingkan fajar Orde Baru. Para teknokrat Orde Baru sekaligus para pengkritiknya, banyak digerakkan oleh jaringan PSI. Jaringan ini pula yang menurut MT Arifin ikut meletuskan Peristiwa Malari tahun 1974. Sampai hari ini, kata MT Arifin, jaringan PSI masih tersebar di Indonesia, di antaranya di kalangan elite jurnalis Kompas, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Golkar, dan bahkan di Kabinet Indonesia Bersatu.
Di kalangan IMM, MT Arifin menyebut nama Muhammad Djazman al Kindi sebagai kader PSI yang menurutnya giat membangun wacana intelektual di organisasi mahasiswa tersebut. Sejumlah kader PSI dari Bandung yang kemudian bergerak di bidang politik dan intelijen melahirkan sejumlah tokoh pilitik nasional yang sempat aktif di Golkar: Fuad Hassan, Marzuki Darusman, Juwono Sudarsono, dan Sarwana Kusumaatmadja. Bahkan Suripto, salah satu pembesar PKS, juga disebut-sebut sebagai kader PSI Sjahrir. Nama terakhir yang disebut MT Arifin sebagai kader PSI adalah Mbak Anik alias Sri Mulyani yang kini menjabat Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu.
Saya tak terlampau tahu apakah nama-nama yang disebut MT Arifin itu punya relasi langsung dengan Sjahrir dan PSI, ataukah mereka sekadar simpatisan yang punya hubungan “tak langsung” saja dengan PSI. Yang jelas, jika kita percaya pada kesahihan data yang disampaikan MT Arifin, maka pengaruh Sjahrir ternyata sangat besar dan panjang. Model pengkaderan Sjahrir ternyata memiliki jejak yang bisa kita runut sampai sekarang.
***
“Dalam arti yang sangat nyata saya sadar, bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia….”
Beberapa jam setelah Sjahrir dinyatakan meninggal, kalimat itu diucapkan Soedjatmoko sebagai komentar atas sosok manusia Sjahrir. Saya tak tahu, adakah Soedjatmoko tak melenceng: bahwa Sjahrir memang seorang politisi yang gagal. YB Mangunwijaya memang menengarai bahwa sebagai pemimpin, Sjahrir pernah membuat salah perhitungan terkait kondisi Indonesia.
Salah hitung itu berlangsung dua kali. Pertama, Sjahrir keliru saat memperkirakan gerakan kaum buruh di Eropa Barat bisa diandalkan sebagai sekutu yang ampuh untuk menggulingkan kapitalisme yang berwatak imperialistis. Alih-alih menjadi makin progresif, gerakan buruh di negara-negara itu justru makin konservatif karena kemampuan dunia industri untuk “menjinakkan” mereka. Kondisi ini membuat gerakan buruh di negara-negara Blok Barat sama sekali tak mungkin diharapkan memerangi kapitalisme.
Kedua, ia menilai Belanda cukup rasional untuk mengatasi persoalan yang muncul ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan. Sjahrir—dan juga para pemimpin pergerakan kala itu—tak mengira bahwa Belanda ternyata bertindak amat tolol dengan melakukan agresi militer ke Indonesia yang kala itu sudah menyebut diri merdeka. Penilaian ini tentu saja lancung karena Belanda ternyata menyerang Indonesia sebanyak dua kali setelah 17 Agustus 1945.
Barangkali, dua kesalahan itulah yang membuat kabinetnya tak populer. Ditambah ketidaksukaan Soekarno dan PKI terhadap dia—ini terjadi ketika politik Indonesia mulai mengenal intrik kekuasaan—a
khirnya Sjahrir memang tersingkir. Dituding terlibat dalam insiden pelemparan granat terhadap iring-iringan Presiden Soekarno sehingga ia ditangkap pada 16 Januari 1962 pukul 04.00 pagi. Pada 9 April 1966, Bung Kecil meninggal setelah pengobatannya ke Swiss tak membuahkan hasil. Pada hari meninggalnya ini pula, Sjahrir langsung dinobatkan sebagai “Pahlawan Nasional”—sesuatu yang kelak oleh Taufik Abdullah dibahas sebagai semacam “kontroversi”.
Mungkin yang dimaksud Soedjatmoko sebagai “kegagalannya dalam politik” adalah tersingkirnya Sjahrir dari tampuk kuasa Indonesia. Namun, jika kita membaca komentar Sal Tas, sahabat karib Sjahrir, pandangan soal “kegagalan dalam politik” itu mungkin bisa diperdebatkan. Dalam sebuah kenang-kenangan yang ditulisnya mengenai masa pembuangan Sjahrir di Banda Neira, Sal Tas menulis:
“Di lubuk hatinya, Sjahrir tidak menyukai politik. Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tidak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi—yang kita sebut politik.”
Jadi, jika seseorang tak pernah mencintai politik dan hanya terjun ke dalamnya karena “terpaksa”, adilkah kita mendakwanya sebagai “gagal dalam politik”?
Barangkali karena “keterpaksaan”-nya dalam politik itulah Sjahrir amat menikmati masa-masa di Banda Neira—tempat yang “benar-benar sebuah firdaus” itu. Di sana, ia bisa lepas dari ketegangan politik dan menemukan dunia kanak-kanak sebagai “dunia baru” yang segera ia sukai. “Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian dan problem,” kata Sal Tas.
Namun kita tahu: Sjahrir, sebagaimana tiap pimpinan pergerakan, tak pernah benar-benar bisa menghilang ke dalam dunia macam itu. Ia, seperti kata Sal Tas, hanya “seakan-akan” menghilang di sana. “Dunia yang penuh ketegangan, pertikaian dan problem” itulah yang ironisnya menjadi dunia Sjahrir—juga dunia kita secara umum.
Sukoharjo, 8 Maret 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Kegagalan dalam berpolitik bisa menjadi sebuah tanda kebesaran. Semoga caleg-caleg yang bakal legrek bisa bercermin dari kisah ini. Kegagalan yang termaknai dengan indah.
Terima kasih, Mas Haris, sudah membuat posting ini, membawa saya pada pengenalan lebih jauh tentang Sjahrir yang humanis dan cinta anak-anak. Tulisan ini berenergi.
Salam,
Sidik Nugroho
P.S.
Btw, ada salah satu kata:
“Pada 9 April 1966, Bung Kecil meninggal setelah ia pengobatannya ke Swiss tak membuahkan hasil.”
@ sidik nugoroho
saya tak tahu bagaimana sjahrir memaknai “kegagalannya” itu, mas. mungkin juga dengan getir yang menyayat-nyayat.
btw, terima kasih ralatnya. telah saya betulkan.
Tulisan ini cukup membantu pengetahuan saya tentang Sjahrir anak manusia yang pernah hidup sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar hingga kini.
saya sangat merindukan munculnya sjahrir2 baru di negeri ini, mas haris. kalau memang jadi intelektual, jangan sampai dilacurkan dg persoalan2 pragmatis. jadi makin repot!
MT Arifin tak salah, darah Sjahrir mengalir begitu kuat dan menginspirasi sejumlah orang hingga kini. Mereka bisa saja mengelak telah mengikuti jejaknya karena tak mau dicap penganut politisi gagal, tapi gaya dan ruh lakunya memang khas sang pemikir tulen itu.
sama dengan pak sawali, indonesia butuh dan rindu syahrir2 masa kini.
kapan pada muncul ya?
opo kowe wae??
belum sempat nih baca2 biografi
thx infonya
Adilkah Sjahrir dianggap “gagal dalam politik”? Menurut saya adil!
Sjahrir mungkin tidak mencintai “politik”, tapi istilah “terpaksa” yang kau gunakan saya kira tidak tepat. Bagi Sjahrir, politik di luar kategori “cinta” atau “terpaksa” atau “benci” atau “rindu”. ia sesuatu yang niscaya, sesuatu yang mau tak mau, boleh tak boleh, ingin tak ingin, akan diambilnya.
seperti menggemakam kata2 minke saat dimintai paraf sbg persetujuan agar ia tak mau lagi berpolitik, sjahrir pernah menulis: saat kita memutuskan utk tidak berpolitik, kita sesuangguhnya sedang berpolitik.
Istilah “terpaksa” juga tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana ia dengan susah payah membangun Partai Sosialis Indonesia. Ia tahu bahwa sekali mendirikan partai ia harus menerima kemungkinan kalah atau menang, berhasil atau gagal.
Daripada mengajukan ketegori “terpaksa” atau “cinta” dalam soal politik di mata sjahrir, sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna, jauh lebih tepat mengajukan pertanyaan: politik seperti apa yang diinginkan Sjahrir dan politik yang macam apa yang ditolak Sjahrir?
silakan dijawab dalam postingan berikutnya!
😀
@ zen
terima kasih pendapatnya. soal pertanyaanmu itu (aku jawab di coment aja ya?ha3), kalo tak salah YB Mangunwijaya sudah menjawabnya dalam esai yang kukutip di postingan ini, terutama di dalam subjudul “Sjahrir dan politik yang bersih”. barangkali kalimat2 Sjahrir yang dikutip dalam esai itu bisa menjadi ilustrasi:
“Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menjepitkan kehidupan kemanusiaan,…Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan semata-mata…Berhadapan dengan dunia, kita tidak menggunakan jalan-jalan dan akal-akal yang licik utk mencapai maksud kita….”
itu karakter politik yang mungkin diinginkan Sjahrir–juga para bapak bangsa di awal kemerdekaan–yang disimpulkan oleh Romo Mangun sebagai “politik yang bersih”–sebuah konsep yang mungkin problematis jika kita bercermin pada wajah politik kita sekarang. selain soal itu, setahuku Sjahrir juga menginginkan politik yang didasari rasionalitas, bukan pembakaran emosi. oleh karenanya, dia mementingkan pengkaderan dan pendidikan rakyat.
kau bisa meluruskan jika masih ada yang bengkok, zen.
ya.ya. berat. tapi menarik dikomentari.
1. Ada satu ‘pamflet’ berjudul ‘Quo Vadis Gerakan Kiri Indonesia’, ditulis oleh mantan aktivis GMNI (atau CGMI, sayang namanya lupa?): ‘kebesaran’ PSI telah menjadi legenda yang terkadang lebih besar dari apa yang sebenarnya dilakukan PSI. Pada masa-masa orde baru, bila ada seorang terlihat kritis, serta merta aktivis-aktivis prodemokrasi sering menggosip di belakang: itu orang PSI. Meskipun kadang-kadang orang tersebut sama sekali tak mengenal PSI. Kaderisasi PSI disebut-sebut sebagai ‘paling berhasil dalam sejarah politik nasional’ meskipun menurut Soebadio Sastrosatomo–yang jelas pengikut si bung: ‘kepercayaan’ ini tak selalu benar. mendekati klenik barangkali. soebadio sendiri tak selalu sepakat dengan si bung. mungkin soebadio ingin mengatakan bahwa kaderisasi PSI tidak selalu berarti kaderisasi Sjahrir sebagai pribadi.
2. Karena itu saya masih ragu dengan ‘keterlibatan PSI dalam Malari 1974′. Kalau dalam Peristiwa Kerusuhan Rasial 10 Mei 1963 di Bandung saya kira masih relevan bila PSI dikaitkan-kaitkan. Mengingat eksponen PSI masih aktif, seperti Sudjatmoko atau Sumitro Djojohadikusumo dengan Gerakan Pembaruannya, di mana Gie ada di dalamnya. Rahman Tolleng disebut-sebut sebagai pegiat PSI Bandung dari kalangan mahasiswa (Unpad).
3. Sjahrir jelas memiliki karakteristik ‘kelas menengah’ seperti halnya Soekarno maupun Hatta. Sjahrir berasal dari keluarga aristokrat minang, bahkan dia sendiri bergelar Sutan. dalam sosiologi kebudayaan masyarakat sumatera gelar sutan adalah gelar tertinggi dalam masyarakat adat, karena mereka tak mengenal ‘raja’ seperti halnya di jawa. diantara ketiga tokoh ini saya kira Soekarno yang paling ‘merakyat’ dalam batas-batas minimal. Soekarno pula yang paling otentik ‘tergetar hatinya’ melihat penderitaan rakyat dengan mengintroduksi istilah bagi kelas sosial masyarakat sebagai ‘Marhaen’.
4. Saya kira Sjahrir tidak ‘gagal dalam politik’. Sjahrir hanya ‘kalah dalam pertarungan’ itu. Diplomasi Sjahrir jelas menyelamatkan orok revolusi di bulan-bulan awal kemerdekaan. Diplomasi Sjahrir pula yang membuat Letjen Christison panglima tentara sekutu di Indonesia mengakui republik secara de facto. Diplomasi Sjahrir pula yang membuat Belanda mengakui secara de facto dan de jure atas sumatera-jawa-madura. Diplomasi ini paling realistis ketimbang ‘Merdeka 100%’ dari Tan Malaka. Tan saat itu memang terhitung senior, tapi ia tak punya kaki. masyarakat tak kenal dia. jepang dan sekutu tak mungkin bekerjasama dengannya. Tan juga tak punya akses ke KNIL (sebagaimana Sjahrir) maupun PETA (yang disebut terakhir realitasnya menguasai tentara nasional). 146 organisasi pendukung Persatuan Perjuangan yang digagas tan pun rontok dalam hitungan tak sampai berbilang tahun.
5. Y.B. Mangunwijaya. Saya tak tahu pasti apakah dia seorang simpatisan PSI atau bukan. Namun Romo Mangun jelas pengagum Sjahrir seperti ia tulis secara memikat dengan sudut pandang antagonis dalam novelnya ‘Burung-Burung Manyar’.
6. PSI jelas kalah (telak) dalam Pemilu 1955. Tapi Pedoman yang dikomando Rosihan Anwar masih menulis tajuk: ‘Pilihan Kita: PSI’ untuk Pemilu Konstituante 1957. Rosihan tak pernah memiliki Kartu Tanda Anggota PSI, namun dicalonkan menjadi anggota konstituate mewakili PSI. Rosihan tak jadi anggota konstituante. wakil PSI dalam lembaga pembuat UUD ini adalah Sudjatmoko.
7. Tak penting dan relevan. namun saya baru tahu bila Chairil Anwar ternyata kemenakan Sjahrir.
wow.
terus terang saya ‘asing’ dengan syahrir.
dan mungkin bukan hanya saya yang lebih familiar dengan bung karno atau bung hatta…
@ masmpep
1. apa yang kamu sampaikan itu juga ditanyakan oleh seorang aktivis PSI–asal yogya dan sudah sepuh–yang hadir dalam seminar 100 tahun Sjahrir di Solo. saya tak ingin membesar2kan kaderisasi PSI, mas. sama sekali bukan begitu. MT Arifin juga mengatakan bahwa dia pula tak hendak membesar2kan jaringan PSI. dalam makalah MT, tak disebut dari mana dia mengambil sumber soal PSI dan Malari 1974. tapi soal orang2 yang disebut MT berkaitan dengan PSI–dari Fuad Hassan sampai Sri Mulyani dan Suripto–konon MT mendapat pengakuan langsung dari orang2 itu. termasuk kaitan sejumlah elite jurnalis Kompas dg PSI, MT mengaku mendapat tuturan lisan pula meski dy tak menyebut siapa sih itu “elite jurnalis Kompas”.
3. ya sjahrir memang dari aristokrat. dia juga dituduh kebarat2an dan tak menghargai tradisi. tapi saya kok merasa pembandingan mana yang lebih “merakyat” antara sjahrir dengan soekarno menjadi “mubazir”. apa karena soekarno lebih “merakyat” lalu dy memilih jalur “penggelembungan emosi” dan sjahrir yang “kurang merakyat” memilih kaderisasi yang lebih elitis? saya kok kurang sepaham karena sjahrir pernah mengingatkan para intelektual Indonesia utk ikut terjun langsung ke dalam kehidupan rakyat karena tanpa itu kelebihan mereka akan sia2.
3. soal pendapatmu ttg “gagal dalam politik” ini memang selalu multitafsir, mas. aku, sampeyan, zen, soedajtmoko, dan lain2 mngkn beda2 dalam menafsirnya. “gagal” kan juga bisa diartikan “kalah dalam pertarungan”?
4. Romo Mangun memang pengagum sjahrir setahuku.
5. Mungkin karena Sjahrir itu pamannya, maka Chairil memasukkan namanya ke dalam sajak gubahannya, “Krawang-Bekasi” itu. tapi ki mung BTW thok. ha3.
Bernas! dan mungkin juga sjahrir-sjahrir itu lahir dari diskusi blog ini… semoga
setelah menamatkan edisi khusus “Tempo”, 100 tahun Sjahrir, ditambah tulisanmu, Ris: kepala terasa kian penuh memamah “kekayaan” si 154 cm itu. tambah kaya dengan komentar zen, apalagi jika si pejalan jauh itu mau berkomentar lagi, hehehe….
ayo zen!
Kita memang memiliki para pemimpin besar di masa lalu, tapi kok sekarang terjadi krisis pemimpin nggih?
beruntung saya tidak suka politik dan tidak terjun ke dalamnya… piye jal ki???
ngomong apa kalian???
masa lalu emang perlu dilihat buat memperbaki masa depan.
lihat ajah masa sekarang!!!
pemerintahan sby…. sok bener ye
Saya menghormati Syahrir, bersama dengan Hatta. Mereka punya tempat khusus di hati saya. Tabik buat bung kecil.