Panggil Dia Megawati Saja
25 Juni 1996, Jenderal TNI Feisal Tanjung, yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI, memanggil sejumlah pemimpin media massa. Dalam pertemuan itu, Feisal menghimbau para pemimpin media agar tidak lagi menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan tidak lagi mewawancarai para pendukung Mega.
Sebelumnya, pihak militer juga berkali-kali meminta media massa tidak lagi menyebut Mega dengan panggilan “Megawati Soekarnoputri”. Militer meminta Mega dipanggil dengan sebutan “Megawati Kiemas” saja.
Himbauan yang terakhir ini menjadi menarik karena menunjukkan bagaimana represifnya militer di masa Orde Baru. Akan tetapi, himbauan itu menjadi lebih menarik karena persoalan nama seseorang ternyata memiliki dampak politis yang tak sedikit. Nama “Megawati Soekarnoputri” jelas mengingatkan orang akan Soekarno, Proklamator Indonesia, bapak bangsa Indonesia yang luar biasa tapi kebetulan juga merupakan ayah Mega. Pemakaian nama itu menjadi simbol yang menyatukan Mega dengan Soekarno. Tiap kali nama “Megawati Soekarnoputri” disebut, ingatan orang akan ditarik pada kiprah, aktivitas, dan jasa Soekarno.
Pemerintah Orde Baru paham, walaupun mereka telah memburukkan Soekarno melalui berbagai upaya, ingatan kolektif masyarakat tak pernah sesuai dengan keinginan mereka. Bagi orang-orang di Indonesia yang merasakan langsung era akhir pemerintahan Soekarno, propaganda Orde Baru barangkali akan mempan karena era akhir saat Soekarno memerintah memang benar-benar membuat citra Bung Karno ambruk. Akan tetapi, bagi anak-anak muda yang baru besar tahun 1970-an dan 1980-an, nama Soekarno jelas punya arti lain. Diam-diam atau secara terus terang, Soekarno diidolakan dan secara lancang mulai diperbandingkan dengan Soeharto.
Upaya menyebut pemerintahan Soekarno sebagai “Orde Lama” dan menyebut era Soeharto sebagai “Orde Baru”, juga tak pernah benar-benar melupakan Soekarno. “Yang lama” justru terus diingat, bukan dilupakan, sementara “Yang Baru” ternyata tak kunjung memberi kepuasan. Orde Lama justru makin diingat ketika Soeharto makin represif, makin korup, dan makin banyak musuhnya.
Dalam kondisi itu, munculnya Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh di pentas nasional, jelas merupakan fenomena yang akan menguatkan ingatan masyarakat tentang Soekarno. Bagi sebagian masyarakat Bali dan Jawa, Megawati bahkan kemudian dianggap sebagai semacam “titisan” ayahnya. Nama yang disandang Mega makin menguatkan citra semacam itu. Maka, wajar jika kemudian pemerintah Orde Baru merasa terusik dan bahkan sampai harus mengurusi soal nama Mega.
Himbauan agar Mega dipanggil dengan sebutan “Megawati Kiemas” adalah upaya memutus rantai ingatan masyarakat yang terus menghubungkan Mega dengan ayahnya. Begitu hubungan itu tercerai berai, pemerintah Orde Baru barangkali berharap Mega akan kehilangan dukungan. Saya tak tahu apakah media-media massa pada tahun 1996-an pernah mempraktikkan himbauan itu dan benar-benar memanggil Mega dengan “Megawati Kiemas”. Tapi nyatanya, sampai hari ini Mega tetap dipanggil dengan imbuhan “Soekarnoputri” di belakang nama aslinya. Saya kira Mega sangat menikmati namanya itu dan tentu berharap citra ayahnya akan melekat padanya dengan tendensi supaya ia terus mendapat dukungan.
Dalam konteks dan latar belakang yang berbeda, saya kira menarik untuk mencermati kembali himbauan untuk memisahkan nama “Megawati” dengan “Soekarnoputri”. Bagi saya, Mega sekarang ini cukup dipanggil dengan Megawati saja dan tak usah menambahkan kata “Soekarnoputri” di belakangnya. Kenapa? Konteks sekarang telah berubah dan Mega sangat mungkin melakukan semacam “politik bahasa” dengan terus menyandang nama “Megawati Soekarnoputri”. Nama itu sangat mungkin dipakainya untuk membuat ingatan orang terus-menerus menghubungkan dirinya dengan sang ayah. Padahal, kita bisa bertanya: benarkah Mega yang sekarang memiliki sifat-sifat dan sikap yang sama dengan Bung Karno?
Indonesianis Ben Anderson, dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di Majalah Basis Edisi Maret-April 2001, dengan sengit pernah menyatakan bahwa Megawati itu “tidak sehebat Bung Karno”. Kalau pernyataan ini, tentu semua orang sudah tahu. Tapi Ben juga menyatakan bahwa Megawati sama sekali tidak mewarisi jiwa dan semangat ayahnya. Mengutip Supeni, politikus kawakan yang pernah menjadi anggota Badan Konstituante melalui PNI, Ben menyatakan bahwa Megawati sama sekali tidak mewarisi keberanian dan keradikalan politik sang ayah. Sukmawati, saudara Mega, juga menyatakan hal yang demikian. Selain itu, yang paling penting, visi politik Soekarno juga tak pernah dimiliki Mega, kata Ben.
Ben juga mengingatkan, Megawati selama bertahun-tahun menjadi anggota PDI dan DPR semasa Orde Baru. Selama bertahun-tahun itu pula, Mega dianggap sebagai “anggota DPR yang baik” oleh pemerintah Orde Baru. Kepopuleran Megawati justru timbul karena pemerintah Orde Baru melakukan blunder dengan menyerang kantor PDI pada 27 Juli 1996. Saat itu, mulailah ia menjadi simbol perjuangan dan nama Megawati dengan imbuhan Soekarnoputri terasa pas.
Sekarang, ketika Mega tak lagi menjadi simbol perjuangan, juga dengan opini-opini yang menyatakan bahwa ia tak mewarisi semangat ayahnya, apatah kita tak sebaiknya memanggilnya dengan sebutan Megawati saja? Jangan juga dipanggil dengan Megawati Kiemas, seperti anjuran Orde Baru, karena nama semacam itu menunjukkan dominasi patriarki yang mengharuskan nama suami diletakkan di belakang nama sang istri.
Keinginan memanggil Megawati tanpa imbuhan Sopekarnoputri itu juga merupakan usaha untuk menghapuskan “politik dinasti” di Indonesia. Politik dinasti membuat demokrasi tak beda dengan monarki yang sangat menghargai “darah” alias keturunan. Politik dinasti membuat seseorang bisa dengan seenak hatinya mengekor kesuksesan ayah, kakek, atau kerabatnya demi sukses pribadinya.
Politik semacam ini, yang jelas tak sehat, terutama terjadi karena kegemaran kita dan media massa memanggil nama-nama seseorang dengan imbuhan nama keluarganya. Pemanggilan semacam ini, meskipun kadang tampak sepele, adalah sesuatu yang sangat menyuburkan politik dinasti. Di masa kampanye kemarin, kita melihat sangat banyak caleg yang mencantumkan nama kerabatnya di dalam iklan politik mereka. Tendensi macam ini jelas menunjukkan keinginan mereka untuk sekadar mengekor kesuksesan keluarga mereka. Politik tak lagi dimaknai sebagai kerja keras individu berkaitan dengan upaya mengelola kekuasaan. Politik justru dianggap sebagai semacam “warisan” yang bisa seenaknya diterima tanpa kerja keras dan upaya yang jujur.
Tentu saja, pemaknaaan semacam itu akan mereduksi politik secara drastis sehingga perlu ada perlawanan terhadap cara berpolitik semacam itu. Bagi saya, salah satu upaya memerangi politik dinasti adalah dengan memisahkan nama individu dengan nama keluarganya. Pemisahan ini bukan hanya bagi Mega saja, tapi juga untuk semua tokoh lain yang selama ini gemar memakai nama keluarga untuk tujuan-tujuan pragmatis.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Ah saya dari dulu ga terlalu suka (politik) bu mega. Pertama mengkritik BLT, eh kok kemudian malah menggunakan isu BLT buat mencari simpati…aneh
lah bukannya soekarno putri emang udah asli namanya ? 😀
pada dasarnya bukan pada nama, tapi pada kinerja nyatanya
orde baru pun punya traumatik persoalan karisma Soekarno, yang ditakuti itu menurun pada putrinya dengan kantung partainya!
ah, Shakespeare aja bilang
“What’s in a name?
That which we call a rose
By any other name
Would smell as sweet”
megawati sangat berbeda luar binasa dengn soekarno bapaknya.
beberapa kesamaannya adalah dia dikultuskan juga, namun karena ia anak soekarno, bukan karena kepemimpinan dan kecerdasannya.
Menanggung nama ayah yang super hebat memang berat…
Sbg wanita sy bangga ktika kaum sy maju sbg pemimpin negri ini, walo sy setuju gak setuju ketika wanita jadi presiden, tapi kalo ibu yg satu ini sy kurang setuju. Ibu yg ini beda jauh dg ayahny yg notabene proklamator dan memiliki kharisma hebat. Cuman krn menyandang gelar putri proklamator jd ibu ini mempunyai dukungan lebih. Padahal gaya politikny mnrt sy tdk sehat, tak suka sy
~wong magelang
Males msk blogspot,he..
sayang tidak suka mega
wah..sayangnya saya nggak suka pemimpin perempuan
walaupun sudah emansipasi wanita
tetap aja ada batasannya sesuai dengan kodratnya
weh..bila ada saah kata mohon maaf ya
saya yakin mereka yang mendukung megawati hanya rindu akan soekarno. bukan mega yang sedang berorasi yang mereka dengar, namun gambar soekarno yang dicetak besar-besar di backdrop panggung kampanye yang mereka lihat.
ya, saya setuju, sebaiknya beliau mulai berpikir untuk menggunakan nama megawati saja.
tetanggaku bilang begini: “Soekarno saya tahu! Megawati? Siapa Megawati?”
itu hanya sebagian trauma politik yang dialami oleh para pejabat orba, mas haris, sikap represif mereka mungkin juga bisa menular kepada rezim yang mendapat giliran berkuasa. biasanya ada kecenderungan, sebuah rezim akan mempertahankan kekuatan statusquo-nya.
Saya kagum dengan bu Mega. Tapi yang saya tidak senengi adalah; ketika banyak partai politik ngaku-ngaku ngusung filsafat bung Karno. Memang, beliau adalah tokoh penting dalam kemerdekaan RI. Tanpa beliau kita tidak mungkin bisa seperti sekarang; maju dan berkembang. Tapi bukan berarti beliau di dewakan. Apalagi sampai dipaksa-paksakan dan apabila terjadi penghianatan atas prinsif beliau, apa itu juga salah beliau? politik memang aneh, seaneh konetar saya, maklum cuma itu yang saya bisa
saat ini adalah tes terakhir untuk bu mega, tapi ada juga lho yang lain, baru lagi, ndompleng bapake… bwahaha….
wew kok bertolak belakang dengan kenyataan?
dinasti mega dah ada tuhhhhhh
oke deh gwa akan panggil dia megawati
byme
maaf, saia gak paham politik
ga pa2 kalo nama belakang nama ortunya,,,yg nentuin dia…suaminya proteskah enggak kan…
salam nal ya….
bagaimanapun, mega memiliki karakternya sendiri. apa pun kata ben, supeni, dan sukma, tak serta-merta membuat kita menjadikan soekarno sebagai tolok ukurnya. mega lain, pak karno lain.
yang jelas, mega lemah dalam soal menangani konflik. alih-alih bersaing dengan sehat, ia lebih sering menyindir dengan sengit lawan politiknya. keberaniannya lebih tertuang dalam sikap-sikap defensif yang berawal dari kepanikan. diamya juga bermakna serba-relatif.
inilah yang membuat dia, selain kurang radikal, juga — oleh seorang yang saya lupa namanya — dapat terkatogeri belum berkaliber negarawan ulung.
tapi, bagaimanapun lagi, mega tatap memiliki posisi di sebagian hati rakyat. karena itu, andaikan ia terpilih, semoga ia makin bijak dan lebih santai.
Baiklah akan saya panggil dia mbokdhe Mega saja…tapi kalo dipikir2 lagi buat apa saya manggil2 dia???
saya sendiri tidak suka dengan politisi yang mengusung nama “warisan”.
kalo tidak punya kemampuan mending tidak usah ikut-ikutan berpolitik.
kasihan ibu Megawati & PDI Perjuangan dari dulu, difitnah mulu
jaman Orba begitu.
eh jaman SBY begitu juga.
padahal apa yang diperbuat ibu Mega , sehingga banyak orang2 yang memfitnah beliau.
keturunan pak karno kan banyak.. tapi ngak ada yang berhasil dipolitik dan bahkan ynag sampai meluluskan kuliahny/sarjananya hanya guruh saja waktu taun berapa y q lupa.
setauku itu memeng kesengajaan wktu keotoriteran pemerintahan soeharto.. soeharto ngk mw nek keturunan soekarno ada yg mengalahkannya sehingga keturunan soekarno yg begitu banyak dibelengu dan tak terdengar gaungnya dlm pemerintahan sekarang..
tapi pas bu mega diberi kesempatan menjabat presiden dy jg ngk membawa keperubahan yg lebih bagus kok
taw ah gelap
Tak dimungkiri sedikitpun bahwa Megawati tak sehebat Bung Karno. Namun, tak dapat diingkari pula bahwa dia kini adalah satu-satunya anak tokoh proklamator itu yg terus menceburkan diri dalam dunia politik. Kepada Mega lah para pengagum dan penganut garis perjuangan bersandar ke Mega. Mungkin orang2 sprti ini kecewa krn anak2 yang lain tak ada yang sedalam Mega dlm brpolitik. Lepas bagus atau tidak kepemimpinannya, dia tetap punya kharisma tersendiri. Paling tidak buat PDIP-mania dan nasionalis lainnya
baru tau loh saya klo di orde baru sampe segitunya…maklum,,masih umur 5 taun waktu taun 1996..T__T
btw salam kenal yoo…
Yah, seperti kata Budiarto Shambazy, Megawati itu hanya teh celup rasa Soekarnoisme : p
Tahu nggak siapa yang bakal menggantikan Megawati di dinastinya? Kabarnya sih Puan Maharani! Bahkan di baliho kampanyenya dulu ada keterangan “Putri tunggal Megawati Sukarno Putri”, lengkap dengan foto ibunya dan embahnya, haha
Cara yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap lawan-lawan politiknya dengan cara yang represif dan opresif memang terbukti sangat tak beradab.
Namun di sisi lain, membangun kekuatan politik dengan mengandalkan kultus individu yang fanatis juga merupakan proses pembodohan politik rakyat.
soekarnoputri itu kan trahnya sukarno. nama belakang. nama keluarga. siapapun anak soekarno berhak menyandang nama itu. kita saja yang memaknai nama belakang dengan kebesaran, wibawa, dan seterusnya. jadi bukan mega yang dilarang memakai nama soekarnoputri, tetapi ajaklah orang untuk berpikir bahwa soekarnoputri itu tak bermakna apa-apa. seperti halnya hastiyanto. firdaus. atau yudoyono…
pake nama sukarno putri sih ga masalah
emang itu namanya
tapi soal kemampuan ya jauh lah di banding bokapnya
lebih baik bupati karang anyar lho
Yang bikin sistim kerja kontrak putus terhadap buruh juga si Ibu Mega ini kan
terbukti bahwa mega tak lagi bisa berlindung di bawah ketiak ayahnya terus-menerus kan. he2