Berwisata di Rumah Tuhan
Sakralitas masjid sebagai ruang sosial ternyata tidak pernah statis dan universal. Selalu ada ruang negosiasi dalam hubungan manusia dengan rumah Tuhan itu.
Malam itu, sekitar pukul delapan malam, saya duduk di pelataran utama Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. Suasana di sana masih ramai. Kebanyakan orang memilih berkumpul di pelataran utama bagian atas, dekat dengan enam payung elektrik yang menjadi salah satu karakteristik paling unik dari masjid ini.
Sementara seorang kawan saya memotret di keremangan malam, saya memilih duduk santai, melemaskan badan. Beberapa meter di dekat saya, ada seorang lelaki dan perempuan yang sama-sama masih muda sedang khusyuk berbincang. Saya menguping obrolan mereka yang berkisar tentang hubungan asmara keduanya yang baru berjalan beberapa bulan.
“Mbiyen, bar kowe nembak aku kae, aku nangis,” begitu kata-kata sang perempuan yang masih saya ingat sampai sekarang. Saya tersenyum mendengar kata-kata mesra yang tak dibuat-buat ini. Si lelaki menyambut kata-kata sang perempuan dengan kalimat tanya pendek: “Lha ngopo?” Si perempuan menjawab dengan intonasi yang sedikit malu-malu: “Yo rapopo”. Kali ini, saya benar-benar tersenyum lebar. Dalam hati, saya bilang: “Oh, so sweet.”
Angin malam itu berhembus sedikit kencang dan membuat saya yakin sedang tidak bermimpi atau menonton sinetron. Saya benar-benar sedang ada di Masjid Agung Jawa Tengah, sebuah masjid yang konon kemegahannya tak tertandingi di seantero Asia Tenggara. Ya, sekali lagi, saya sedang ada di Masjid Agung Jawa Tengah, dan di dekat saya sepasang pemuda asyik berpacaran dengan kepolosan yang sama sekali tidak dibuat-buat. Keduanya sama sekali tidak merasa rikuh dengan kenyataan bahwa mereka sedang berpacaran di rumah Tuhan—tepatnya, di pelataran rumah Tuhan.
Saya tidak sedang dan akan menyalahkan pasangan itu. Bagaimanapun, saya bukan seorang hakim moral yang gemar mengkategorikan “mana benar” dan “mana salah”. Saya hanya ingin menunjukkan, di Indonesia, masjid bukanlah sebuah ruang yang selalu “angker” dan “steril”. Masjid-masjid besar di Indonesia yang umumnya juga merupakan tempat pariwisata, adalah sebuah ruang di mana banyak kepentingan bercampur aduk. Kita tak akan pernah bisa membatasi hanya kepentingan religius sajalah yang boleh memasuki masjid-masjid tersebut.
Di masjid-masjid semacam Masjid Agung Jawa Tengah, kepentingan untuk menghadap Tuhan selalu bertemu dengan kepentingan untuk mengagumi keindahan arsitektural, menikmati pemandangan alam, atau bermesraan dengan pacar. Itulah kenapa, di “masjid-masjid wisata” tersebut, akan selalu tersedia fasilitas lain yang tak akan kita temui di masjid-masjid kampung yang tak pernah menjadi tempat pariwisata. Fasilitas yang saya maksud itu, misalnya saja, toko oleh-oleh, objek wisata lain di sekitar masjid, atau sarana rekreasi lain seperti kereta kelinci dalam kasus Masjid Agung Jawa Tengah.
Jika Anda mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah pada pagi sampai sore hari, maka Anda akan melihat deretan bus yang terparkir, kereta kelinci yang lalu-lalang, orang-orang yang antre ingin naik ke menara masjid, dan rombongan-rombongan manusia yang berjalan hilir mudik ke seluruh penjuru kompleks masjid. Jumlah mereka yang berjalan-jalan ini, hampir bisa dipastikan jauh lebih banyak dibandingkan kuantitas mereka yang mengikuti sholat berjamaah.
Malam itu saya tak hanya bertemu dengan satu pasangan yang sedang berpacaran. Beberapa meter dari tempat saya duduk, ada serombongan gadis muda yang duduk membentuk lingkaran sambil ngobrol-ngobrol tak jelas dan tertawa-tawa. Salah seorang di antara mereka sedang asyik mengetik di laptop. Hampir semua gadis muda ini memakai kaos oblong ketat dan celana pendek yang tak kalah ketatnya. Ekspresi wajah mereka santai, bahagia, dan genit.
Tentu saja kita bisa menemui rombongan perempuan muda semacam itu di mall, kedai kopi, kafe, atau diskotik. Tapi berjumpa dengan mereka di masjid adalah sebuah kejutan tersendiri. Gaya berpakaian mereka yang sama sekali berbeda dengan istiadat penampilan orang-orang yang ke masjid menunjukkan bahwa “masjid-masjid wisata” adalah sebuah ruang dengan tafsir dan norma yang kian terbuka. Masjid-masjid semacam itu tidak lagi ditafsirkan sebagai ruang yang harus diisi dengan kealiman semata-mata. Kehadiran orang-orang dengan pakaian yang tak menutup aurat ke tempat itu makin menegaskan bahwa kepentingan yang ada di “masjid-masjid wisata” bukan sekadar kepentingan religius. Bagi gadis-gadis muda yang saya temui malam itu, Masjid Agung Jawa Tengah barangkali sama artinya dengan kafe atau mall yang sering mereka gunakan untuk nongkrong dan ketawa-ketiwi.
Di kampung saya, masjid adalah ruang yang terus berusaha dipertahankan menjadi sebuah ruang yang sakral. Anak-anak kecil yang bermain di masjid selalu dimarahi, diusir, kadang-kadang ada ustadz yang sampai perlu mengutip ayat-ayat kitab suci sebagai dasar menghardik anak-anak itu. Para pemuda kampung yang seringkali nongkrong lama-lama di masjid sampai malam, mengobrol tak jelas dan kadang diselingi tawa agak keras, juga dihardik dan diminta pergi. Di kampung saya, masjid bukanlah tempat nongkrong. Di masjid-masjid lainnya, kita juga bisa menemui sejumlah hardikan halus untuk mempertahankan sakralitas ruang masjid. Tulisan-tulisan seperti “Dilarang Tidur di Masjid” atau “Dilarang Berkhalwat” adalah bagian dari upaya semacam itu.
Tapi, seperti telah saya katakan sejak awal, sakralitas masjid tidak pernah benar-benar menjadi universal. Tiap-tiap tempat atau daerah memiliki etika dan norma tersendiri dalam memperlakukan masjid. Selalu ada tafsir yang terbuka, selalu ada negosiasi yang mungkin. Sebab, bagaimanapun, agama dan kepercayaan pada Tuhan memang selalu membuka ruang tafsir yang berbeda. Pada akhirnya, masjid juga sebuah ruang yang dimasuki pengaruh kebudayaan manusia yang tak selalu suci.
Sukoharjo, 5 Mei 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Halo makasih da main ke susucoklat ya…
Itu gambar Masjid Agung yg di Jawa Tengah? Megah banged yaa..
Tp saya mikirnya, rumah ibadah memang punya aturan & etika sendiri, tp tentunya menyenangkan bila kita bisa merasa nyaman berada di sana even sedang beribadah ato setengah beribadah. Ya semoga saja kita ga sampe kelewat batas gitu :
aku pikir rumah Tuhan tidak ada aturan feodal, yang terairi keras adalah manusia yang mem-feodalkan rumah Tuhan, maklum kan bicara investasi. entah duit entah pahala! mbuhlah! terus ada yang bersenggama gak disitu? bersenggam logika kamsudnya! bwegbwegbweg!
Bagaimana dapat undangan rapat di Senayan kalau kita bukanlah anggota legislatif.
Bagaimana dapat undangan menjadi komunitas beriman bila tak dapat koneksi dengan sinyal ketuhanan.
Salah satu sumber sinyal itu adalah baitullah, rumah tuhan.
Suatu hari, suatu waktu, kita berharap gadis gadis yang tengah bergerombol dengan sebutir laptop ditengahnya itu mendapatkan undangan sehingga mereka tak lagi disana, diluaran tapi sudah migrasi kedalam masjid dengan atribut muslimah, tengah bergerombol, tengah mengaji tentang betapa indahnya Islam ini.
Bukankah dulu Umar juga dapat undangan lewat perantaraan sang adik ?
Tentang sepasang anak manusia yang tengah bernostalgia, bisa jadi mereka sudah menikah. Mungkin dengan menhabiskan waktu di rumah Tuhan, mereka berharap dapat 2 kemenangan, mendapat kesejukkan hati sekaligus memperkuat jalinan kasih……….
Hmm…benarkah Tuhan punya rumah spt yg kita “pikirkan”? Aku jadi bingung…
nabi Muhammad saja ketika sholat dan melihat keindahan sajadahnya yang mahal lalu disingkirkan karena merasa tidak khusuk saat menundukkan pandangan dan melihat sajadah yang begitu indah.. apalagi melihat kemegahan ersitektur masjid itu y?
keindahan itu menyilaukan mata tapi keindahan alam sewajarnya menyehatkan pemandangan…
masjid agung ntu itu y… Taj mahal ada kuburannya, trus itu kuburan apa masjid apa tempat wisata nek gtu
aku pernah loh ke UNS dan suasany…. rindangg kayak hutan… jadinya kayak belajar dihutan..
Masjid Agung Jateng memang bagus. Itu salah satu tempat favorit anak-anak dan ponakan bila sedang ke Semarang. Tapi, ya itulah… sebagai sebuah Masjid, lingkungannya terasa hambar…
saya bertahun-tahun tinggal di semarang, belum pernah ke masjid agung. cuma lihat dari luarnya saja, hehe…
jadi teringat gedung-gedung gereja megah di eropa. dulu sisi arsitekturnya tergarap matang, “rasa-rasanya” menjadi unsur bagi pendukung spiritualitas. tapi kini eropa makin sekuler. gereja banyak yang ditinggalkan jemaatnya.
mungkin, spiritualitas sejati memang bisa ditakar di kedalaman relung hati.
lha daripada plesiranya ke lokalisasi… lebih baik ke masjid….
rumah tuhan..
semestinya menjadi tempat interaksi bagi perindu Tuhan dengan pemilik rumahnya..
siip slam kenal
Seneng bacanya
Justru itu kyknya yang berharga dari masjid-masjid di Indonesia, interaksi didalamnya tidak hanya vertikal tapi juga horizontal….sebuah bentuk sivilisasi kemanusiaan itu sendiri, tidak cuma bentuk sakral pemujaan ketuhanan yang kaku…
ya masjid mempunyai keunikan sendiri, terkadang perasaan tenang dan nyaman ketika berada didalamnya, tapi sayang masjid sekarang lebih kepada keren diluar tapi kualitas dan kuantitas jemaah makin menurun padahal Allah tidak pernah meminta masjidnya bagus tapi cukup dengan MEMAKMURKAN MASJID
Subhanallah
Masjid memang selalu menunjukkan keindahannya
Apalagi saat penuh jamaah yang khusuk
Sama2 Haris nih kita 😀
wow.. masjid tempat mengenang masa lalu juga yah…
hmmm…..
pacaran di masjid kan menghindari orang ketiga Ris: setan. hahahaha….
wah, dimana itu yach….
ah..indahnya jika dapat ber-anjang sana di dalam rumah Tuhan, hanya kedamaian hati yang kita dapatkan
mesjid memang semestinya adalah ruang sosial, ranah publik juga tapi mungkin seharusnya tidak terlalu cair sifatnya.
lagian kalo pacaran di situ mungkin biar jadi lebih ingat Tuhan dan menghindari perbuatan yang macem-macem hehehe…
mesjid selain tempat ibadah juga tempat umum nan sosial.
bahkan masjid sering untuk mampir orang2 yg dalam perjalanan hanya untuk pipis,
benar2 sosial masjid itu… orang pipis tanpa mau shalat juga dipersilahkan…
nah, saya pengen kesini
sing penting mereka kenal dengan masjid Ris. Bukan mall ato diskotek saja.
Diskotek pun juga membuka ruang penafsiran kok, kembali pada niatannya menuju kesana. Tapi yang pasti tak ada penafsiran masjid adalah ruang ibadah untuk orang-orang non muslim. misalnya nasrani. bener gak???
memang benar2 menakjubkan. arstiektur masjid agung jawa tengah benar2 menghadirkan suasana spiritual yang kental. kebetulan saya pernah berkunjung ke sana waktu malem hari.
aku setuju mas. Bahwa masjid sesungguhnya adalah tempat sakral yang jauh dari rok seksi dan baju ketat ato orang yg brbisik tntang asmara, memang harus begitu. Sangat disayngkan kalo begitu..
Wah mesjidnya bagus banget ya mas..
waahhh.. kereenn
“kowe pas nembak aku kae, aku lebar wae main golf…”
lho itu khan…………….gak sambung ya dengan postingannya
http://budies.wordpress.com/2009/05/09/kursi-malas/
masjid agung jawa tengah memang menarik
arsitekturnya sungguh unik
mengena norma2 di masjid
di masjid kampung saya
tertempel 2 tulisan di dinding
satu bertuliskan “dilarang ribut” dan “dilarang pacaran di dalam masjid”
Lha kowe kok ra nembak mbak2 sing do kathokan cekak kuwi sisan Ris…bar kuwi mbok insapke kan pahalamu gede, secara TKPnya di mesjid gitu lho..hahaha…
Btw aku yo wes pernah motret ijab nang kono, pancen top markotop mesjide…pelayanane juga oke…
bagus juga pake payung elektrik. jadi makin teduh yak..
ojo lali nyambangi rumah Tuhan sing sejati…
bener-bener sweet mas, pasangan muda itu….
terutama karena sebelum menikah saya pun bersama pasangan saya naik becak menyempatkan mengunjungi masjid (terbesar di asia tenggara? kuwi rak jare wong jawa wae, he-he-he). sayang saya belum menulis testimoninya. kapan-kapan, bersamaan dengan kenangan lain dalam posting tour de semarang, mungkin.
mas haris harus mencoba itu. sebelum ijab qobul (tapi sebaiknya s.sos dulu, ha-ha-ha), silakan berkunjung ke sana. dan nikmati payung elektriknya…. (kalo mau khusuk sudah jelas lebih baik menyambangi Tuhan dari kamar saja…)
hmm.. dari berbagai tragedi yang terjadi di negeri ini.. sampai tragedi situ gunting.. telah ditunjukkan kekuasaan ALLAH.. sebuah mesjid berdiri kokoh.. yayaya.. ditengah puing reruntuhan.. hmm.. adakah maksud ALLAH.. bukankah mesjid itu rumah Allah.. mengapa kita datang kerumah ALLAH tidak untuk bertemu dengan yang punya rumah.. seberapa banyak dari kita yang masuk untuk bertemu denganNYA..
Salam Sayang
Mesjidnya bagus bgt
sayangnya saat aku ke sana liftnya mati
kalo sudah sampai di MAJT semarang jangan lupa mampir ke masjid bersejarah Masjid agung Demak hanya 1 jam perjalanan dari semarang.
Salam kenal mas.
Itu masjidnya lokasinya dimana ya? Semarang kota, dekat simpang Lima?