Kisah Guru-guru Saya
Sebagaimana tiap orang yang menempuh pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi, saya punya pengalaman diajar oleh banyak sekali guru. Mulai guru masa taman kanak-kanak, sampai kini ketika orang-orang yang mengajar itu lebih banyak dipanggil sebagai “dosen”. Kuantitas guru saya mungkin mencapai ratusan, dan yang jelas: beragam sekali sifat dan perangainya.
Di masa sekolah dasar, saya pernah diajar seorang guru yang menghukum siswanya dengan cara yang aneh: memakan tahu mentah secara bersama-sama di depan kelas. Hari itu, sejumlah kawan lelaki saya bertingkah gaduh di kelas dengan alasan dan proses yang saya tak ingat betul. Yang terang, di antara kegaduhan itu terselip sebuah adegan di mana guru saya seperti biasa bertanya pada murid-muridnya: “Tahu, anak-anak?” dan kawan-kawan saya berteriak, “Tahu! Tahu!” dengan cara yang barangkali dianggap tak sopan oleh sang guru. Tentu maksud kata “tahu” di situ bukan jenis makanan, tapi sebuah kata yang bersinonim dengan kata “paham”.
Tanpa disangka, sang guru yang mungkin merasa jengkel memerintahkan seorang kawan saya pergi ke pasar untuk membeli tahu mentah. Kebetulan, lokasi sekolah dasar saya dekat dengan sebuah pasar tradisional. Ketika tahu mentah itu telah datang, guru saya menyuruh sejumlah murid lelakinya—tak termasuk saya tentu—maju ke depan kelas dan memakan tahu mentah itu secara bersama-sama. Kawan-kawan saya itu, mau tak mau, akhirnya maju, dan dengan muka menghadap kami yang tak dihukum, memakan tahu-tahu mentah itu. Saya selalu tertawa mengingat adegan itu: sebuah tingkah paling ganjil dari seorang guru yang selalu saya ingat.
Di masa sekolah menengah pertama, saya bertemu dengan guru yang tak kalah menggelikan. Sang guru lelaki itu, berdasar bisik-bisik beberapa kawan yang lebih senior, gemar menarik tali kutang murid-murid perempuannya. Hobi yang aneh ini barangkali bisa disebut sebagai kelainan seksual, atau sekadar keisengan guru laki-laki yang tergoda melihat tali-tali kutang murid-murid putrinya yang menjelang dewasa.
Guru saya itu juga seringkali melakukan hal-hal yang menurut kami tak penting, seperti memerintahkan menaruh dua garis pendek yang sedikit miring di bawah jawaban soal matematika yang kami kerjakan. Jika jawaban soal matematika kami tidak disertai dua garis pendek yang ia beri nama dengan isitilah “wajib” itu—sebuah sebutan paling lucu yang pernah saya dengar untuk dua garis pendek di bawah angka jawaban matematika!—maka nilai kami akan dikurangi 0,5. Sungguh, sampai sekarang ketika usia saya sudah berkepala dua, saya tetap tak tahu kenapa harus ada dua garis pendek semacam itu di bawah jawaban soal matematika saya.
Di masa SMA, saya bertemu dengan seorang guru yang suka menilep uang siswanya. Ceritanya begini: tiap kali sang guru menggelar semacam tes rutin—di tempat saya, tes macam itu disebut sebagai “ulangan”— untuk mata pelajaran yang diampunya, ia akan meminta tiap siswanya menyetor uang dengan besaran tertentu sebagai ganti ongkos mengkopi soal ulangan. Soal ulangan itu, kata sang guru, akan diberikan pada murid-muridnya kelak jika ulangan telah selesai.
Namun, tiap kali ulangan selesai, soal-soal ulangan itu tak pernah diberikan. Sang guru selalu memintanya kembali dengan alasan agar soal ulangan itu tak dibocorkan ke kelas lain. Akan tetapi, bahkan ketika semua kelas yang diajarnya telah menjalani ulangan, soal itu tak pernah dibaginya. Ketika saya dan sejumlah kawan mendatanginya untuk menanyakan perihal itu, jawabannya sungguh aneh: uang iuran yang kami kumpulkan itu bukanlah untuk ganti ongkos foto kopi tapi sebagai “upah” sang guru yang telah membuat dan mengoreksi ulangan kami. Saya sempat menanyakan padanya: bukankah Anda sebagai guru sudah mendapat gaji untuk membuat dan mengoreksi ulangan kami? Tapi guru saya itu tetap ngotot.
Dan kami pun masih juga ngotot menuntut hak. Maka hari itu pula, dengan lagak anak muda yang sok heroik, saya dan sejumlah kawan menggelar “pertemuan rahasia” untuk melancarkan aksi protes terhadap sang guru. Kami mengundang sejumlah wakil kelas IPS yang diajar guru bersangkutan dalam pertemuan yang belum saya lupakan sampai sekarang itu. Kami memutuskan mengumpulkan tanda tangan di tiap kelas guna mendukung gerak protes tersebut, dan dengan bekal dukungan itu sejumlah perwakilan siswa akhirnya menghadap kepala sekolah.
Saya ingat betul bahwa sebelumnya kami telah merumuskan sejumlah tuntutan lengkap dengan batas waktu kapan tuntutan itu harus dipenuhi dan juga konsekuensi jika tuntutan itu tak dipenuhi. Setelah pertemuan merumuskan tuntutan tersebut, sayalah yang ditugasi mengetik naskah tuntutan itu. Namun tuntutan itu tak pernah diajukan secara terbuka karena sejumlah guru lain berhasil meyakinkan kami bahwa jalan dialog yang tak frontal akan lebih berhasil. Maka kami menemu kepala sekolah tanpa pembicaraan soal tuntutan. Yang jelas, setelah pertemuan itu, sikap guru saya menjadi jauh lebih lunak: tiba-tiba ia membagikan soal ulangan yang memang menjadi hak kami itu.
Selama beberapa waktu, saya sempat membenci guru saya itu karena sikapnya. Tapi lama-lama, kebencian itu hilang juga. Tiap orang pernah bersalah, dan berhak dimaafkan. Di semester awal kuliah, saya sempat bertemu kembali dengan dia di sebuah rental komputer dekat rumah saya. Sejak lama saya tahu bahwa rumah guru ini memang tak jauh dengan rumah saya sehingga wajar jika kami bertemu di situ. Kami ngobrol beberapa patah kata dengan lancar, tanpa sikap bermusuhan sama sekali. Ia masih mengingat saya dengan persis karena dialah yang lebih dulu menyapa, menanyakan kabar saya, dan kesibukan saya. Saya agak kaget karena setelah beberapa tahun, ia tak lupa pada saya. Kebanyakan guru masa SMA saya waktu itu bisa dipastikan telah melupakan wajah saya.
Dengan cara yang tak lazim, orang yang beberapa tahun sebelumnya hendak saya protes secara besar-besaran itu, justru memberi semacam pelajaran pada saya. Pembicaraan singkat dengannya tentang hal-hal paling remeh dalam kehidupan kami seperti membuat saya sadar: tak pernah benar-benar ada orang yang buruk sekaligus hampir tak mungkin ada manusia yang selalu baik dan alim.
Sukoharjo, 1 Mei 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Setiap orang adalah guru…
Setiap tempat adalah sekolah…
Setiap waktu adalah belajar…
Setiap peristiwa adalah pelajaran…
walah, ternyata guru juga memiliki karakter yang aneh2 juga, toh, mas haris, hehe … untung saya bukan guru mas haris. kalau ya, dah pasti namaku tercantum sbg salah satu guru yang nyleneh juga, weks …..
Yah kalau anehnya lucu dan tidak merugikan sih gak papa. Tapi kalau merugikan bahkan melukai jiwa anak, nah itu kejahatan
hullo, salam kenal
saya pun punya banyak cerita tentang guru-guru, namun kenapa yang lebih ingat kenangan bersama teman-teman, ya?
meski kenangan dengan para guru itu pun tak juga lekang, hehehe
sebentar, nyari jawabannya dulu ntar balik lagi–halah!–
eh, atau dikau punya, mas?
guru tempat mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru…
beruntunglah saya karena tlah masuk kerumah mimpi…
salam kenal sobat…
ngakak saat gurunya beli adegan beli tahu mentah. Dulu guru saya juga pernah mencokok rokok teman2 yang ketahun merokok…
pernah saya duduk di kursi depan, dan pasang papan catur, ketika guru mengajar saya dan teman saya tetap main catur, papan catur dibuang kelantai oleh guru, saya susun lagi, main catur lagi, sampai gurunya gak bisa marah lagi trus nangis dan pulang, kekeke…
Waduh, saya ketawa baca guru tahu mentah itu. Kalo saya jadi gurunya, barangkali sebelum saya suruh muridnya makan tahu, tahunya dilumuri dulu pake sambel, biar muridnya kepedesan, hahaha..
aduh… soal tahu mentah, kalau di sini bisa dipecat tuh guru. Apalagi tahu di Indonesia kan tidak higienis untuk dimakan mentah.
Wah saya suka sekali rumah mimpimu ini. Ijinkan untuk menautkannya ya. Saya akan datang berkunjung lagi.
EM
http://imelda.coutrier.com
@ sawali
untunglah begitu pak. tapi apa pak sawali juga punya perilaku aneh2 dalam mengajar ya? he2.
@ goop
tentu saja kenangan akan kawan2 kita jauh lebih membekas, mas. karena kedekatan kita dg mereka beda dg kedekatan kia dg guru. sy mngkn hanya mengingat sepenggal2 kisah guru saya, tapi banyak mengingat kisah ttg teman2 saya. kita mengingat kawan kita karena mereka merupakan orang yg punya banyak kesamaan dg kita dan interaksi dg kita pun jauh lebih banyak.
@suryaden
anda hebat, mas. bs bikin guru anda nangis dan pulang! salut dg anda:D
macam2 saja gurumu, haris.
salam sama gurumu itu kalo ketemu lagi ya!
bagaimanapun, guru yang membuat kita bisa seperti sekarang saya paling menyukai guru sd saya dulu
Tak disangka dan tak dinyana, kau masih mengingatnya juga, apalagi menuliskanya. paling tidak aku pernah menjadi bagian dari cerita itu (saat kau SMA),ketika kita sama-sama di SMA dan menghadapi guru bengal itu. Jujur, aku lebih bangga, menjadi bagian dari rencana aksi besar menuntut dikembalikanya uang ganti soal ulangan itu, daripada beberapa kali aksi jalanan yang pernah aku ikuti, sungguh. tak hanya kerna waktu itu usia kita masih sangat timur, tapi lebih dari itu, keyakinan karna kita benar dan layak memperjuangkanya itulah yang tak lagi bisa kutemui, entah kapan lagi. salut, tulisanmu ini mengingatkan memori yang itu, tentang kita, kawan-kawan, dan tuntutan yang kita salin dari sebuah tuntutan kakakku yang seorang mahasiswa kala itu.
Semoga saja dengan HARDIKNAS itu, mutu pendidikan semakin baik
lucu yahhh
guru juga manusia mas haris. santai sajalah, he-he-he. mudah2an alokasi APBN 20% membuat mereka sejahtera, dan tak terus-terusan di-umar bakri-kan negara.
“tak pernah benar-benar ada orang yang buruk sekaligus hampir tak mungkin ada manusia yang selalu baik dan alim.”
ya, itu hanya ada di kisah sinetron. hiperrealitas..
memang begitu karakter manusia bermacam macam yah kang……salam kenal
terinspirasi dari kang suryaden.
pernah suatu saat ada ulanga kimia dan saya mendeklarasikan saya paling guoblok kalo bicara tentang satuan2 kimia. nah karena belajar gak mudeng nyontek juga malah semakin stresss, tanya temen belum tentu sepinter gurunya akhirnya saya pustuskan bertanya kepada guru saya yang pada waktu itu jaga ulangan.
“bu saya mau nanya?”
“iya seno?”
“nomor 1 sampai 5 jawabannya apa?”
“jawabannya?”
“Iya bu?”
“ada di luar, kamu cari aja, terus jangan lupa tutup pintunya lagi, DARI LUAR!!”
modyar aku! BWAKAKAKAKK!!!
Salam kenal pak ^^!
Kalau mau cari hotel murah di Bali, silahkan menghubungi kami di 0361 7982865.
Best regards;
Suparta
emm… belajar dari kehidupan sehari-hari, kegiatan, aktivitas, intinnya kurikulum hidup dan penghidupan 😉
Guru juga manusia, Bung!
-JBS-
“pahlawan tanpa tanda jasa” 😀
lam kenal
secara daku se-smp dan se-sma denganmu..
rasa2nya aku kenal dengan guru2 yg disebut di atas tadi..
tapi mungkin karena dulu aku tidak tahu (atau mungkin ga peduli), jadinya ya cuek2 saja..
hahaha..
*ipeh*
kok banyak yang kjelak ya?
guru, wajib digugu lan ditiru; atau wagu tur kuru: atau wagu tur kurang turu: atau wagu tur kakehan turu?
waduh…guruku sapa ya???
aku jarang punya pengalaman dengan guru(pengertian lahir). soalnya malu. cuma pernah kenal dan dikenal ma guru olah raga, soalnya beliau slalu tanya mau olah raga apa hari ini. saya jawab aja basket atau sepak bola. hehehe…itu olah raga yang paling aku suka, dulu…
tapi yen kowe ketoke ra seneng olah raga. iyo po iyo?
aku kok ora nate ora mungsuhan karo guru-guruku… haks…
Pandawa, jarene selamanya menganggap Dorna sebagai guru mereka dan tetep menaruh hormat…
dulu di smp temanku ada yang disuruh makan mangga muda “kruntil” karena nyuri manngga dirumah deket smp saya.. padahal mangga itu masih mentah2 tp tman saya tetep aj metikny dan maemny disekolah.. trus gurunya bawain mangga mentah yang banyak dari rumah buat anak2 yg nyuri tadi… bukan termasuk aku tentuny
jadi inget masa2 sekolah jadinya
Ga fair kalau menyajikan sesuatu yang tidak berimbang. Kalau menonjolkan kelebihannya berarti sombong, sedang kalau hanya kejelekannya saja berarti ada maksud tidak baik. Ini tulisan dibaca oleh orang seluruh dunia lho.