Anak-anak dari Dusun Global
Perlahan-lahan ada yang sedang berubah dari dunia anak-anak di sekeliling kita. Sebuah pergeseran yang terjadi dalam imajinasi mereka, juga ketertarikan, dan harapan-harapan. Kebudayaan anak-anak Indonesia tak mungkin lagi dianggap sebagai ruang sempit yang hanya berisi produk-produk kultural yang ditafsirkan sebagai “asli Indonesia”. Suka atau tidak, kita sedang menyaksikan anak-anak itu memasuki satu ranah budaya baru: sebuah lanskap kultural yang pernah disebut Marshall McLuhan sebagai “dusun global”.
Pemikiran ihwal pergeseran itulah yang hadir di kepala saya, menjadi satu kesimpulan sementara tentang dunia anak-anak paling kontemporer di Indonesia, ketika saya memandangi satu demi satu lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Lukisan Anak dan Remaja 2009. Pameran yang diadakan di Balai Soedjatmoko, Solo, pada 22-28 Juli 2009 itu bisa menjadi bahan refleksi mendalam tentang wajah anak-anak Indonesia hari ini. Diikuti sekira 27 pelukis yang masih menempuh pendidikan di taman kanak-kanak sampai SMA, pameran yang kebanyakan menampilkan lukisan realis tersebut merupakan cermin bening tentang imajinasi, harapan, juga dunia yang paling dekat dengan anak-anak di Indonesia.
Secara umum, obyek yang menjadi bahan lukisan dalam pameran itu memang bervariasi: pemandangan sawah dan gunung, tokoh kartun, binatang, dunia sosial manusia, garis dan komposisi abstrak, serta pelbagai ihwal lain. Tapi dipandang dari sudut yang lebih jeli, ada kecenderungan lukisan-lukisan dalam pameran tersebut menampilkan anasir-anasir dari kebudayaan yang bisa dikatakan sebagai “bukan asli Indonesia”.
Lukisan berjudul Dream karya Ines Pramesti (SMP 12 Surakarta), misalnya, menampilkan dua sosok dengan karakter fisik mirip tokoh kartun Jepang. Dalam lukisan itu, kita akan melihat seorang gadis berkuncir dua ala komik Jepang sedang duduk di atas bulan sabit. Di sampingnya, ada seorang peri bersayap—yang penampilan fisiknya lagi-lagi mengingatkan saya pada tokoh-tokoh anime—sedang terbang, sambil membawa tongkat sakti dengan bintang di ujungnya. Bahkan jika kita mengabaikan fisik sang gadis dan perinya, kita tetap menjumpai konsep yang cukup asing dalam kebudayaan Indonesia. Peri, contohnya, bukanlah berasal dari khasanah cerita rakyat kita—juga kata “dream” yang menjadi judul lukisan itu.
Hal yang sama saya temukan dalam Little Lily in Candy Line karya Elaine Pricillia Halim (Focus Independet School). Lukisan sederhana ini menampilkan seorang gadis berkepang dua dengan baju terusan dan rompi sedang duduk di tanah, di dekat sejumlah permen yang berjejer-jejer. Entah dari mana Elaine memungut kisah tentang Lily kecil ini, tapi yang pasti: ia bukanlah warisan kultur nusantara. Demikian pula Pooh and Piglet-nya Yurika Sugiarto (SD Kalam Kudus), Ferrari-nya Eric Raharjo (SD Kalam Kudus), Istana Cinderella-nya Emilee Elaine Budhi (Singapore Piaget Academy), Hello Kitty-nya Shanice Lau (SD Kanisius Keprabon II Solo), dan sejumlah karya lain.
Tentu saja ada yang melukis dengan nuansa-nuansa Indonesia, semisal Bebek Adus Kali-nya Audrey Kusnadi, Aku Anak Indonesia-nya Maria Jessica (SD Kanisius Keprabon II Solo), Membatik-nya Yahya Natania Irawan (TK Pelita Kasih Nusantara, Solo), atau Solo Batik Carnival karya Michelle RP Pangemanan (tamat dari TK Warga). Tapi sebagian dari lukisan-lukisan itu menampakkan semacam jarak antara pelukis dan karyanya—ada semacam ketidakakraban yang saya temukan dalam karya-karya itu.
Dalam Membatik, misalnya, hadir seorang perempuan yang sedang membatik dengan canting, di bawah sebuah pohon. Di belakangnya, ada pemandangan indah terbentang: langit warna-warni yang dipenuhi sinar matahari. Memandangi lukisan ini, saya menduga bahwa Yahya tidak akrab dengan dunia batik, sebab para pembatik sesungguhnya tak pernah—atau minimal jarang sekali—membatik di alam terbuka. Lagi pula, para pembatik biasanya bekerja secara kolektif, tidak sendirian. Imajinasi Yahya tentang proses membatik, agaknya dirancukan dengan proses melukis ala Barat. Secara visual, dalam film atau acara televisi lain, kadang kala digambarkan seorang yang melukis di tengah alam terbuka hijau yang indah—persis dengan latar dalam Membatik.
Barangkali kita bisa maklum: sebab Yahya, yang melukis Membatik, masih seorang murid taman kanak-kanak. Tapi paling tidak, kita bisa menyimpulkan: dunia batik tradisional bukanlah wilayah yang benar-benar diakrabi anak-anak Indonesia sekarang. Mereka lebih akrab dengan komik atau kartun, sehingga, tidak bisa dihindari, dua hal itulah yang lebih fasih mereka bicarakan atau lukiskan.
Simak lukisan Naruto dkk yang mencampurkan tokoh-tokoh dari kartun Naruto dengan dunia sosial khas kampung Indonesia. Lukisan karya Ivan Kristiawan Eddyanto (SD Kanisius Keprabon II Solo) ini menghadirkan Naruto sebagai petugas kebersihan yang sedang mengemudikan gerobak sampah, Sakura sebagai penjual jamu gendong, dan Sasuke sebagai pemuda desa yang sedang membetulkan genteng rumah. Ada beberapa tokoh lain dari kartun itu yang juga hadir: ada yang berperan sebagai pemulung, tukang becak, dan pemuda yang sedang mengayuh sepeda onthel.
Naruto dkk adalah lukisan paling unik yang saya temui dalam pameran ini. Saya terpesona dengan kefasihan Eddy melukis tokoh-tokoh kartun itu dan memaukannya dengan unsur-unsur lokal, sehingga akhirnya saya menerima—meskipun awalnya terkejut—kehadiran Naruto sebagai petugas kebersihan, atau Sakura yang pemberani itu sebagai penjual jamu gendong. Seolah-olah, keduanya dan juga kawan-kawan mereka bukanlah jagoan dari sebuah negara asing, tapi orang-orang biasa dari suatu kampung yang dekat. Imajinasi Eddy menarik, juga kemampuannya mencampurkan “anasir asing” dengan ihwal yang berada di dekatnya.
Kemampuan mencampurkan semacam itulah, terutama dalam seni meski tak terbatas hanya di wilayah itu, yang barangkali bisa menjadi penawar bagi mereka yang gelisah terhadap ketertarikan dan kedekatan anak-anak Indonesia masa kini dengan “budaya luar”. Sebab sesungguhnya, kita tak pernah mungkin lagi membatasi anak-anak itu untuk hanya mencicipi “dunia lokal” seperti laiknya orang-orang tua mereka lampau. Televisi, internet, juga sumber-sumber informasi lain, telah tersedia dan berada dalam jangkauan mereka, semenjak lahir hingga dewasa. Maka, pembatasan semacam apapun akan mudah dijebol—sebab sekali demarkasi itu telah ditembus, susah kita menambalnya kembali.
Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap kritis, pada setiap produk budaya yang hadir—sikap itulah yang antara lain tercermin dalam lukisan Naruto dkk. Sikap semacam itu yang perlu diupayakan tumbuh pada anak-anak kita, supaya mereka punya bekal cukup saat memasuki dunia baru yang dilimpahi informasi ini. Bagaimanapun, mereka kelak akan menjadi warga dusun global dan hidup di dalamnya, sehingga harus ada upaya kultural mempersiapkan mereka sejak dini menjadi lebih kritis, lebih peka, dan lebih kreatif. Dusun global itu telah di depan mata, dan anak-anak tersebut sedang memasukinya. Lalu, akankah kita diam saja?
Sukoharjo, Juli 2009
Haris Firdaus
Apakah ini tanggung jawab media? Atau mungkin tanggung jawab pendidik yang harus lebih mengenalkan kebudayaan lokal kepada anak2?
Lukisane si Eddy lucu tenan, wkwkwkwkwkwk
Jadi merasa prihatin dengan anak2 jaman sekarang. Kerancuan fikiran berpengaruh dalam imaji dan tindakan mereka
Ternyata anak anak kita tertekan oleh imaji media
Anak tanpa identitas
anak2 jaman sekarang beda dengan jaman dulu
yo genag beda wong jamane wae wus beda..
Lukisannya bagus banget nih..memasukkan budaya indonesia dengan manga..sakura jualan jamu gendong..
Salam kenal,
Mencari Blogpreneur
dunia imaji mungkin di seluruh jagad semuanya bisa bertemu dalam langkah dan padanan tingkat perkembangan kemanusiaan, so.. don't worry…
saya membayangkan saudara saya haris berjalan pelan-pelan di selasar balai sudjatmoko. membawa katalog kecil pameran. mengamati lukisan dari jarak satu meter. kemudian mundur pelahan. mengambil posisi menelengkan kepala. mengeleng-geleng. namun sesaat kemudian manggut-manggut.
agar lebih rileks, kedua tangan mengambil posisi istirahat di belakang pinggul. manggut-manggut lagi. cepat-cepat mengambil katalog di saku. mencatat. nama pelukis dicatat dalam ingatan. merangkai beberapa kalimat manis untuk mengesani sang pelukis.
sambil berjalan saudara saya haris mulai menyusun kerangka lead, yang segera akan diunggah ke dalam blog-nya.
"Perlahan-lahan ada yang sedang berubah dari dunia anak-anak di sekeliling kita. Sebuah pergeseran yang terjadi dalam imajinasi mereka, juga ketertarikan, dan harapan-harapan." satu kalimat apresiatif, berusaha untuk mengikuti gelegak zaman, meski kemudian menyisipkan mimpi-mimpinya dan gambaran kanak-kanak yang mungkin dulu dilewatinya: "Kebudayaan anak-anak Indonesia tak mungkin lagi dianggap sebagai ruang sempit yang hanya berisi produk-produk kultural yang ditafsirkan sebagai “asli Indonesia”. Suka atau tidak, kita sedang menyaksikan anak-anak itu memasuki satu ranah budaya baru: sebuah lanskap kultural yang pernah disebut Marshall McLuhan sebagai “dusun global”." Saudara saya haris berusaha menuliskannya dengan ringan dan non etis. bahwa ia tak merasa diinterupsi oleh 'perubahan sosial' dalam alam pikiran kanak-kanak yang kini semakin merdeka.
tak terasa sudah hampir satu jam lebih saudara saya haris mengamati lukisan demi lukisan. tersenyum sendiri. kemudian beramah-tamah sejenak dengan sejumlah panitia yang memang ia kenal. seorang yang lebih manis dalam pandangannya melempar senyum. saudara saya haris membalas senyumnya sambil membatin: semakin hari tambah manis ia. tak salah bila nanti malam saya undang makan di angkringan depan ISI, begitu kira-kira batin saudara saya haris.
(ha-ha-ha. hanya mencoba membayangkan gimana caranya haris menulis reportase ini. menarik ris, kau buat proses kreatif lahirnya posting2mu di blog)….
harus ada revitalisasi nilai-nilai budaya bangsa…
@masmpep
komentarmu itu lucu dan indah juga. menulis tentang cara orang menulis dg cara yg indah. he2. dan imajinasimu itu kuat sekali. he2. soal yang "senyum manis" itu benar2 bikin saya ngakak. proses kreatif nulis blog? wah, menarik ituh. he2. kau dulu tapi mas febri yg bikin.
Beruntung mereka bisamenuangkan imajinasinya.. terkait dengan budaya bumi mereka, memang butuh team solid kerjasama yang untuh antara anak dan budaya yang menghempitnya.
Saya pernah menonton sebuah film animasi barat yang dalam satu adegan ada sebuah telur bebek yang hampir menetas dan kebetulan didekatnya ada seekor tikus. Bisa ditebak saat sang bebek menetas so sang tikuslah yang dipanggil mama.
Begitulah mungkin kira-kira apa yang ada di mindset kita, segala apa yang yang dekat dengan kita.
Imajinasi kita sangat mungkin akan mengambil informasi dari "cache memory" sebagai library terdekat dan yang paling bisa diakses karena data library tentang budaya kita barangkali sedang krisis IRQ.
Slot di TV banyak yang dihuni anime.
Saya pikir ini "kerja bakti" berskala nasional agar budaya kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.Jangan sampai pas sudah dicaplok orang lain baru teriak.
Imajinasi anak Indonesia memang lemah, bahkan menggambar pun lebih banyak pemandangan (selalu ada gunung dan sawah pula). Saya tak tahu bagaimana mengubahnya, minimal seperti ada anak bule yang saya lihat bisa menggambar penonton (crowd) lomba balap motor…lengkap dengan gambar penjual minuman dan snack. 😀
kalau karakter budaya kita tidak ada yg kuat tentu ngak salah kalau mereka memilih karakter dari negri sebrang ..
saya termasuk orang yang dengan kukuh tidak melarang anak anak melihat acara film kartun asalkan ada batasnya, asalkan ditemani oleh orang tuanya, jangan sampai keblabasan/keterlaluan,
ini semua juga demi masa depan mereka
welwehh..tana identitass
Mencampurdukkan? Itu bukan hanya dunia anak-anak. Dunia orang dewasa malah lebih rumit lagi, termasuk politikus itu. Oh jadi ingat proyek perupa Moeljono di Desa Brumbung abad lalu… Seni rupa untuk penyadaran, melalui anak-anak.
yah soalnya film si unyil sudah tidak ada. sekarang ganti naruto yang lagi Sewa Mobil di desa maju terus. 😀
kita memang sudah tidak bisa mengotak-kotakkan dunia tertentu pada anak-anak karena itu bisa diartikan pengekangan. Kebijaksanaan kita adalah memberitahu dan mengajarkan mereka bagaimana memilih dan memilah…
Mungkin ini yang dimaksud, hidup yang tidak flexible sangat membosankan….
Sama seperti hidup mereka yang diatur2 oleh peraturan yang tidak relevan…