Bung Kecil

You may also like...

21 Responses

  1. Sidik Nugroho says:

    Kegagalan dalam berpolitik bisa menjadi sebuah tanda kebesaran. Semoga caleg-caleg yang bakal legrek bisa bercermin dari kisah ini. Kegagalan yang termaknai dengan indah.

    Terima kasih, Mas Haris, sudah membuat posting ini, membawa saya pada pengenalan lebih jauh tentang Sjahrir yang humanis dan cinta anak-anak. Tulisan ini berenergi.

    Salam,
    Sidik Nugroho

    P.S.

    Btw, ada salah satu kata:

    “Pada 9 April 1966, Bung Kecil meninggal setelah ia pengobatannya ke Swiss tak membuahkan hasil.”

  2. Haris Firdaus says:

    @ sidik nugoroho

    saya tak tahu bagaimana sjahrir memaknai “kegagalannya” itu, mas. mungkin juga dengan getir yang menyayat-nyayat.

    btw, terima kasih ralatnya. telah saya betulkan.

  3. boyke satria negara says:

    Tulisan ini cukup membantu pengetahuan saya tentang Sjahrir anak manusia yang pernah hidup sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar hingga kini.

  4. sawali tuhusetya says:

    saya sangat merindukan munculnya sjahrir2 baru di negeri ini, mas haris. kalau memang jadi intelektual, jangan sampai dilacurkan dg persoalan2 pragmatis. jadi makin repot!

  5. zenteguh says:

    MT Arifin tak salah, darah Sjahrir mengalir begitu kuat dan menginspirasi sejumlah orang hingga kini. Mereka bisa saja mengelak telah mengikuti jejaknya karena tak mau dicap penganut politisi gagal, tapi gaya dan ruh lakunya memang khas sang pemikir tulen itu.

  6. ciwir says:

    sama dengan pak sawali, indonesia butuh dan rindu syahrir2 masa kini.
    kapan pada muncul ya?
    opo kowe wae??

  7. kw says:

    belum sempat nih baca2 biografi :(
    thx infonya

  8. zen says:

    Adilkah Sjahrir dianggap “gagal dalam politik”? Menurut saya adil!

    Sjahrir mungkin tidak mencintai “politik”, tapi istilah “terpaksa” yang kau gunakan saya kira tidak tepat. Bagi Sjahrir, politik di luar kategori “cinta” atau “terpaksa” atau “benci” atau “rindu”. ia sesuatu yang niscaya, sesuatu yang mau tak mau, boleh tak boleh, ingin tak ingin, akan diambilnya.

    seperti menggemakam kata2 minke saat dimintai paraf sbg persetujuan agar ia tak mau lagi berpolitik, sjahrir pernah menulis: saat kita memutuskan utk tidak berpolitik, kita sesuangguhnya sedang berpolitik.

    Istilah “terpaksa” juga tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana ia dengan susah payah membangun Partai Sosialis Indonesia. Ia tahu bahwa sekali mendirikan partai ia harus menerima kemungkinan kalah atau menang, berhasil atau gagal.

    Daripada mengajukan ketegori “terpaksa” atau “cinta” dalam soal politik di mata sjahrir, sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna, jauh lebih tepat mengajukan pertanyaan: politik seperti apa yang diinginkan Sjahrir dan politik yang macam apa yang ditolak Sjahrir?

    silakan dijawab dalam postingan berikutnya!

    😀

  9. haris says:

    @ zen
    terima kasih pendapatnya. soal pertanyaanmu itu (aku jawab di coment aja ya?ha3), kalo tak salah YB Mangunwijaya sudah menjawabnya dalam esai yang kukutip di postingan ini, terutama di dalam subjudul “Sjahrir dan politik yang bersih”. barangkali kalimat2 Sjahrir yang dikutip dalam esai itu bisa menjadi ilustrasi:

    “Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menjepitkan kehidupan kemanusiaan,…Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan semata-mata…Berhadapan dengan dunia, kita tidak menggunakan jalan-jalan dan akal-akal yang licik utk mencapai maksud kita….”

    itu karakter politik yang mungkin diinginkan Sjahrir–juga para bapak bangsa di awal kemerdekaan–yang disimpulkan oleh Romo Mangun sebagai “politik yang bersih”–sebuah konsep yang mungkin problematis jika kita bercermin pada wajah politik kita sekarang. selain soal itu, setahuku Sjahrir juga menginginkan politik yang didasari rasionalitas, bukan pembakaran emosi. oleh karenanya, dia mementingkan pengkaderan dan pendidikan rakyat.

    kau bisa meluruskan jika masih ada yang bengkok, zen.

  10. masmpep says:

    ya.ya. berat. tapi menarik dikomentari.

    1. Ada satu ‘pamflet’ berjudul ‘Quo Vadis Gerakan Kiri Indonesia’, ditulis oleh mantan aktivis GMNI (atau CGMI, sayang namanya lupa?): ‘kebesaran’ PSI telah menjadi legenda yang terkadang lebih besar dari apa yang sebenarnya dilakukan PSI. Pada masa-masa orde baru, bila ada seorang terlihat kritis, serta merta aktivis-aktivis prodemokrasi sering menggosip di belakang: itu orang PSI. Meskipun kadang-kadang orang tersebut sama sekali tak mengenal PSI. Kaderisasi PSI disebut-sebut sebagai ‘paling berhasil dalam sejarah politik nasional’ meskipun menurut Soebadio Sastrosatomo–yang jelas pengikut si bung: ‘kepercayaan’ ini tak selalu benar. mendekati klenik barangkali. soebadio sendiri tak selalu sepakat dengan si bung. mungkin soebadio ingin mengatakan bahwa kaderisasi PSI tidak selalu berarti kaderisasi Sjahrir sebagai pribadi.
    2. Karena itu saya masih ragu dengan ‘keterlibatan PSI dalam Malari 1974′. Kalau dalam Peristiwa Kerusuhan Rasial 10 Mei 1963 di Bandung saya kira masih relevan bila PSI dikaitkan-kaitkan. Mengingat eksponen PSI masih aktif, seperti Sudjatmoko atau Sumitro Djojohadikusumo dengan Gerakan Pembaruannya, di mana Gie ada di dalamnya. Rahman Tolleng disebut-sebut sebagai pegiat PSI Bandung dari kalangan mahasiswa (Unpad).
    3. Sjahrir jelas memiliki karakteristik ‘kelas menengah’ seperti halnya Soekarno maupun Hatta. Sjahrir berasal dari keluarga aristokrat minang, bahkan dia sendiri bergelar Sutan. dalam sosiologi kebudayaan masyarakat sumatera gelar sutan adalah gelar tertinggi dalam masyarakat adat, karena mereka tak mengenal ‘raja’ seperti halnya di jawa. diantara ketiga tokoh ini saya kira Soekarno yang paling ‘merakyat’ dalam batas-batas minimal. Soekarno pula yang paling otentik ‘tergetar hatinya’ melihat penderitaan rakyat dengan mengintroduksi istilah bagi kelas sosial masyarakat sebagai ‘Marhaen’.
    4. Saya kira Sjahrir tidak ‘gagal dalam politik’. Sjahrir hanya ‘kalah dalam pertarungan’ itu. Diplomasi Sjahrir jelas menyelamatkan orok revolusi di bulan-bulan awal kemerdekaan. Diplomasi Sjahrir pula yang membuat Letjen Christison panglima tentara sekutu di Indonesia mengakui republik secara de facto. Diplomasi Sjahrir pula yang membuat Belanda mengakui secara de facto dan de jure atas sumatera-jawa-madura. Diplomasi ini paling realistis ketimbang ‘Merdeka 100%’ dari Tan Malaka. Tan saat itu memang terhitung senior, tapi ia tak punya kaki. masyarakat tak kenal dia. jepang dan sekutu tak mungkin bekerjasama dengannya. Tan juga tak punya akses ke KNIL (sebagaimana Sjahrir) maupun PETA (yang disebut terakhir realitasnya menguasai tentara nasional). 146 organisasi pendukung Persatuan Perjuangan yang digagas tan pun rontok dalam hitungan tak sampai berbilang tahun.
    5. Y.B. Mangunwijaya. Saya tak tahu pasti apakah dia seorang simpatisan PSI atau bukan. Namun Romo Mangun jelas pengagum Sjahrir seperti ia tulis secara memikat dengan sudut pandang antagonis dalam novelnya ‘Burung-Burung Manyar’.
    6. PSI jelas kalah (telak) dalam Pemilu 1955. Tapi Pedoman yang dikomando Rosihan Anwar masih menulis tajuk: ‘Pilihan Kita: PSI’ untuk Pemilu Konstituante 1957. Rosihan tak pernah memiliki Kartu Tanda Anggota PSI, namun dicalonkan menjadi anggota konstituate mewakili PSI. Rosihan tak jadi anggota konstituante. wakil PSI dalam lembaga pembuat UUD ini adalah Sudjatmoko.
    7. Tak penting dan relevan. namun saya baru tahu bila Chairil Anwar ternyata kemenakan Sjahrir.

  11. yoan says:

    wow.

    terus terang saya ‘asing’ dengan syahrir.

    dan mungkin bukan hanya saya yang lebih familiar dengan bung karno atau bung hatta…

  12. haris says:

    @ masmpep
    1. apa yang kamu sampaikan itu juga ditanyakan oleh seorang aktivis PSI–asal yogya dan sudah sepuh–yang hadir dalam seminar 100 tahun Sjahrir di Solo. saya tak ingin membesar2kan kaderisasi PSI, mas. sama sekali bukan begitu. MT Arifin juga mengatakan bahwa dia pula tak hendak membesar2kan jaringan PSI. dalam makalah MT, tak disebut dari mana dia mengambil sumber soal PSI dan Malari 1974. tapi soal orang2 yang disebut MT berkaitan dengan PSI–dari Fuad Hassan sampai Sri Mulyani dan Suripto–konon MT mendapat pengakuan langsung dari orang2 itu. termasuk kaitan sejumlah elite jurnalis Kompas dg PSI, MT mengaku mendapat tuturan lisan pula meski dy tak menyebut siapa sih itu “elite jurnalis Kompas”.
    3. ya sjahrir memang dari aristokrat. dia juga dituduh kebarat2an dan tak menghargai tradisi. tapi saya kok merasa pembandingan mana yang lebih “merakyat” antara sjahrir dengan soekarno menjadi “mubazir”. apa karena soekarno lebih “merakyat” lalu dy memilih jalur “penggelembungan emosi” dan sjahrir yang “kurang merakyat” memilih kaderisasi yang lebih elitis? saya kok kurang sepaham karena sjahrir pernah mengingatkan para intelektual Indonesia utk ikut terjun langsung ke dalam kehidupan rakyat karena tanpa itu kelebihan mereka akan sia2.
    3. soal pendapatmu ttg “gagal dalam politik” ini memang selalu multitafsir, mas. aku, sampeyan, zen, soedajtmoko, dan lain2 mngkn beda2 dalam menafsirnya. “gagal” kan juga bisa diartikan “kalah dalam pertarungan”?
    4. Romo Mangun memang pengagum sjahrir setahuku.
    5. Mungkin karena Sjahrir itu pamannya, maka Chairil memasukkan namanya ke dalam sajak gubahannya, “Krawang-Bekasi” itu. tapi ki mung BTW thok. ha3.

  13. Senoaji says:

    Bernas! dan mungkin juga sjahrir-sjahrir itu lahir dari diskusi blog ini… semoga

  14. omahseta says:

    setelah menamatkan edisi khusus “Tempo”, 100 tahun Sjahrir, ditambah tulisanmu, Ris: kepala terasa kian penuh memamah “kekayaan” si 154 cm itu. tambah kaya dengan komentar zen, apalagi jika si pejalan jauh itu mau berkomentar lagi, hehehe….

    ayo zen!

  15. Ndoro Seten says:

    Kita memang memiliki para pemimpin besar di masa lalu, tapi kok sekarang terjadi krisis pemimpin nggih?

  16. Andy MSe says:

    beruntung saya tidak suka politik dan tidak terjun ke dalamnya… piye jal ki???

  17. Anonymous says:

    ngomong apa kalian???
    masa lalu emang perlu dilihat buat memperbaki masa depan.
    lihat ajah masa sekarang!!!
    pemerintahan sby…. sok bener ye

  18. tengkuputeh says:

    Saya menghormati Syahrir, bersama dengan Hatta. Mereka punya tempat khusus di hati saya. Tabik buat bung kecil.

Leave a Reply to Senoaji Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>