Kartini dan Iklan Potongan Harga
Iklan itu cukup besar, sekira seperempat halaman koran. Saya membacanya siang tadi di Harian Kompas Edisi 21 April 2009. Isi iklan itu: Matahahari Departemen Store memberi potongan harga sekian persen untuk merayakan Hari Kartini.
Dalam koran yang sama, kita juga bisa menemukan suplemen khusus berisi informasi mengenai produk kecantikan dari beberapa merek. Suplemen ini juga memajang profil beberapa wanita yang dalam pembahasannya selalu dikait-kaitkan dengan sosok Kartini. Menariknya, hampir semua pembahasan soal profil itu mengarah ke penampilan, dan ujung-ujungnya perawatan kecantikan. Kartini, beserta segala perjuangan dan aksi yang dilakukannya, hanya menjadi cantelan awal yang “mengesahkan” iklan produk perawatan kecantikan itu.
Di suplemen itu, kita bahkan bisa menemukan sebuah kuis yang bernada menggelikan. Kuis itu berisi dua pertanyaan. Pertanyaan pertama: produk kecantikan apa saja dari Martha Tilaar yang pernah Anda gunakan? Pertanyaan kedua: bagaimana pendapat Anda tentang Kartini modern? Saya tertawa geli membaca dua pertanyaan yang sama sekali tak nyambung itu. Jika pertanyaan pertama adalah semacam survey, maka pertanyaan kedua adalah basa-basi.
Ya, segala tetek bengek perayaan Kartini yang digelar industri-industri kecantikan, pakaian, dan industri gaya hidup lain, memang hanya sebuah basa-basi yang membosankan. Momen kelahiran Kartini, yang sejak 2 Mei 1964 diperingati sebagai sebuah hari besar, akhirnya dibajak demi kepentingan pemasaran industri. Tentu saja, pembajakan model ini bukan hal baru. Di tiap-tiap momen penting yang kita alami, sebut saja HUT Kemerdekaan RI, lebaran, sampai Hari Valentine, industri selalu hadir, kadang-kadang dengan sopan dan malu-malu tapi terkadang juga dengan blak-blakan dan memalukan.
Ilmu pemasaran modern memang telah sampai pada sebuah pemahaman mengenai perlunya industri menunggangi momen-momen kultural yang dialami manusia. Saya tak tahu sejak kapan pemahaman semacam ini hadir. Tapi, begitulah kapitalisme: ia memiliki kelenturan, sebuah daya elastis yang memungkinkannya masuk-menyusup dan kemudian berjalan-berbareng dengan hal-hal yang sebenarnya tak memiliki ikatan, hubungan, atau relevansi apapun dengan dia.
Perlu juga ditambahkan: sebagaimana kodratnya yang terus membutuhkan dan menghendaki akumulasi keuntungan, penyusupan kapitalisme ke momen-momen kultural itu selalu dilakukan bersamaan dengan penarikan laba dalam jumlah besar. Sementara, berlawanan dengan industri yang menarik laba dari proses itu, momen yang ditunggangi tersebut hampir selalu dirugikan. Tentu saja kerugian itu bukan soal materi dan kekayaan, tapi lebih berkaitan dengan semacam “erosi”, pengeroposan makna kultural yang dimiliki oleh momen-momen itu.
Ketika sebuah perusahaan penghasil produk kecantikan menggunakan Hari Kartini sebagai ajang promosi besar-besaran, misalnya, perusahaan itu hampir dipastikan akan mengeruk keuntungan material yang banyak. Akan tetapi, momen Hari Kartini yang ditunggangi itu justru tidak mendapat keuntungan apa-apa. Sebaliknya, ia mengalami pengeroposan makna, atau bahkan pengalihan makna yang barangkali berlawanan dengan makna awal momen itu.
Gencarnya promosi produk-produk kecantikan pada Hari Kartini sangat mungkin mengeroposkan, kalau tidak malah membelokkan, makna perjuangan Kartini. Jika perjuangan Kartini bergerak pada jalur pembebasan, emansipasi, dan peningkatan daya intelektual perempuan, maka produk industri kecantikan membuat momen itu sekadar jadi huru-hara pemujaan terhadap bentuk fisik yang dianggap “sempurna”, kecantikan yang telah distandarisasi, dan banalitas makna kemajuan perempuan.
Emansipasi perempuan yang diperjuangkan Kartini, kemudian sekadar diterjemahkan menjadi “kebebasan” dan “kesempatan” untuk mendandani diri, sekadar penambahan aksesori ini itu pada tubuh-fisik para wanita. Sementara, daya intelektual, nalar kritis, kesadaran politik, serta kemauan untuk maju dan sejajar dengan laki-laki, sama sekali tak mendapat porsi untuk dipublikasikan secara luas. Sebagaimana industri televisi menurunkan derajat religiusitas Bulan Ramadhan dengan menyajikan dagelan-dagelan pengantar sahur paling konyol, industri kecantikan mengerangkeng dan mengerdilkan makna Hari Kartini.
Kemampuan kapitalisme masuk-menyusup ke dalam ihwal yang tak berkaitan dengan dirinya adalah penunjang yang membuatnya bisa bertahan hidup. Yang membuatnya tambah kuat adalah kemampuannya untuk menaklukkan simbol, tanda, dan momen yang sebenarnya merupakan musuhnya, untuk kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam literatur kajian budaya, kemampuan semacam ini biasa disebut sebagai “inkorporasi”.
Maraknya penjualan cindera mata bergambar Che Guevara dan Osama bin Laden yang diusahakan oleh industri-industri besar, atau hadir-hadirnya grup-grup musik beraliran rock and roll atau punk—yang jika dilihat dari sejarah awalnya merupakan sebentuk perlawanan politis—di program MTV, misalnya, adalah contoh yang baik tentang kemampuan industri menginkorporasikan kultur-kultur subordinat yang sebelumnya merupakan musuhnya sendiri. Di hadapan kapitalisme, budaya perlawanan yang sebelumnya progresif dan revolusioner bisa menjadi tak berkutik, lesu, kehilangan darah, dan tiba-tiba masuk jadi bagian yang integral dari kapitalisme itu sendiri.
Dalam kasus iklan-iklan potongan harga yang diberikan industri gaya hidup pada Hari Kartini, mungkin terminologi inkorporasi kurang tepat karena yang diperjuangkan Kartini hanya sedikit bersingunggan dengan industri dalam wujudnya yang mutakhir. Akan tetapi, apapun terminologi ilmiahnya, kasus itu secara jelas menunjukkan pada kita bahwa industri selalu hadir di sekeliling kita, dalam momen-momen dan perayaan kebudayaan yang barangkali kita sangka tak akan berkaitan dengannya. Hari Kartini, momen yang seharusnya menjadi pengingat tentang emansipasi perempuan dalam maknanya yang politis, ternyata juga tak luput dari campur tangan semacam itu.
Sukoharjo, 21 April 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
wah, naluri pemilik modal memang tajam, mas haris, sampai2 kartini pun diseret-seret ke dalam lingkaran industri, hiks.
Senjata kapitalis dari dulu sampai entah kapan adalah, memfasilitasi segala keinginan manusia. Dan ujung senjata utk membangkitkan keinginan itu bernama…Opini. Salam kenal Mas Haris. Salam sukses selalu.
Ah kapitalis..apa yang tak akan dia lakukan.
Selama itu mendatangkan profit maksimal, segala cara pasti ditempuh. Andai Kartini masih hidup, tentu dia menangis (atau demo) mas dengan segala “sampah” itu…
Aduh maaf ni mas aku kg bisa komen nih.suksses selalu buat mas
hari kartini hanya seremonial TOK!!!
masih banyak perempuan diperlakukan nggak adil, termasuk dengan adanya iklan2 yg menjadikan perempuan sebagai objek
Hari “perdagangan” Kartini Nasional
haha…gambarnya lucu….
hihihi…
mereka pikir kartini juga bakal suka kali sama produk kosmetik2 ituh…
kasian kartini…
susah2 ‘memperjuangkan’ aspirasi, akhirnya malah diperalat untuk jualan kosmetik…
gak ada bedanya dengan ngadu trafik dan SEO, jiahaha…
saya kok tida menemukan bebang merah antara keduanya ya
Kartimi? Kartimi itu teman saya….
Yah, benar. seperti yang sudah teman2 komentator lain tulis, bahwa industri dan kapitalisme telah memperkosa Kartini. **tersenyum masam**
met hari kartini…
Fotonya lucu….
memaknai kartini secara politis pun masih bisa dipertanyakan Ris. Kita liat, bagaimana Kartini bisa sampai menggema seperti sekarang. karena apa??? buku? suratnya? atau dongeng??
karena banyak hal gus, tapi yg jelas bukan karena bukunya. kartini gak nulis buku. he2. 😀