Temannya Soe Hok Gie
Saya bertemu dia pada sebuah siang yang terik. Saat itu sudah jam 2 siang lebih. Saya menaiki tangga rumah susun itu, menuju lantai tiga. Ia menyambut saya tepat di depan anak tangga terakhir. Bayangan saya tentang dia langsung berubah begitu melihat sosoknya secara sempurna.
Mari memanggilnya B. Namanya terdengar sedikit lucu. Berbau perjuangan dan kekiri-kirian menurut saya. Ketika mendengar namanya, saya membayangkan ia berasal dari wilayah timur Indonesia. Saya mengangankan ia berkulit gelap, berambut keriting dengan potongan pendek di bagian depan dan gondrong di belakang. Saya membayangkan tubuhnya tegap, tangannya penuh bulu, dan cara bicaranya berapi-api.
Semua bayangan saya runtuh ketika melihat sosoknya. Saya sempat tersenyum-senyum sendiri, menertawakan bayangan naif saya. B adalah seorang pria tua, dengan rambut memutih yang mulai botak, kulit yang kendur, dan dia bukan dari Indonesia bagian timur. Bagi saya, ia tampak seperti keturunan tionghoa–meskipun saya tak yakin soal ini.
B adalah ketua umum sebuah LSM yang namanya sangat nasionalis. Sehari sebelum kami bertemu, B memimpin anggota LSM-nya melakukan demonstrasi perihal dugaan korupsi yang terjadi di sebuah departemen. Saya harusnya meliput demonstrasi itu tapi gagal. Jadwal demo yang sampai ke saya melalui sms ternyata salah. Jam 2 siang pada hari itu saya sampai di Kejaksaan Agung. Sepi. Seorang tukang ojek yang saya tanya tak tahu perihal demo. Esok harinya saya tahu dari B bahwa demo di kejaksaan dilaksanakan jam 12.
Atasan saya di kantor memerintahkan saya bertemu B, meminta data-data perihal korupsi yang disampaikan dalam demo itu. Malam itu juga saya menelepon B. Kami janjian ketemu di sebuah rumah susun, beberapa kilometer dari Stasiun Pasar Senen. Saya sempat heran dengan pilihan tempat ini karena sebelumnya saya minta ketemu di kantor LSM-nya saja. Setelah bertemu B, saya kemudian menebak-nebak, LSM yang ia pimpin pastilah tak punya kantor.
Akhirnya kami bertemu di rumahnya, sebuah petak sempit yang menjadi bagian dari sebuah komplek rumah susun yang pernah dinamai dengan julukan yang membikin patah hati: “rumah susun sangat sederhana”. Kami ngobrol ditemani donat dan kopi susu buatan istri B–seorang perempuan setengah tua dengan rambut keriting dan perut gendut.
Sejak memulai obrolan, saya mulai curiga pada kredibilitas LSM-nya–kecurigaan ini sebenarnya sudah muncul begitu mendengar nama LSM-nya yang sangat nasionalis. B tak banyak bisa memberikan cerita soal dugaan korupsi dan hanya memberikan selembar kertas. Secara gagah, kertas berisi alur dugaan korupsi–lengkap dengan nama oknum yang diduga terlibat dan taksiran besaran kerugian negara–itu diberi judul “surat terbuka”. Yang dituju pun tak kalah mentereng: menteri yang memimpin departemen tempat korupsi itu diduga terjadi dan jaksa agung.
Saya coba mengorek lebih jauh keterangan darinya tapi ia tak mau–atau memang tak bisa?–banyak berkisah. “Sudah, dari kertas itu aja,” katanya. Saya geli di dalam hati. Sebenarnya, majalah tempat saya bekerja sudah mendapat data bocoran soal dugaan korupsi itu. Jauh lebih lengkap dari “surat terbuka” B. Bagaimana alurnya, siapa oknumnya, berapa kerugian negara–semua data itu sudah dipegang seorang wartawan majalah tempat saya. Tujuan saya mendatangi B hanyalah berjaga-jaga, siapa tahu LSM yang dipimpinnya inipunya data jauh lebih lengkap.
Nyatanya, tidak. Data yang ditulis dalam “surat terbuka” itu malah jauh lebih miskin. Hanya berisi dugaan tanpa menyertakan argumen atau bukti apa-apa. “Saya nggak punya kemampuan menjangkau bukti-bukti. Itu kan tugas penyidik,” begitu kira-kira apologinya saat saya bertanya perihal bukti-bukti dari dugaan yang ia sebarluaskan itu. Ini argumen klasik. Tapi LSM yang bertanggung jawab pasti tidak pernah hanya melansir tuduhan tanpa data karena sangat rawan dituntut balik. Apalagi, dalam “surat terbuka” B itu ada nama lengkap oknum yang diduga terlibat sehingga B bisa saja digugat.
Saat saya tanya sumber dari data yang ia publikasikan, B menjawab, dari orang dalam departemen itu. “Dalam tiap kasus kayak gini kan pasti ada orang yang nggak kebagian,” B menerangkan tanpa malu. Saya kembali terpingkal-pingkal. Oalah. Dugaan saya bahwa demo yang dipimpin B merupakan demo pesanan makin bertambah. Sejak tahu itu, saya sudah ingin buru-buru meninggalkan dia. Toh saya yakin, selembar kertas yang ia berikan ke saya dan hasil obrolan kami tak dibutuhkan untuk dikutip di berita yang akan dibuat. Tapi karena bersopan santun, saya sempat memperpanjang obrolan di luar topik wawancara kami.
Ternyata, ia seorang wartawan. Mungkin dari era 1970-an. Di zaman muda, ia mengaku kenal dengan Soe Hok Gie. Bersama Gie dan Adnan Buyung Nasution, B mengaku pernah membuat demonstrasi melawan Soeharto. “Itu terjadi sebelum Malari,” paparnya. Malari adalah akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari, merujuk ke demo besar pada 15 Januari 1974 memprotes kedatangan PM Jepang kala itu. Orang semisal Hariman Siregar bagian dari kelompok penggerak demo itu–sebuah kelompok aktivis yang kemudian diberi julukan “Angkatan 74″. B pernah ditahan berkali-kali, katanya, tanpa pernah disidangkan.
Saya tak tahu apakah semua cerita itu benar. Tapi, saya lagi-lagi tersenyum dalam hati: kalau tak dapat data, lumayanlah bisa ketemu temannya Soe Hok Gie yang kesohor itu. ๐
Di akhir pertemuan, saat saya pamit pulang, ia menyodorkan selembar uang seratus ribu yang sudah dilipat-lipat menjadi berbentuk kotak kecil. Saya tentu saja menolak dan lagi-lagi tertawa dalam hati: masak seorang ketua umum LSM, mantan wartawan, dan temannya Soe Hok Gie, kok memberi uang ke wartawan? Saya bertanya-tanya: apa ya pendapat Gie kalau tahu temannya mencoba “menyuap” wartawan? ๐
Jakarta, 21 Februari 2010
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
ee ladalah ris ris, udah semangat baca judulnya, e ternyata… gubrakk..!!!
@ yanu: ternyata seru kan? ha3.
tak kirain opo mas…
salam kenal
ternyata oh ternyata…
Well, mungkin selama ini banyak wartawan lain yg terima duit dr dia, jadi ya agak awajar klo dia menyamaratakan semu wartawan.
Yah namanya jg sudah tua, mungkin sdh tidak seidealis dulu :).
Ris, kurasa dia bohong. Gie itu mati tahun 69, 5 tahun sebelum meletus Malari. Dan di catatan hariannya, aku ga pernah nemu catatannya mengenai Soeharto deh. Setuju dgn pendapat di atas: Judulnya menipu! Haha..
he..he.. dulu ketika masih ada Gie barangkali dia sungkan mas. idealismenya hanya karena Gie ada di dekatnya, begitu Gie sdh tidak ada semangatnya ikutan padam dan terlarut dalam kebiasaan yg “lumrah” spt menyuap wartawan
lama gak bertamu disini, ternyata suguhan yang disajikan sudah “agak” berubah..entah kenapa membaca tulisan diatas dari awal sampai rampung tidak juga saya menemukan sosok Haris yang dulu sempat saya kenal…hehehe..tapi it’s ok lah, bukankah yang benar-benar tidak berubah di dunia ini hanyalah perubahan itu sendiri… piye Ris? krasan nang ibukota?
untung Gie nggak ada, mungkin kalau masih ada bisa dikonfirmasi perihal teman itu ๐
wah, pengalaman yang menarik. tdk harus selalu curiga, tetapi kewaspadaan tetep penting dijaga, mas haris. kok bisa begitu? kalau ada orang bicara soal korupsi, tapi dia sendiri malah mencoba beri amplop, gimana tuh?
halo kang harris !! menarik tenan ceritamu,
LSMe judule apa kui ?
bukannya kamu juga temannya Gie? sempet ketemu kan dulu? wkwkwkwkw
keknya beritanya lebih menarik kalo ditulis soal LSM-nya tuh kang…wkwkwk…
mungkin kalau Gie baca ini miris hatinya. 1. namanya dicatut oleh B, 2. pencatutan itu disebarkan luaskan oleh jurnalis muda lewat blognya. kenapa saya berani bilang dicatut? karena tak ada pelacakan yang serius untuk memastikan B adalah temannya Gie. Pertemanan yg dilukiskan serampangan karena ditulis hanya mengaku kenal. Gie mungkin tambah miris ketika si jurnalis muda itu merasa senang karena bertemu dengan sesorang yang mengaku kenal Gie daripada senang berhasil melacak data korupsi. tabik
Ak ra kenal karo soe hok gie mas, apakah film lain selain sang pemimpi yang katanya gagal menyaingi laskar pelangi? (kumpulan anak-anak desa luar biasa)
Ah mbuh ah, malah mumet*
Ak ra kenal karo soe hok gie mas, apakah film lain selain sang pemimpi yang katanya gagal menyaingi laskar pelangi? (kumpulan anak-anak desa luar biasa)
*Ah mbuh ah, malah mumet*
@ abibenra:
(1) saya merasa tak perlu melakukan “pelacakan serius” atas pengakuan B bahwa ia kenal Gie. untuk apa? saya kok malah merasa lucu kalau diharuskan melakukan “pelacakan serius”. he2. maaf. (2) tolong tunjukkan di mana saya menuliskan bahwa saya “merasa senang karena bertemu dengan sesorang yang mengaku kenal Gie daripada senang berhasil melacak data korupsi.” dari mana anda mengambil kesimpulan itu? he2. apa hubungan pertemuan saya dengan B dengan “kesenangan” saya melacak data korupsi? kenapa kamu menuduh saya “lebih senang ketemu dg B ketimbang melacak data korupsi”? pertemuan dg B adalah bagian dari pelacakan itu juga kan? terus terang saya sebenarnya tidak senang ketemu B–tak peduli bahwa ia mengaku temannya Gie–karena tak mendapat data banyak. tapi apa perlu rasa jengkel itu diperpanjang? kenapa tak mengambil sisi “lucu”-nya saja, kemudian membagikannya? itu cuma pikiran saya yang masih hijau. he2. maaf saya ketawa terus
@ roy: terima kasih data-datanya.
@ sawali: benar pak. terima kasih.
@ tukang gunem: perubahan apa yang kamu maksud kawan?
@ atmo: judule lsm rahasia dunk. hi3.
kalimat “kalau tak dapat data, lumayanlah bisa ketemu temannya Soe Hok Gie yang kesohor itu” ini yang membuatku berpikiran anda senang ketemu si B ini, alih2 mempertanyakan “kebenaran” B sebagai temannya Gie dengan tidak mempertanyakannya tetapi justru “menyebarkan”. thx responnya
aku seneng tukang ngguneng (yg juga keriting itu) akhirnya methungul maning
wahahahahaha
@Abibenra: Haris kan bercanda di kalimat itu. Ada smiley-nya.
@Haris: Kerja di majalah apa nih skrg? Bisa ketemuan dong!
ah, rupanya saya juga ketipu judulnya. Ini seni menarik pembaca…:D
menarik sekali postingan ini
berasa kembali ke jaman 70s
hahahaha
huwahahahaha. ketawa saya bacanya. jakarta semua ada. g perlu ragu dan malu hidup di kota jakarta. salut salut
-Salam Kenal Salam Gombal’s
Belum tentu dia bukannya teman Soe Hok Gie. Bisa jadi waktu telah melunturkan idealismenya dengan menawarkan uang, atau mungkin dia sudah sering diminta, jadi sama sama tahu. Ada banyak kemungkinan.