Oncor dan Imajinasi Takbiran
Di kampung saya, malam takbiran selalu identik dengan oncor. Oncor adalah bahasa Jawa dari obor. Oncor di kampung saya selalu berupa potongan bambu, kira-kira sepanjang jarak telapak tangan hingga siku orang dewasa, yang di ujung atasnya dimasuki kain bekas yang sudah dicelup ke minyak tanah. Kain tadi berfungsi sebagai sumbu yang akan menjadi sumber api.
Sebagaimana di tempat-tempat lain di Indonesia, takbir keliling adalah aktivitas yang pasti ada di kampung saya. Remaja masjid setempat mengorganisirnya menjadi paket kegiatan Ramadhan. Secara resmi, peserta takbir keliling adalah anak-anak—nama acara itu dalam proposal permohonan dana kegiatan Ramadhan kampung saya adalah “takbir keliling anak-anak”. Tapi selalu saja aktivitas itu dipenuhi pula oleh remaja, orang tua, dan balita. Para remaja menjadi panitia, orang-orang tua ikut dengan tujuan mengawasi anak-anak mereka yang menjadi peserta, sementara bayi-bayi kadang dibawa karena ibu bapak mereka turut serta dalam takbir keliling.
Remaja masjid sebenarnya sudah menyediakan paket takbiran yang lain, yakni yang disebut sebagai “takbiran bapak-bapak” dan dilaksanakan di masjid. Namun selalu saja jumlah bapak-bapak yang turut dalam “takbiran bapak-bapak” ini lebih sedikit dibanding bapak-bapak yang ikut takbir keliling anak-anak. Agaknya, takbiran di masjid dianggap kurang meriah, kurang bisa mengekspresikan kegembiraan selepas menjalani puasa sebulan penuh. Itulah kenapa takbiran keliling selalu meriah, hiruk-pikuk, dan ruwet. Anak-anak kadang susah diatur, ritme jalan mereka tak kompak, juga suara takbir mereka sama sekali tak saling selaras. Tapi dalam takbir keliling, semuanya selalu terlihat tersenyum atau tertawa, gembira alias bahagia.
Hal penting yang hampir tak dapat ditinggalkan dalam takbiran keliling aalah oncor. Panitia Kegiatan Ramadhan bahkan punya petugas khusus untuk membuat oncor. Dinamai dengan sebutan yang sedikit menggelikan, “Seksi Oncor”, tugas mereka adalah pergi ke kebun-kebun liar di dekat kampung mencari bambu dan memotong-motongnya menjadi seukuran oncor. Mereka pula yang harus mencari kain bekas dan menyobek-nyobeknya, mencelupkan kain-kain ke dalam minyak tanah, lalu memasukkannya ke bagian atas oncor. Sesudah itu, mereka akan menjejer oncor-oncor siap pakai di depan masjid. Nanti, ketika takbir keliling akan dimulai, masing-masing anak yang menjadi ketua regu akan mengambil oncor, menyalakannya, dan membawanya dengan gagah seolah sedang membawa obor Olimpiade.
Dipandang dari segi fungsional, membawa oncor dalam takbir keliling di kampung saya sebenarnya merupakan sesuatu yang sia-sia. Terletak di perbatasan Kabupaten Sukoharjo dengan Kota Solo, kampung saya sepenuhnya mewarisi sifat dan fasilitas ala kota. Penerangan jalan ada di mana-mana. Hampir tiap sudut kampung selalu menyala, diterangi lampu pribadi atau penerangan umum. Jadi, membawa oncor mengelilingi kampung saya sama dengan menggarami lautan, menggulai pabrik gula.
Saya tak tahu persis sejak kapan oncor dipakai sebagai bagian dari kelengkapan takbiran. Sejak saya menjadi remaja dan bergabung dalam aktivitas remaja masjid, saya sudah menemui oncor dalam tiap takbir keliling. Saya tak pernah bertanya kenapa harus ada oncor. Tak ada kawan lain yang juga menanyakannya, seingat saya. Yang jelas, membawa oncor bukanlah sesuatu yang dilakukan atas dasar aspek fungsional saja. Agaknya oncor dihadirkan lebih untuk menyajikan suasana tertentu dalam takbiran. Dan, menurut saya, suasana yang hendak dihadirkan melalui oncor adalah suasana pedesaan zaman lampau yang remang-remang karena listrik belum masuk desa.
Saya ingat pernah menyaksikan bagaimana suasana takbiran keliling di pedesaan zaman dulu di layar televisi. Ingatan saya tak cukup kuat untuk mengingat dari tayangan jenis apa gambaran itu ada. Mungkin film, dokumenter, atau berita. Yang jelas, bayangan tentang aktivitas takbiran keliling di desa-desa yang temaram itu masih membekas di benak saya. Saya masih ingat bagaimana anak-anak bersarung dan bermukena membawa oncor melewati jalan-jalan desa yang gelap tanpa lampu sembari mendendangkan suara takbir. Suasana macam itu, walau hanya merupakan bayangan, menyajikan gambaran romantis masa lalu: desa-desa yang tenang, wajah anak-anak yang lugu dan khusyuk, juga suara takbir yang menggetarkan dada. Semuanya terlihat indah dan tenang, kontras dengan suasana sekarang yang ramai dan penuh keresahan.
Apakah romantisme semacam itu yang memengaruhi orang-orang zaman sekarang, tak terbatas di kampung saya, membawa oncor saat takbiran keliling? Sangat mungkin iya. Gambaran itu, saya kira, terus diimajinasikan sebagai aktivitas takbiran yang indah dan relevan buat dipertahankan. Kini, orang-orang masih mengimajinasikan bahwa takbiran keliling mungkin sama dengan keliling kampung membawa oncor sambil menyebut kebesaran Tuhan.
Tentu saja ada model takbir keliling lainnya, yakni mengelilingi jalan-jalan besar di kota menggunakan truk atau mobil bak terbuka sambil menabuh kendang atau rebana yang berisik. Tapi, model takbir keliling membawa oncor, saya kira, juga masih dipertahankan, setidaknya di kampung saya. Mungkin, nyala api oncor menghadirkan suasana penerangan yang berbeda dengan terang lampu merkuri yang menyilaukan itu. Memegang oncor, untuk ukuran orang masa kini, sebenarnya agak merepotkan. Selain pegal jika kita membawanya terlalu lama dengan posisi teracung ke atas, nyala apinya juga panas dan kadang bahkan mengenai kita. Minyak tanah yang ada di dalam batang tubuhnya juga sering tumpah ke kita.
Merepotkan tapi justru ia lebih dekat dengan manusia. Sebab, oncor harus dipegang, harus kita genggam, dan itu berarti ia bersentuhan dengan daging kita. Tak seperti lampu yang sama sekali tak bersentuhan langsung dengan kita, oncor bukan hanya kita lihat sinarnya tapi juga kita rasakan bentuk dan teksturnya. Beratnya harus kita sangga. Panas apinya sangat nyata. Bau minyak tanahnya menusuk hidung kita. Saya kira, ini juga yang menyebabkan ia selalu dirindukan, walau hanya sekali setahunnya.
Sukoharjo, 18 September 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Di daerah asalku, Sragen, yang sudah pasti sangat ndeso, malah tidak ada tradisi keliling kampung bawa oncor. Biasanya hanya takbiran dan lek2an di masjid.
Selamat lebaran dan Idul Fitri, semoga kita masih sempat bertemu dengan Ramadan tahun depan
sebagai sesama orang Makamhaji, sayah setuju, tradisi ini memang terus bertahan, begitu pun dikampungku.
Namun kemeriahan bulan Ramadhan tidaklah seperti jaman dulu, atau mungkinkah karena aku beranjak dewasa, sehingga tidak bisa merasakan kemeriahan ketika aku masih kecil dulu.
Mubeng nggowo oncor, nylempitke mercon, sinambi nyumet mercon, hahahaha…
Yang penting met menjelang lebaran ya mas..
Mohon maaf lahir batin
selamat lebaran idul fitri…
Kalo obor sekarang jarang di kawasan saia, palingan petasan, balon ama kembang api mas
paling tidak, ntar bisa buat cerita anak cucu, kalau dulu pernah ikut takbiran sambil bawa oncor.hehehehe
Bersilaturahmi kepada semua teman-teman
Minal Aidin Wal Faizin Mohon maaf lahir bathin
met idul fitri, mohon maaf lahir dan batin
wah, tradisi seperti ini sekarang sudah hilang di kampung saya, mas haris. doh, sudah bertahun-tahun tak ada lagi takbir keliling dg penerang obor yang eksotis seperti ini. btw, ini blog mas haris yang baru, yak, selamat-selamat, semoga menjadi media utk menampung mimpi2 kreativitas. selamat idul fitri, mas haris, mohon maaf lahir dan batin.
Selamat Hari raya lebaran 1430H
Taqabalallahu minna wa minkum
Mohon maaf lahir dan bathin
tradisi takbiran keliling pake oncor masih banyak kita liat di wilayah eks-karesidenan surakarta.. termasuk kota kelahiran saya, karanganyar… 😉
mas haris,
sugeng ariyadi 1430 H,
nyuwun gunging pangapunten..
tempatku wis lenyap… bahkan tradisi seperti itu adapun menjadi hal yang sangat spektakuler, ingin dilakukan namun terbentur persoalan, kekolotan modernisasi, nyebahi pokoke
lepas dari takbiran keliling to tidak
saya ingin memohon maaf lahir batin, hepi lebaran 2009..
oncor kadang dipakae untuk golek kodok barang
wakakakka
kalo di t4 saya (kotagede), sudah jarang yang pake oncor (obor) sudah diganti ma penerangan yang lain, selain itu acara takbiran juga dilombakan, jadi y berlangsung meriah banget…
Mohon maaf lahir bathin juga…
Mantaapp,, seluruh masyarakat Sangat antusias mengikuti acara takbiran keliling, sayangnya kita yang perempuan ndak bisa karena harus menetap didapur. Eh #curhat hehe