Makan dan Makam
Sore itu, ketika Budhe B menelepon, saya sedang sendiri di rumah. Semua anggota keluarga saya sedang ke Magelang, menengok rumah kontrakan kakak saya.
“Wis krungu kabare Pak A?”
“Durung, Budhe.”
“Pak A wis ra ono.”
Saya tercekat mendengar penuturan budhe. Pak A adalah om saya, adik dari ibu—ia yang terakhir dari dua belas bersaudara anak kakek saya. Saya seharusnya memanggil dia dengan sebutan “om” atau “paklik”, tapi entah kenapa, sejak kecil, kami terbiasa memanggil dia dengan sebutan “pak”.
Keluarga saya jelas sangat dekat dengan Pak A—ia seorang pensiunan pekerja Freeport yang belakangan kemudian membuat usaha video shooting. Ia fotografer yang bagus. Di rumah saya, ada foto keluarga kami—bapak-ibu, saya, tiga kakak, dan seorang adik saya—hasil jepretan Pak A. Ada pula foto keluarga kami beserta keluarga Pak A.
Sesudah saya mendengar kabar kematian Pak A, saya menelepon kakak perempuan saya, mengabari ihwal itu. Mereka sedang dalam perjalanan, bahkan belum sempat sampai ke rumah yang hendak ditengok. Saya mendengar suara ibu dan saudara-saudara saya yang terkejut, diiringi ucapan Innalillahi. Saya diam saja.
Kematian Pak A adalah muara dari kisah yang cukup panjang dan sedih. Ia tak pergi dengan cara mengejutkan. Sebab-sebabnya jelas. Tapi itu sama sekali tak mengurangi kesedihan kami.
Pada mulanya adalah luka kecil. Sekira empat bulan lalu, Pak A menderita sebuah luka kecil di kakinya. Itu adalah luka yang benar-benar sepele bagi mereka yang sehat. Tapi bagi Pak A yang menderita diabetes, ceritanya jadi lain. Luka itu ternyata tak kunjung kering karena darah penderita penyakit gula memang jauh lebih susah membeku. Luka itu bahkan mulai berbau.
Ketika ibu saya berjumpa dengannya di sebuah kesempatan empat bulan lampau, Pak A terlihat kepayahan. Luka kecil itu mulai menampakkan akibat yang signifikan baginya. Kaki Pak A mulai mengeluarkan bau dan ia tak bisa berjalan dengan tegak seperti dahulu. Ini jelas tanda bahwa penyakit diabetesnya sudah ikut campur dalam luka kecil itu. Dua jarinya kelihatan berlubang karena lukanya tak mau menutup.
Beberapa waktu kemudian, ia masuk rumah sakit. Vonis dokter sungguh mengerikan. Dua jari yang berlubang itu mesti “dibersihkan”—ini istilah halus (atau istilah medis?) dari diamputasi. Ya, dua jari yang kini membusuk itu mesti dipotong supaya penyakitnya tak menyebar. Bagi saya yang awam, vonis ini sungguh terlihat menyakitkan. Kehilangan dua jari karena sebuah luka kecil?
Tapi kakak perempuan saya yang kuliah di fakultas kedokteran mengatakan itu solusi yang memang biasa dilakukan bagi para penderita diabetes yang telah akut. Kakak saya sempat menyarankan Pak A meminum ramuan China yang bisa mengeringkan luka semacam itu. Rasa obat tradisi itu tak enak. Pesing, katanya. Pak A tak mau meminumnya, sementara anaknya terlanjur menandatangani “operasi pembersihan” itu. Pak A diamputasi dua jarinya beberapa waktu kemudian—setelah sempat ragu-ragu, keluarga akhirnya menuruti saran dokter.
Orang-orang awam, semacam saya, akan merasa masalah Pak A sudah beres. Dua jari busuk telah dipotong—itu berarti tak akan ada lagi penularan penyakit bukan? Ternyata bukan. Entah bagaimana prosesnya, penyakit Pak A akibat luka kecilnya dulu masih terus berlanjut. Tiba-tiba, ia masuk rumah sakit kembali. Dan kini semuanya terlihat makin mengerikan. Pembusukan itu ternyata masih berlanjut ke bagian tubuh lainnya dan sekarang telah hampir mencapai lutut. Amputasi harus kembali dilakukan, tepat sampai bagian di bawah lutut.
Saya hampir tak percaya mendengar itu dan lagi-lagi protes: “Kalau memang amputasi yang pertama itu tak menyelesaikan masalah, kenapa mesti dilakukan?” Lagi-lagi, saya tak mendapat jawaban yang pasti. Pak A, setelah sempat keluar-masuk sejumlah rumah sakit, akhirnya kembali dioperasi.
Setelah operasi, semuanya justru makin buruk. Pak A berada dalam kondisi kritis. Sebelum operasi, saya sempat menengok dia di sebuah rumah sakit di Sukoharjo. Ia sudah tak lagi normal dalam berkomunikasi. Kata-katanya sering meracau, pendengarannya berkurang sangat banyak, dan pikirannya seperti orang linglung. Waktu itu, ia sudah kehilangan dua jari kaki—dan itu menimbulkan dampak psikologis tak sedikit. Sesudah operasi, kondisinya bisa dikatakan kritis. Sempat keluar dari rumah sakit beberapa hari, ia akhirnya opname lagi. Sejumlah keluarga bahkan telah pasrah. Yang lain malah sudah membicarakan skenario pemakaman.
Dan pada sore ketika saya sendirian di rumah itu, Pak A meninggal. Kepergiannya tampak sebagai konsekuensi logis dari sakitnya yang parah. Tapi bila direnungkan kembali, saya seolah tak percaya bahwa semuanya dimulai dari sebuah luka kecil yang bahkan disepelekan oleh hampir tiap orang. Soalnya adalah diabetes. Penyakit itu membuat pembekuan darah jadi sulit dan luka ringan akan menyebabkan bencana dahsyat yang tak mungkin dibayangkan.
Diabetes, tentu saja, adalah penyakit turunan. Setahu saya, penyakit itu tak bisa disembuhkan total. Cuma bisa dikontrol dengan menjaga pola makan dan olahraga. Pak A tak bisa melakukan keduanya. Ia orang yang suka makan enak—tidak memberi pantangan terhadap makanan mengandung gula—dan setahu saya, ia jarang olahraga. Itu kenapa kadar gulanya, saat ia pertama kali melakukan cek, bisa sampai angka jauh di atas ambang batas.
Diabetes mungkin penyakit yang kejam tapi sama sekali tak melumpuhkan jika penderitanya bisa displin. Tapi siapa yang bisa disiplin soal makanan? Tak semua orang tentu. Mungkin itu yang menyebabkan kata “makan” dan “makam” hanya berselisih satu huruf. Ternyata, keduanya begitu dekat.
Sukoharjo, 7 November 2009
Haris Firdaus
ps: gambar diambil dari sini
Saya selalu miris bila mendengar/ membaca cerita tentang diabetes. Tapi saya punya teman kantor yang kena diabetes tapi tampak sehat karena yaitu tadi, rajin olahraga dan makan terkontrol. Tapi begitu mendengar cerita teman tadi bahwa pada saat kadar gula naik maka semalaman seperi orang linglung, bingung dan berdebar-debar dan tak bisa tidur.
Turut berbela sungkawa atas meninggalnya pak A semoga tenang disisiNya, yang berarti terlepas dari penderitaan selama ini.
Wah ini pinternya orang Indonesia. Pinter ngepas-ngepaske….. (saya dari magelang lho).
semoga pak A tentram disana. amin…
ikut berduka.
pintere wong Solo iki..
moga pak A damai di sana bersama Tuhan.
slalu ada ruang untuk merenungi apa yang akan kita siapkan
untuk menyusul pak A…
Penggambaran keadaan, waktu dan tempat yang indah, pembaca bisa seolah ikut berada di dalam cerita…
salam kenal ..
kebanyakan makan menuju kemakam
membaca kisah ini saya ingat tetangga saya juga, ngeri ah ya. Semoga menjadi pelajaran buat kita untuk selalu kontrol kesehatan terutama diingatkan di bagian akhir artikel ini : pola konsumsi makanan yang harus dijaga. Trims sudah mengingatkan. Salam
TUrut berduka cita kang, semoga diterima di SisiNya
Yang namanya umur adalah Rahasianya. meskipun hanya luka kecil, kalau Dia sudah berkehendak, tiada manusia yang mampu menolaknya.
Sudahkah anda baca berita tentang launching be-blog ?
theme-nya simpel, like this
turut berduka cita pa,
salam,
SEmua adalah milki-Nya dan kepada-Nya lah kita kembali
turut berduka cita kang
ya Allah ,,, miris saya bacanya
diabetes merupakan penyakit dengan komplikasi terbanyak setelah aids so jaga kesehatan ya cz bisa menyerang tua dan muda bahkan anak2
dua-duanya kebutuhan pokok dan wajib yak! salam D3pd…
hmmm … sebuah warning bagi penderita diabate akut nih. soal disiplin agaknya bangsa ini sudah masuk tahap stadium 3, mas, hehehe …
hem… jadi bingung deh…
Jodoh rejeki dan maut adalah Rahasia Tuhan Mas, apa yang dialami pak A adalah salah satu jalan Tuhan, semoga diterima DisisiNya dan diampuni dosa-dosanya
emang gula itu bahaya banget. mbak gw meninggal 2 bulan lalu di umur 35 thn karena diabetes.. semenjak itu gw bnr2 ngontrol berapa byk gula yg gw makan sehari.
semoga pak A diterima disisiNya sesuai amal dan ibadahnya ya..
innalillahi….
semoga segenap amal ibadahnya diterima kanjeng Gusti ALLAH SWT
amin
misakne tenan pak A kuwi… muga pinaringan padhang dalane!
Emang makan perlu hati-hati. Tidak asal memakan semua aja yang bisa dimakan. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah penyakit. Penyakit timbul karena pola makan kita yang salah.
Ada baiknya mnegikuti sunnah rasulullah soal makan.
temen gw, bokapnya mengalmi penyakit ini. beliau dah gak bisa ngapa2in. temen2 gw harus tidur tengah malam terus, untuk mengurusinya. karena untuk buang air pun harus di temani
jiaahhh komen gw ilang
ilang lagi deh
Turut berduka cita, Haris.
semoga kita tetap bisa makan sepuasnya dan hidup sehat sepuasnya pula *maunyaaa* :p
turut berduka mas..
jangan sepelekan pola makan karena dari pola makan yang salah akan timbul berbagai penyakit
lho ilang???
@ zulhaq dan annosmile: maaf soal komentar kalian yg ilang2. sekarang udah muncul tuh. he2. Insya Allah habis ini gak terulang lagi ya.
Soal amputasi jari, itu jelas ikhtiar. Jika kemudian hasilnya tak sesuai harapan (manusia), itu soal lain dan menjadi ranah takdir. Aku ikut prihatin, mas.
itulah kenapa kita harus benar2 memperhatikan masalah perut.. coba dipikirkan, orang-orang bisa berbuat apa saja hanya gara-gara masalah perut juga loh
dan konon katanya, soal kesehatan di sini sepenuhnya diserahkan ke swasta dan diri sendiri. jadi yang namanya vaksinasi ya wassalam. Bahkan teman yang warga negara ostrali pernah cerita kalau biaya berobat di indonesia itu lebih mahal dari negeri kangguru. padahal pendapatannya jauh.
opo tumon?
keluargaku udah banyak yang diamputasi gara2 diabetes
sadis
ayah saya juga penderita diabetes…
mesti suntik tiap mau makan..
jadi ngeri…
makan pun sebenarnya bisa enak, tak hanya bagaimana cara menikmatinya dan mengatur polanya, tetapi bagaimana cara menteori-teorikannya, membuatnya menjadi kajian yang sophisticated, ‘ilmiah’, dibumbui teori-teori sosiologi, sok tahu dikit semiotika dan sejarah. manis mas. mak nyus kata pak bondan.
tak lupa, saya turut berbela sungkawa mas. saya jadi banyak belajar soal bagaimana makan yang benar dan seharusnya, serta bagaimana menyikapi dan mengambil keputusan yang sulit dari posting ini.
@ semua: terima kasih atas doanya. semoga Pak A diterima dengan baik di sisi-Nya.
@ elia: turut berduka utk kakakmu mas.
@ masmpep: terima kasih, mas. makan memang tak lagi soal perut
salam mas..
yang tabah y mas…
mmhh saya turut sedih.. ayah saya juga kena diabet…