Seragam Sekolah: Sebuah Kisah
Pada sebuah pagi sekira sebelas tahun lampau, saya bangun tidur dengan perasaan yang campur aduk: ada rasa senang, sekaligus bangga, tapi juga secuil cemas. Hari itu, untuk kali pertama setelah enam tahun, saya boleh menanggalkan seragam sekolah berwarna putih-merah dan bisa memakai seragam baru berupa kemeja putih lengen pendek dan celana cekak warna biru.
Pagi itu adalah hari keempat saya di SMP. Setelah tiga hari masa orientasi siswa yang menjemukan—saat-saat di mana saya masih harus menggunakan seragam SD—akhirnya saya merasa “benar-benar sudah SMP”! Sekali lagi: saya senang dan bangga tapi sekaligus cemas.
Masalahnya akan tampak sederhana dan mungkin naif saat ini, tapi waktu itu bagi saya sungguh bukan soal sepele. Pada satu sisi, saya senang karena sudah boleh menanggalkan seragam SD yang waktu itu mulai terasa sebagai siksaan—sungguh, memakai seragam putih-merah itu, saya selalu merasa sebagai “anak kecil”. Kenyataannya, saya memang masih kecil—sebagaimana tiap anak SD sebenarnya hanyalah “anak kecil”. Tapi, mereka yang sudah memasuki kelas 6 SD hampir pasti akan merasakan sebuah perasaan “ingin diakui menjadi lebih dewasa”. Dan, sadar atau tidak, seragam putih-biru ala SMP memenuhi kebutuhan itu.
Ada sebuah perasaan, atau mungkin imajinasi, bahwa ketika kita menjadi murid SMP—dan itu berarti kau harus memakai seragam putih-biru!—kita akan menjadi sosok yang (jauh) lebih dewasa dibandingkan dengan anak SD. Ini mungkin logika menggelikan sebab jarak umur—dan ini sangat mungkin juga berarti jarak psikologis—antara murid kelas 6 SD dengan siswa SMP kelas 1 seringkali hanya beberapa bulan, atau kadang beberapa minggu saja. Tapi begitulah, pagi itu, ketika sadar bahwa saya akan memakai seragam SMP, saya merasa diri saya telah jauh lebih dewasa. Itulah pangkal kenapa pagi itu saya senang sekaligus bangga.
Sementara, kecemasan saya berawal dari perasaan yang jauh lebih memalukan: jauh di dalam hati kecil saya, ada ketakutan bahwa saya akan terlihat wagu jika mengenakan seragam SMP. Saya sedang puber kala itu dan sangat wajar jika tak ingin terlihat buruk di hadapan orang lain. Kecemasan itu membuat saya berlama-lama mematut diri di depan cermin, berusaha habis-habisan agar di hari pertama saya memakai seragam putih-biru itu saya tidak terlihat buruk.
Akhirnya saya merasa tak buruk-buruk amat, dan dengan perasaan pede berangkat ke sekolah. Dalam hati saya berteriak: “Saya bukan anak kecil lagi!”.
Ketika masih SD, saya kadangkala diejek oleh kakak yang saya sudah SMP dengan perkataan yang kira-kira begini: “Alah, isih nganggo kathok abang wae ojo kemaki.” Artinya kira-kira: jangan sok karena kamu masih memakai celana merah. “Celana merah” itu merujuk pada warna celana pendek seragam SD yang saya pakai. Intinya, selama saya masih memakai celana berwarna merah itu, saya selalu dianggap masih kecil. Barangkali ejekan semacam itu yang mengakibatkan saya, juga banyak anak SD lainnya, menganggap bahwa seragam putih-merah khas SD merupakan simbol anak kecil. Itulah kenapa, ketika akhirnya saya boleh tidak memakai seragam putih-merah itu lagi, saya senang. Mungkin saya merasa lebih dewasa bila memakai seragam putih-biru ala SMP.
Namun, hal yang mirip justru terjadi lagi ketika saya sudah SMP. Saya kadang diejek oleh anak-anak SMA karena, walau sekarang saya sudah lebih dewasa ketimbang anak SD, saya toh masih mengenakan celana pendek saat bersekolah. Dan, celana pendek adalah simbol anak kecil. Maka, saya kadang juga merasa minder dan lama-kelamaan mulai mengidamkan menjadi anak SMA sehingga saya boleh memakai celana panjang warna abu-abu itu.
***
Saat ini, ketika saya mengingat pengalaman itu kembali, saya bisa menyimpulkan bahwa seragam sekolah membawa semacam identitas tertentu pada mereka yang memakainya. Seragam sekolah, sebagaimana bentuk pakaian lainnya, akhirnya memang tidak pernah hanya berfungsi sebagai penutup tubuh saja. Selalu ada makna tertentu yang dibawa dalam seragam sekolah yang kita pakai.
Dalam contoh kasus pengalaman saya, makna yang melekat pada masing-masing seragam sekolah di tiap jenjang pendidikan berkaitan dengan soal senioritas. Mereka yang SMP merasa lebih dewasa ketimbang anak SD, sementara anak-anak SMA merasa menjadi senior di antara dua tingkat itu. Dan penentu penting senioritas itu adalah bentuk visual seragam masing-masing jenjang pendidikan.
Seandainya seorang murid SMP kelas 3 bertemu dengan anak SMA kelas 1 dalam keadaan masing-masing tak memakai seragam, tak akan ada kesenjangan senioritas antarkeduanya. Beda senioritas baru muncul ketika keduanya bertemu dalam keadaan berseragam. Padahal, bisa jadi, jarak umur keduanya hanya beberapa bulan. Tapi efek yang diimbulkan oleh detail visual seragam sekolah mereka sungguh begitu besar sehingga jarak umur yang pendek akan segera diabaikan.
Persoalan seragam sekolah dan nilai-nilai kultural yang dibawanya itulah yang menghantui saya saat berada di Jakarta selama dua minggu pada Juni lalu untuk mengikuti Workshop Penulisan Seni Rupa dan Budaya Visual yang diadakan oleh ruangrupa. Waktu itu, sebagai bagian dari workshop, saya diharuskan membuat sebuah tulisan dengan pilihan tema seni rupa atau budaya visual. Sejak awal saya lebih tertarik menulis perihal kasus yang masuk kategori budaya visual secara umum sehingga saya mengarahkan perhatian saya pada kasus-kasus tertentu yang mengandung aspek visual menarik.
Selama masa-masa berpikir itulah, sembari terus menyimak diskusi-diskusi di ruang kelas workshop, saya kembali terbayang-bayang bagaimana pengalaman saya saat memakai seragam sekolah dulu. Saya merasakan, bentuk visual seragam sekolah ternyata punya pengaruh penting bagi pemakainya. Akhirnya, saya memang membuat sebuah esai, cukup panjang, perihal seragam sekolah di Indonesia. Tidak berfokus pada persoalan senioritas seperti yang saya alami, tapi pada perlawanan yang dilakukan para sisiwa terhadap aturan seragam sekolah dan apa makna dari perlawanan itu.
Hipotesis saya, penyeragaman visual yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peserta didik ternyata menemui perlawanan dari para siswa. Perlawanan itu beraneka rupa, sama sekali tidak tunggal, dan punya banyak alasan. Ada perlawanan yang politis, estetis, tapi juga humoris.
Setelah digubah dan diedit secara amat ketat, esai itu pada awal bulan ini dimuat di Jurnal Karbon—sebuah jurnal yang dikelola oleh ruangrupa yang konsen pada kajian seni rupa kontemporer, budaya visual, dan masalah urban. Judul esai itu adalah “Penyeragaman yang selalu gagal”. Ardi Yunanto, editor Jurnal Karbon, memberi bahan-bahan baru sekaligus melakukan editing yang menurut saya sangat bagus.
Bila tertarik, Anda bisa membacanya di Jurnal Karbon karena saya tak akan memuat esai tersebut di blog ini. Terlalu panjang. Inilah link-nya: “Penyeragaman yang selalu gagal”. Karena Jurnal Karbon tidak membuka fasilitas komentar di webnya, Anda bisa menuliskan komentar Anda soal esai itu di bawah postingan ini. Ada juga versi Bahasa Inggris esai itu: The ever-failing effort at uniforming the students
Sukoharjo, 3 Oktober 2009
Haris Firdaus
pertamaxxxx
klo menurut saya Masa SMA lah yang paling berkesan walaupu dunia kampus lebih luas …
siang mas..apa kabar..?salam kenal, nuhun nitip ini ya..bela negara ala lansia
terima kasih..
penyeragaman bermaksud baik, supaya tidak ada kecemburuan..namun tetap penolakan terhadap suatu hal pasti ada…
kunjungan pertama.. salam kenal…
hahaha lek wis kuliah gak pake seragammm
gw udah gak kecil lagiiiiiiiiiiiiiiii
walaupun masih pake seragam tapi gak kecil lagiiiiiiiiiiii
lah, sergamanya seragam kerja kok hi hi hi
yah, banyak orang yang menilai seseorang dari seragamanya, terutama untuk sergam sekolah
seragam-mu ijik mbok simpen to?
wahahaha
walah..
seragam sma ku udah ilang pas gempa jogja dulu..
saya ga punya cerita berkesan waktu SMU, cuma ingat waktu Tawuran aja sich
Beberapa negara .tidak mewajibkan pakaian resmi dalam pendidikan formal.
Haruskah Indonesia mencontoh hal seperti itu…?
Sebagai bukti peduli kita terhadap linkungan yang semakin menuju ke dalam fase degradasi, PetaMasaDepan Dev (PMD). mengajak para Blogger Indonesia sekalian untuk mengkampanyekan lingkungan hidup.
Salam kenal. Seragam sekolah? Hmm, tentunya ada kenangan tersendiri ..
Saya merasakan sekolah belum ada seragam ya cuma 2 taun di SD, setelah itu udah diwajibkan pake seragam.
seragam jd identitas suatu institusi, suka nggak suka mesti dipakai. ada juga yg kelewat bangga menggunakan seragam, bisa berlaku sewenang2 kepada org2 yg lemah..
tapi memang seragam itu berpengaruh bgt secara psikologis. kita respek sama polisi krn seragamnya kan.. coba kl dia pakaian sipil, pasti biasa aja..
salam kenal yah! 😀
SERAGAM TETAP PENTING…tetangga saya, profesi sebagai penjahit, penghasilan terbesarnya dari jahit seragam. hehehehehe
jadi pengen sd lagi
tiap hari pke sragam 😀
Kalo saya kok kebalikannya ya. Lebih nyaman dengan seragam yang lebih muda: SD terhadap SMP, maupun SMP terhadap SMA. Ya, mirip-mirip Peter Pan yang menolak menjadi dewasa *halah.
kenangan sejelek apapun tetap akan indah untuk dikenang
Mantap! Seragam yang tidak menyeragamkan!
Jadi inget waktu masih sekolah.
Saya paling sering ditegur guru gara2 lengan baju sering saya lipat.
Salam silaturahim.
semuanya sebenarnya sebatas sawang sinawang….ilmu relativitas dunia!
seragam sekolah memang menimbulkan banyak penafsiran, mas haris. pada sisi sosial, seragam bisa menghilangkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin. tapi pada sisi kultural dan pengembangan logika, seragam sekolah bisa berdampak terhadap pola berpikir monolitis.
jangan lupa, badge kelas bisa menunjukkan senioritas…
ayo……………………….. sekolah………………………………
salam kenal y bos
ah, ris. mengikuti jejak kepenulisanmu hanya membuat saya iri, dan ingin bergegas menulis banyak (lagi). dengan serius. berdiskusi banyak hal terlebih dahulu sebelum menulis satu tulisan. namun entah mengapa tak dapat optimal lagi. kadang saya membesarkan hati: saat ini tampaknya saya sudah ‘dewasa’, diinterupsi rupa-rupa hal yang harus dilakukan, sebagaimana banyak kawan yang meredup pelan-pelan oleh rutinitas, ha-ha-ha.
saya tak ingin berkomentar soal posting ini ah. tambah keki, ha-ha-ha.
saat masih harus menggunakan seragam SD – SMA .. syukur alhamdulillah .. saya tidak mengalami adanya rasa kesenjangan / senioritas .. seingat saya, berada di level usia berapapun saya diperlakukan sama .. tidak diperlakukan sebagai ‘anak bawang’ ..
saya pribadi malah sangat senang dan bersyukur pemerintah kita berusaha menerapkan menggunakan seragam di sekolah. Kenapa ? saya tidak melihat kesenjangan ekonomi siswa2 .. saya senang tidak ada tatapan dari atas hingga ke bawah , menilai baju yang dikenakan .. bahagia rasanya melihat teman2 saya yang kurang beruntung tidak merasa minder hanya karena pakaian ..
rasanya saat SD-SMA benar2 pertemanan itu dilihat dari kualitas pribadi, bukan kualitas baju bagus yang identik dgn merk ..
Iklan Gratis
Ya kayak di luar negeri aja ya, baju bebas ke sekolah, jadi tidak perlu ada kesenjangan senioritas.
Saya jg dulu tdk suka pake seragam, rasanya langsung keliatan gitu anak sekolahnya…. makanya begitu kuliah rasanya kok merdekaaaa banged hehee…
kunjungan pertama
salam kenal
seragam…dari segi senioritas memang menimbulkan kesenjangan senioritas, tapi patut dipertimbangkan juga kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat yang terkadang masih suka mempunyai watak suka pamer.
Yahh, jadi inget masa-masa puber dah..
-jbs-
wkwkkkkk….coba kalo kuliah juga pake seragam yaaak…*.^