Dan Keresahan Makin Akrab
Indonesia hari ini adalah sebuah dunia yang resah. Dan, kebanyakan seni yang tercipta di masa ini seringkali jadi cermin yang memantulkan keresahan itu.
Asep, Budi, dan Jajang berdiri berjejer. Ketiganya masih mengenakan seragam putih merah khas SD mereka. Asep memegang stick playstation yang tersambungkan seutas kabel ke otaknya. Budi berdiri dengan wajah kaku memegang seikat buku—yang paling atas bertuliskan “matematika” sekaligus bergambar tengkorak. Di kepalanya ada sebuah bola lampu yang kelihatan baik-baik saja tapi tak tampak menyala. Jajang berdiri di pojok kanan, memegang timbangan yang menunjuk angka 90 ons. Di atas timbangan itu ada segumpal otak manusia.
Tentu saja saya tidak melihat mereka di jalanan sepulang sekolah. Saya melihat mereka di dalam sebuah lukisan karya Isa Perkasa yang secara resmi dilabeli “Sekolah Dasar” (135 x 200 cm, 2009). Lukisan yang digambar menggunakan pastel ini menjadi satu dari sekian banyak karya yang dipajang dalam pameran bertajuk keren: “Indonesia Contemporary Drawing”. Pameran yang tentu saja khusus memajang karya yang dibuat dengan seni gambar ini berlangsung pada 16-24 Juni 2009 di Galeri Nasional, Jakarta. Ada 53 perupa Indonesia yang turut serta. Selain Isa, sejumlah nama beken tercatat ikut: Agus Suwage, Ugo Untoro, Nus Salomo, Ivan Sagita, dan lain sebagainya.
Saya berhenti lama di depan “Sekolah Dasar”. Ketiga murid SD yang tergambar di sana tidak memiliki wajah yang jelas, apalagi ekspresi yang memadai. Saya tahu nama mereka dari selembar kain sempit yang tertempel di baju seragam mereka dan berisi nama individual masing-masing. Barangkali ini semacam ironi: murid-murid SD kita memang tak bisa dikenali dari “raut wajah” mereka karena pada dasarnya “raut wajah” para murid itu sudah diseragamkan oleh daftar pelajaran, ujian nasional dengan satu standar, dan cara pengajaran yang tak peka pada bakat individual. Murid-murid SD di negara kita mungkin terus-menerus diancam oleh semacam kolektivitas yang menihilkan karakter pribadi, yang tak memperbolehkan kreativitas liar tersalurkan—sejatinya, ancaman ini tak hanya berlaku buat murid SD saja. Sampai di sini, lukisan Isa membawa kita pada satu refleksi yang pahit: satu-satunya penanda yang bisa membuat kita mengenali anak-anak itu adalah seragam yang terganduli nama mereka.
Dalam “Sekolah Dasar”, seperti telah saya deskripsikan di awal, masing-masing murid membawa benda-benda aneh yang barangkali bisa dilihat sebagai “simbol umum” tentang dunia anak sekolah dasar. Barang yang dipegang tiap orang itu tak mewakili karakter mereka masing-masing—sekali lagi, mereka tak pernah punya karakter yang bisa diimbuhi kata”masing-masing”!—tapi berkisah tentang bagaimana dunia umum anak seusia mereka.
Asep yang otaknya terhubung dengan stick playstation adalah simbol tentang keterhubungan atau bahkan ketergantungan bocah-bocah itu pada game modern yang mengasyikkan sekaligus melenakan. Budi yang memegang buku terikat dengan gambar tengkorak barangkali semacam kisah tentang buku pelajaran yang tak hanya bisa merupakan “madu” tapi juga”racun”. Buku-buku yang dipegang itu tidak terbuka, tapi tertutup rapat sekaligus terikat. Jika pada Asep kita melihat keterhubungan yang begitu kuat—dalam simbol kabel stick playstation yang langsung terkoneksi ke kepala—maka pada Budi kita justru melihat semacam ketidaknyambungan. Buku-buku yang tertutup rapat sekaligus terikat adalah penanda tentang ketidakterhubungan itu. Dan bola lampu di atas kepala Budi yang terlihat baik-baik saja tapi tak menyala mungkin bercerita tentang bagaimana buku—apalagi yang tertutup dan terikat—tak selalu memberi “penerangan” yang memadai. Sementara, Jajang yang sedang menimbang otak itu berbicara tentang dunia pendidikan kita yang selalu melulu menimbang aspek kognitif saja dan melupakan pelbagai sisi kemanusiaan yang sebenarnya juga teramat penting bagi pertumbuhan peserta didik.
***
“Sekolah Dasar” hanya satu misal tentang karya seni yang gelisah memandang kondisi sosial kita. Di pameran “Indonesia Contemporary Drawing”, karya seni yang semacam itu cukup banyak meski tema lukisan dalam pameran tersebut sama sekali tak terbatas pada kondisi sosial politik saja.
Lukisan “Stay to Heaven” (145 x 200 cm, 2009) karya Dede Wahyudin juga sangat menarik. Paradoks dengan judulnya sendiri, lukisan yang digambar dengan charcoal di atas kanvas ini merupakan semacam kekacauan yang mengandung teror. Ada begitu banyak manusia—atau makhluk yang katakanlah bisa dianggap sebagai manusia—dengan rupa yang mengerikan, sebagian tak lengkap bagian-bagian wajah atau tubuhnya. Ada seorang manusia yang tampaknya jadi pusat di lukisan itu, di antara seabrek manusia lainnya. Ia, sang tokoh yang saya anggap sebagai “pusat”, duduk dengan senapan menggantung di bahunya. Di telinga sebelah kirinya, terselip setangkai kembang. Kaki sang tokoh terendam air bertabur bunga di dalam baskom. Dari moncong senapannya, muncul bunga yang terkulai layu. Jangan bayangkan tokoh ini bergelimang keindahan. Ia digambar dengan muram melalui warna dominan hitam, wajah yang gelisah, mata mendelik.
Di sekeliling sang “pusat”, beberapa manusia sedang melakukan aktivitas yang mengingatkan kita pada gambaran tentang kerja paksa dalam buku-buku sejarah: sebagian manusia itu terantai tangannya, ada yang tertutup matanya, ada pula yang tampak berperan sebagai algojo bercambuk. Tentu saja, tiap orang waras paham: lukisan ini tak mengandung “heaven” dalam pengertian yang lumrah. Atau, jangan-jangan, kita mesti bertanya: kalau memang dalam lukisan itu ada semacam surga, surga siapakah itu? Surga milik sang “tokoh pusat” dan neraka bagi manusia lainnya? Atau mungkin kita harus mengubah cara pandang: di dunia yang kacau balau seperti itu, jangan-jangan masih ada “sesuatu” yang bisa—atau malah harus?— kita anggap sebagai “surga”? Di antara begitu banyak kekacauan yang meneror, bukankah kita masih bisa bertahan dengan menciptakan semacam surga sendiri?
Lukisan S Teddy Dharmawan yang berjudul “Wajah Rantai” (200 x 150 cm, 2009) mengingatkan saya pada begitu banyak kekangan yang menghambat kita untuk sekadar menampakkan wajah sendiri. Lukisan dengan latar merah yang mencolok dan digambar dengan acrylic di atas kanvas ini berisi sketsa sebuah wajah yang terbentuk dari jejalin rantai. Semua bagian wajah—mata, hidung, mulut, alis, dan lain-lain—dibentuk oleh rantai yang menyambung. Wajah itu memang terbentuk, bisa kita lihat, tapi sekaligus kita juga sangat tahu: ia terbentuk dari rantai. Mungkin ini perlambang tentang problem identitas yang sudah sejak amat lama tapi tak pernah benar-benar selesai di sekitar kita. Bahkan di masa yang sering secara berlebihan dianggap sebagai kurun tumbuh suburnya pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi ini, “Wajah Rantai” tetap relevan. Tetap banyak wajah yang tak pernah bisa tampil “apa adanya” dengan leluasa karena terlalu banyak rantai yang membelenggu. Atau, jangan-jangan, wajah yang terbentuk dari rantai memang kodrat kemanusiaan kita?
Kita tak bisa menjawab pasti. Lukisan-lukisan S Teddy juga tidak. Seperti banyak lukisan lain di pameran seni gambar itu, gambar Teddy adalah sebongkah kegelisahan, bukan jawaban. Ia memaksa kita yang kadang-kadang dilanda kenyamanan ini untuk kembali gelisah, membikin kita yang mungkin malas berrefleksi menjadi lebih peka. Lukisan-lukisan itu juga berpotensi membuat kita lapar, kehausan, dan selamanya bertanya. Atau, jika dirumuskan secara pendek: mereka membuat keresahan makin akrab dengan kita.
Jakarta, Juni 2009
Haris Firdaus
Duh saya paling males kalo harus gelisah……
Semua orang pasti pengennya ya nyaman kan ya.
sungguh-sungguh tajam deskripsinya mas. saya ikut terhenyak atas segala kegelisahan itu. saya jadi teringat 5 ato 6 tahun silam saat Cak Kandar, pelukis asli suroboyo, itu juga menuangkan segala kegelisahaannya dalam beberapa pameran yang menggugah. "Trragedu sempit" adalah salah satunya
ketika seniman dipersenjatai dengan kreativitas, setidaknya rintihan republikkan bisa ditorehkan! tur gandheng negeri ini terlanjur budeg, perlu perjuangan keras untuk bisa menjebol keheningan bumi republikkan ini!
hidup patriotisme kelas jalanan!
tulisanmu luwih api daripada gambarnya mas 😀
Kayaknya lukisannya bagus, harus liat nih
mantafff
artikel yang bagus
wuuuuiiih penuh makna dan kritis banget tob
duh lama ngak liat pameran nih
kangen
wuih, merambah ke segala bidang nih, hahaha….
salut, Ris!
Tuhan selalu mengirimkan seniman untuk menjaga keseimbangan alam,memberi alert bagi kita semua yang seringksli terlena dan tidak sepeka mereka dalam menyisir setiap jengkal sisi kehidupan.
Seniman adalah makhluk yang pertama kali berteriak bila nampak adanya "ketidak beresan".
Tidak jarang mereka berjalan melawan arus dan tak sempat berfikir tentang jumlah dan nuansa kemenangan.
Kadang terasa aneh memang karena sesungguhnya mereka adalah makhluk yang tuna netra.
Kita sudah terbiasa menangkap realita dengan mata dan kepala sedang mereka memahaminya dengan matahati.
Kadang juga mereka bicara dalam bahasa yang berbeda yang seringkali bagi kita yang awam merasa sulit buat mengungkap makna yang ada dibaliknya.
Bila mas Haris bisa dengan mudah menerka apa yang mereka rasa, dalam hati ini timbul sebuah tanya : ah, jangan jangan mas Haris seorang seniman juga.
Entah sedang menyamar atau memang telah Tuhan kirimkan agar dunia blog ini menjadi semakin kaya warna, agar bandul keseimbangan itu tetap terjaga, antara yang biasa ( seperti blog saya….hahaha) dan yang tak biasa, yang kepala ini seringkali masih terus mencerna apa yang telah dibaca beberapa waktu sebelumnya.
keresahan membuat kita semakin jauh dari akal sehat.
seringkali gambar bicara lebih banyak daripada kumpulan kata-kata…