“The Reader” dan Banalitas Kedurjanaan
Apa yang pada akhirnya membuat saya menyukai Film The Reader (Sthepen Daldry, 2008) bukanlah akting cemerlang Kate Winslet yang kini setengah tua, atau kisah cinta melodramatik sedikit aneh yang termaktub dalam film itu. Dalam jeda beberapa saat sesudah saya menontonnya, saya akhirnya menyadari kenapa saya jatuh cinta pada The Reader: film itu mengingatkan saya pada Hannah Arendt.
Ketika saya mulai menonton bagian-bagian awal The Reader, saya selalu berpikir film ini hanyalah perpaduan kisah cinta, erotisme, dan kutu buku, yang ada dalam setting kekuasaan Hitler di Jerman. Tentu saja, saya menyukai bagaimana Hanna Schmitz yang setengah tua jatuh cinta dengan Michael Berg yang remaja dan kemudian membuat sebuah peraturan aneh dalam hubungan mereka: sebelum mereka bercinta habis-habisan, Berg mesti membacakan sebuah buku untuk Schmitz yang, belakangan kita ketahui, buta huruf.
Sebagai seorang penyuka buku, saya selalu menikmati kisah-kisah yang berkait dengan buku sehingga saya sangat tertarik dengan aturan aneh dalam hubungan percintaan Schmitz-Berg. Membacakan sebuah buku sebelum bercinta? Kedengarannya—juga kelihatannya—memang menyenangkan meski pada saat awal kita mungkin melihatnya sebagai kejanggalan.
Tapi bagaimanapun, The Reader memang tak hanya soal cinta dan buku. Setting politik zaman Nazi kemudian hadir, meski dengan lamat-lamat. Kita tidak akan melihat Hitler, atau pasukan-pasukannya, tapi kita akan menonton bagaimana Schmitz hadir sebagai terdakwa dalam sebuah pengadilan bagi bekas pasukan SS milik Nazi. Berg, yang beberapa tahun sesudahnya kehilangan Schmitz secara tiba-tiba, hadir dalam persidangan itu sebagai mahasiswa hukum yang belajar soal pengadilan. Keadaan jadi rumit bagi Berg karena ia tak pernah melupakan pacarnya itu—bahkan puluhan tahun sesudah ia pertama kali ditolong Schmitz, Berg tak pernah kehilangan cintanya.
Persidangan bagi Schmitz sama sekali tidak mendominasi film itu tapi pada scene–scene yang menggambarkan proses itulah saya jatuh cinta. Jawaban-jawaban Schmitz yang cenderung lugas dan tanpa dosa terhadap pertanyaan-pertanyaan hakim mungkin membuat kita heran: bagaimana mungkin seorang penjaga kamp konsentrasi Nazi—yang ikut bertanggung jawab atas kematian sekira 300 perempuan Yahudi—bisa begitu tenang menjelaskan “kekejaman” yang sudah dilakukannya?
Schmitz, jika saya tak salah, adalah salah seorang punggawa SS yang ikut terlibat dalam peristiwa yang akrab disebut sebagai “Final Solution”. Itu adalah sebuah fase yang disebut “paling mematikan” selama masa panjang pembantaian orang Yahudi saat Hitler berkuasa. Bagi kita, jelas sudah: mereka yang terlibat dalam pembantaian semacam itu pastilah orang-orang kejam. Tapi kenapa Schmitz begitu tenang mengakui kekejamannya? Kenapa ia bisa dengan enteng menjelaskan proses pemilihan wanita-wanita yang akan dibunuh?
Saat hakim bertanya kenapa para perempuan itu harus dibunuh, Schmitz menjawab dengan ringan: “Kami tidak bisa menampung semuanya. Yang tua harus memberi tempat pada yang muda.” Apa yang lebih mencengangkan adalah pengalaman saat ia ikut mengawal perjalanan sekira 300 perempuan Yahudi menuju suatu tempat. Saat itu, ketika melewati sebuah desa, para tahanan dimasukkan ke dalam suatu gereja. Pintu gereja dikunci dari luar. Bencana terjadi tatkala api tiba-tiba membakar gereja itu. Tahanan-tahanan yang panik segera menjadi makin panik saat tahu pintu dikunci dari luar. Para penjaga, termasuk Schmitz, memutuskan tidak membuka kunci. Hari itu, hampir semua tahanan meninggal dunia.
Ketika ditanya kenapa tidak membuka kunci pintu gereja supaya para tahanan tidak meninggal, Schmitz menjawab enteng: “Kami tidak bisa melakukannya. Sebab keadaan akan jadi kacau dan para tahanan akan lari. Kami penjaga. Kami tidak boleh membiarkan mereka lari.” Saya terkejut mendengar jawaban itu—begitu juga sang hakim dan para pengunjung sidang. Bahkan para teman Schmitz sesama petugas SS pun kaget bukan kepalang. Kenapa Schmitz terlihat tidak menyesali semua itu? Mengapa ia menganggap sikapnya sebagai sesuatu yang wajar?
***
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul saat mendengar jawaban-jawaban Schmitz dalam The Reader itulah yang kemudian membuat saya ingat pada Hannah Arendt, seorang filsuf berdarah Yahudi kelahiran Jerman yang pernah ditangkap Nazi. Pada 1961 di Jerussalem, Arendt meliput persidangan Otto Adolf Eichmann, seorang pentolan Nazi yang berperan penting dalam “Final Solution”, untuk Majalah The New Yorker. Pengamatannya atas proses persidangan itulah yang kemudian diterbitkan dalam buku Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil (1963).
Buku itu kontroversial karena Arendt menggambarkan Eichmann—yang dianggap bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Yahudi—bukan sebagai monster kejam yang haus darah. Sebaliknya, Arendt justru melukiskan Eichmann sebagai “sepenuhnya orang normal”. Sama seperti Schmitz, Eichmann terlihat tenang saat menjelaskan bagaimana ia mengirim para korbannya ke kamar gas. Ia menganggap itu bukan kesalahan, tapi semata-mata proses menjalankan perintah. Bagi Arendt, semua pembunuhan itu dilakukan oleh Eichmann bukan karena sifat patologis dalam dirinya, semacam kekejaman tertentu yang obsesif, tapi semata-mata karena Eichmann melarutkan dirinya dalam aturan dan kontrol Nazi. Eichmann tidak kejam. Ia hanya menuruti perintah.
Analisis Arendt atas karakter Eichmann itu—yang tentu saja dikritik habis-habisan oleh sesama warga Yahudi—kemudian diikuti munculnya salah satu pemikiran Arendt yang terkenal: banalitas kedurjanaan. Konsep pokoknya, seorang yang melakukan kejahatan, karena sebuah sistem tertentu yang “mensahkan” kejahatan itu, bisa beranggapan bahwa kejahatan yang ia lakukan bukanlah kejahatan. Di sini, kejahatan menjadi sesuatu yang dangkal karena ia diukur bukan berdasar patokan kemanusiaan yang relatif universal, tapi berdasar aturan dalam suatu sistem yang sempit. Kejahatan yang diperintahkan sistem bukanlah kejahatan—kira-kira semacam itulah tesisnya.
Eichmann, bagi Arendt, adalah contoh terbaik korban banalitas kedurjanaan. Schmitz, bagi saya, juga demikian. Mereka adalah orang-orang yang mengukur baik-buruk berdasarkan ukuran sistem yang memerintah mereka. Pikiran mereka terikat, tindakan mereka terkontrol, imajinasi mereka mandek. Kita, para penonton The Reader, mungkin bersimpati dengan Schmitz terutama karena ia akhirnya menanggung hukuman paling berat karena fitnah mantan rekan-rekan sesama pengawal SS—juga karena ia akhirnya “bertaubat” dengan menyumbangkan uangnya untuk korban holocaust. Tapi sesungguhnya, Schmitz adalah orang yang mengerikan—demikian dengan Eichmann.
Apa yang masih bisa kita harapkan jika para pembantai itu tak lagi menganggap kejahatan mereka sebagai kekejaman? Saya kira, kemanusiaan akan runtuh jika semua orang bersikap seperti itu. Tentu saja, orang boleh dan malah harus menyalahkan sistem yang membentuk mereka—sebentuk sistem yang nyatanya ada di mana-mana, bukan hanya monopoli Nazi. Di Indonesia pada masa Orde Baru, kepatuhan pada atasan dan sistem dilakukan bukan hanya karena sikap itu akan menguntungkan, tapi juga karena perasaan bahwa menaati perintah—yang jahat sekalipun—adalah lebih baik ketimbang membantahnya.
Saya kira, The Reader adalah pengingat yang baik soal banalitas kejahatan. Walaupun, film itu juga dianggap sebagian kritikus sebagai teks yang kacau balau soal holocaust. Lebih parahnya, film itu—juga novel berjudul sama yang menginspirasinya—dianggap sebagai teks yang menolerir kekejaman Nazi, terutama karena tokoh Schmitz yang terlihat sangat simpatik—harus diakui, hampir semua penonton saya kira akan bersimpati padanya. Saya, mulanya, juga bersimpati. Tapi sekarang, saya akan mengingat Hanna Schmitz sebagai personifikasi paling pas tentang sifat dangkal kejahatan.
Sukoharjo, 27 Desember 2009
Haris Firdaus
ps: gambar diambil dari sini
bagaimana proses bercintanya? kok ngga diceritakan? hehehe
@ goop: soalnya di film juga gak detail. he2.
sungguh, bukan hal yang mudah utk mereview sebuah film kalau tak punya dasar literer yang kuat dan ternyata mas haris mampu menyajikannya secara baik. yang saya suka mas haris menggunakan model intertekstualitas. butuh sentuhan visi sinematografi yang oke juga nih.
kunjungan pertamax…hehehe…
salam kenal…
btw, pernah baca ebook bajakannya, memang ceritanya memberi kita “suasana yang beda” tentang keadaan zaman itu. tapi, begitulah fanatisme. membutakan….
kalo di indonesia menututi perintah dilindunggi pasal 51 KUHP bos
Saya suka “alur sejarah”-nya…..
saya belum pernah liadth……….
kalau saya sih pertama nonton the reader kaget juga.. gara2 banyak adegan itunya..
tapi yang saya suka sih karena setting waktunya yang zaman NAZI itu..
wah sepertinya bagus neeh..
gw suka film2 yg giniaan…
tampak lebih berkarakter…
Koruptor di Indonesia mungkin juga gitu, kerena perintah atasan 😀
sama banget sama film ya? hehe ulasannya menarik banget buat dibaca
Ulasan yang menarik mas, jadi tertarik nonton filmnya
salam,
lha saya kira Reader itu tentang RSS toh om (doh)
#btw, mantap om ulasannya 😀
manteb neh…ulasannya… oya
SELAMAT TAHUN BARU 2010 ya, semoga tambah sukses dan berkah…
saya nonton the reader dua kali dan baru ngerti setelah baca ulasan sampeyan, jadi kalo dalam konteks protagonis contohnya ada robin hood dan sejenisnya?
wah saya blm nonton nih.
wah sebuah resensi film yang luar biasa mas, jadi pingin nonton alur ceritanya 😉
rung nate nonton blasss…
Qinhuangdao Welcomes You!
Kejahatan yang dangkal ya? banalitas kedurjanaan. Terasa aneh Ris kalau bicara seseorang menjadi korban banalitas kedurjanaan, mungkin bukan korban, tapi lebih terasa sebagai pilihan.
Aku lagi baca buku yang menurutku layak dibaca (meskipun hanya sebatas untuk tahu pengalaman) yang judulnya kalau ga salah “Kesaksian Perempuan Korban G 30 S”. Kalaupun itu disebut sebagai korban banalitas kedurjanaan memang iya, tapi lebih dari itu ada kenikmatan dari pelaku (aparat) menjalani laku itu. Bagi ku pribadi, mereka adalah orang-orang dungu dengan semua laku bodohnya. hehehe…
Iya sih kalau keduanya disebut korban banalitas kedurjanaan aku lebih simpatik dengan Hanna Schmitz daripada para aparat ORBA.
recommended banget! Bukan persoalan esensi kelamin ketemu kelamin, tapi persoalan transformasi budaya dan imbas jaman yang masih berkompromi dengan stigmanisasi. Ada unsur semangat rekonsiliasi dari pilem itu yang perlu juga kita belajar tentang hakekatnya dan bagaimana negeri ini sudah terlatih menjadi generasi pengecut!
Ngemeng ku kok mawut! as luweh sik penting opo sing neng utek isoh mecothot iyo ora kang?
udah gak bisa komeng, udah di akusisi sama senoaji yang diatas, jadi kemungkinan ini dikatergorikan sebagai komentar durjana wkwkkwkw
Film ini bagus, efek dari cinta memang dahsyat, si perempuan yang dibatasi oleh kekosongan literasi dan hanya bisa memberikan cinta dan tubuh untuk menyerap keindahan literasi, dan lelaki yang berjuta logika dan literasi namun ada penasaran akan kelamin yang resah juga.. pilem bagus.. seperti transaksi seksualitas yang cerdas
wah, banyak adegan panas nya ya?? wow wow
urung pernah nonon mas…
dadi ra mudeng ki.. hehe
Film yang memilukan.. saya sendiri menontonnya setelah Kate dapet Oscar, ingin tau seberapa bagus aktingnya.. dan saya akui, dia megang banget untuk peran Hanna Schmizt…
Thanks for the enliten bout Eichmann.. love this article.
Hidup memang kompleks dan tidak datar-datar saja……..
Resensi film yang bagus!
-jbs-
wah blm nonton nih filmnya
aku juga suka buku loh…
nice article.. ^__^
saya uda nonton filmnya, dan mnrut saya film ini punya alur crita yang bagus… film ini kyaknya brusaha memotret sisi humanis dari orang2 yg dpersepsikan tdk humanis… mnrt sya kekejaman yang dilakuin si hanna itu berkaitan dgn persepsi.. apa yang qt persepsikan baik, maka itulah yang baik mnurut qt dan berlaku juga sebaliknya… intinya, Our perception shape our action.
cerita dan alur the reader memang bagus..