Abu Jibril
Kata itu sontak meluncur dari mulut Abu Jibril saat saya menyerahkan sebuah edisi majalah berita dengan cover story “Basis Teroris Baru di Aceh”. Ia tampak terkejut—dan sedikit mengungkap ketidaksetujuan—saat membaca cover majalah itu. Jujur saja, saya juga agak kaget dengan reaksi Abu Jibril saat itu. Dalam pikiran saya sebelumnya, Abu memang akan menunjukkan ketidaksetujuan saat membaca majalah yang akan saya serahkan itu. Tapi, saya pikir, ia tak akan bereaksi secara langsung semacam itu.
Saya sempat kehilangan kata-kata menghadapi reaksi Abu Jibril. Untunglah, dengan sejumlah percakapan disertai sedikit senyum, saya bisa membuatnya melupakan majalah itu. Kami akhirnya bercakap-cakap secara lancar, dalam durasi waktu cukup panjang. Sesudah percakapan itu, saya terus terkenang bagaimana reaksi Abu dan terus berpikir bahwa ia seorang yang sensitif jika mendengar atau membaca kata “terorisme”.
Pada akhirnya, saya bisa memahami sensitivitas lelaki yang dilahirkan di Lombok Timur, 17 Agustus 1957 itu. Setelah semua yang ia alami, sikap reaktif semacam itu memang bisa dipahami. Semua orang tahu, sosoknya berkali-kali diidentikkan dengan aksi terorisme yang beberapa tahun belakangan terjadi di Indonesia. Sikapnya yang keras dalam hal jihad, dan juga syariat Islam, mudah menjadi pembenar semua itu. Kenyataan bahwa pada pertengahan 1980-an ia sempat berjihad ke Afghanistan mungkin juga menguatkan pendapat tersebut.
Pada 21 Juni 2001, saat hendak berceramah di Shah Alam, Selangor, Abu Jibril ditangkap aparat kemanan Malaysia. Ia dituduh melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan Malaysia karena aktif dalam organiasi Mujahidin Malaysia. Atas dasar Akta Keamanan dalam Negeri (ISA), Jibril ditahan di Penjara Kemunting Perak. Pada 18 Agustus 2003, ia dibebaskan karena tuduhan padanya tak bisa dibuktikan. Namun, baru tiga hari menghirup udara bebas, ia kembali ditahan petugas imigrasi.
Pada 14 Mei 2004, pria bernama resmi Muhammad Iqbal itu dideportasi ke Indonesia. Namun, baru saja menginjakkan kaki di bandara, ia langsung “dijemput” polisi Indonesia. Mungkin, ia hendak diperiksa terkait isu terorisme juga meski pada akhirnya polisi hanya mengenakan tuduhan pemalsuan dokumen saja. Atas dakawaan itu, Jibril ditahan 5,5 bulan.
Beberapa hari sesudah bom meledak di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada 17 Juli 2009, putra Abu, Muhammad Jibril, ditahan karena dituduh terlibat dalam pemboman tersebut. Nama Abu juga kembali tenar saat penembakan Dulmatin di Pamulang, Tangerang Selatan, pada 9 Maret 2010 lalu.
Kebetulan, lokasi penembakan memang tak jauh dari rumah Abu Jibril di komplek Witanaharja, Pamulang. Mantri Fauzi, orang yang menampung Dulmatin, juga merupakan murid pengajian Abu. Tak pelak, isu keterlibatan Abu dengan terorisme kembali meruap. Pengajiannya di Masjid Al Munawwaroh dianggap eksklusif dan mengajarkan kekerasan.
Di beberapa tempat di Witanaharja, termasuk di dekat rumah Abu Jibril dan Masjid Al Munawwaroh, pada waktu yang berdekatan dengan penembakan Dulmatin, mulai muncul sejumlah spanduk berisi tulisan dengan huruf-huruf ukuran besar berbunyi, “Waspadai Teroris di Sekitar Kita”. Mau tidak mau, orang akan berpendapat bahwa spanduk-spanduk itu secara tak langsung ditujukan pada Abu Jibril.
Lagi pula, Abu Jibril memang pernah terlibat semacam perseteruan dengan seorang dai lokal bernama Abdurrahman Assegaf. Assegaf pernah mengeluarkan tuduhan macam-macam terhadap Jibril. Pada Agustus 2009, dengan dalih “menyelamatkan umat Islam”, sekelompok massa Barisan Muda Betawi–Assegaf adalah Dewan Penasihat kelompok ini–menyerbu jamaah pengajian Abu Jibril di Al Munawwaroh. Mereka berdalih, Jibril telah menyebarkan ajaran sesat dan memecah belah umat Islam–indikatornya, kata mereka, Jibril melarang umat Islam membaca qunut dan menggelar tahlilan.
Jibril menyebut penyerangan itu lantaran Assegaf cemburu padanya. Sebab, Jibril yang relatif orang baru di Witanaharja lebih dipercaya menjadi imam di masjid itu ketimbang Assegaf.
***
Saya datang ke Al Munawwaroh pada sebuah pagi, hanya beberapa hari sesudah Dulmatin ditembak. Hari itu, Abu Jibril dijadwalkan memberi ceramah rutinnya. Saat saya sampai ke sana, sekira pukul 8 pagi, susana masih sepi, baru ada beberapa pria dengan jubah dan celana cingkrang serta segelintir wanita berjilbab besar.
Di dalam masjid, saya melihat Abu sedang menata kitab-kitab tebal sebagai referensi ceramahnya. Ia mengenakan surban putih yang menjadi ciri khasnya dan jubah berwarna hijau serta sarung biru kotak-kotak.
Saya mengambil air wudlu, sholat dua rekaat, lalu menunggu pengajian dimulai. Saat melihat-lihat suasana sekeliling masjid, saya dihampiri seorang jamaah pengajian dan ditanya.
“Dari mana, Mas?” tanyanya.
Saya jawab, “Dari Kalibata.”
Tapi tampaknya ia tak puas dengan jawaban saya. Akhirnya saya bilang profesi dan tempat kerja saya. Ia kelihatan lega—seolah-olah pengakuan itulah yang ia tunggu-tunggu. Kemudian, ia berbisik-bisik pada seorang jamaah lainnya. Kelak, saya menduga-duga, bahwa orang yang menyanyai saya itu, atau seorang jamaah lainnya, telah menyampaikan pada Abu Jibril perihal kehadiran saya. Sebab, di tengah-tengah pengajian, Abu sempat menyinggung secara tidak langsung kedatangan saya.
Selama sekitar dua jam, saya menyimak ceramah Abu. Saya memerhatikan bagaimana ia menerangkan pendapat-pendapatnya tentang pelbagai hal, bagaimana ia mengutip ayat Al Quran atau penggalan hadist, dan bagaimana ia menyerang orang-orang yang menuduhnya teroris. Kadang ada humor dalam ceramahnya, meski nada tegas dan marah juga berulangkali muncul.
Hampir satu jam sesudah pengajiannya selesai, saya baru bisa ngobrol dengan Jibril. Ia memang seorang yang sibuk. Sesudah pengajian, ia disalami jamaahnya, diajak ngobrol, dan ditanya-tanya. Setelah itu, seorang jamaah yang juga dokter memeriksa tekanan darahnya. Jibril diminta jaga makan, hindari kolestrol. Habis itu ia masih harus memberi ceramah lewat telepon untuk jamaahnya di Sumatra.
Saya punya kesan para jamaah sangat menghormati Jibril. Saya berbincang dengan beberapa dari mereka dan semuanya memuji Jibril. Bahkan penjual kebab di halaman Al Munawwaroh pun memuji Jibril setinggi langit. Katanya, jarang sekali ada ustadz seperti Jibril yang mau memberikan pengajian dalam frekuensi yang sangat sering. Selama seminggu, Jibril memberi ceramah lebih dari sepuluh kali di Al Munawwaroh dengan materi macam-macam. Semuanya, perlu ditegaskan, terbuka untuk umum.
Pada kenyatannya, pengajian Abu Jibril memang hanya ceramah agama biasa. Tidak ada eksklusivitas apapun. Materinya juga hampir-hampir bisa kita temui dalam pengajian-pengajian lain. Benar bahwa Abu selalu memberi bumbu-bumbu jihad dalam ceramahnya tapi lebih dari itu tidak ada. Tak ada anjuran soal kekerasan, tak ada ajakan terorisme. Ini sungguh-sungguh pengajian yang biasa.
Tentu saja, dalam soal syariat Islam dan jihad, Abu akan bersuara lebih kencang dan tegas dibanding sejumlah penceramah lain. Tapi sikap semacam itu bukan monopoli Abu. Di Solo, tempat saya lama tinggal dan kadang ikut pengajian, saya bisa menemukan lusinan atau lebih kiyai atau dai yang punya pendapat sama dengan Abu. Jadi, suara-suara yang mengatakan bahwa Al Munawwaroh adalah masjid ekslusif dan mengajarkan terorisme benar-benar salah.
Jika ada yang agak berbeda dalam isi ceramah Abu Jibril dibandingkan kebanyakan dai lain, itu mungkin dalam soal sensitivitas terhadap isu terorisme. Abu adalah penentang frontal “propaganda terorisme”, apalagi bila dikaitkan dengan Islam. Ia jelas-jelas orang yang merasakan sendiri bagaimana perang melawan terorisme itu bisa berubah jadi sebuah tindakan teror juga. Kadang-kadang, kecurigaannya pada polisi dan Amerika Serikat memang saya anggap melebihi kewajaran.
Tapi mau bagaimana lagi? Ada orang yang memang tak bisa melepaskan kecurigaan-kecurigaan semacam itu. Dan bagi saya, hal-hal semacam itu bisa kita tolerir, tanpa harus sependapat dengan mereka. Toh, orang-orang semacam Abu Jibril—juga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir—sebenarnya merupakan penentang pengeboman yang dilakukan di kawasan damai seperti di Indonesia.
“Kalau mau mengebom, mengebomlah di medan perang. Jangan di wilayah damai seperti Indonesia,” kata Abu Jibril saat saya minta pendapatnya soal aksi bom bunuh diri di sejumlah tempat di Indonesia.
Jawaban itu, secara tak langsung menunjukkan semacam komitmen pada kemanusiaan, tanpa pandang agama. Komitmen seperti itulah yang penting karena hal inilah yang saya kira bersifat paling universal. Soal perbedaan pendapat ihwal syariat Islam dan jihad, selama ketidaksamaan itu tak diekspresikan secara destruktif, saya pikir, masih bisa kita anggap wajar.
Dalam konteks inilah, semua prasangka berlebihan terhadap orang-orang seperti Abu Jibril seharusnya ditiadakan.
Jakarta, 11 April 2010
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
njajal first comment sik!
saat ini, ketika orang mendengar kata teror, teroris, dan terorisme, pastinya di dalam benaknya terbayang sosok orang berjenggot, bercelana cingkrang atau berjubah, dan berkopiah… dan… Islam… seringkali saya membenci hal itu, karena dalam hati saya yakin, stigma itu diciptakan bukan semata-mata berdasarkan kenyataan…
kedzaliman lain yang merajalela justru sering tidak dianggap sama sekali sebagai salah satu bentuk terorisme…
catatan harian seorang wartawan
Saya masih yakin sampek skrg bahwa teroris berbungkus identitas “Islam” di Indonesia ini aalah “binaan” aparat (polisi) atau permainan politik. Militansi orang Indonesia untuk merusak negerinya sendiri, apapun dalihnya, masih belum terlalu kuat. Maaf, wong demo aja bayaran kok, masih butuh makan. Garis keras iya, sampai tatanan ideologi dan sikap saja. Belum sampai pada tindakan. IMHO
ketika kita belum pernah ikut dalam sebuah agenda orang lain jangan pernah bilang bhwa mereka itu salah.
dan jangan menyalahkan atau menyesatkan orang lain, sebab jangan2 kita sendiri yang sesat.
ketika kita belum pernah ikut dalam sebuah agenda orang lain jangan pernah bilang bhwa mereka itu salah.
dan jangan menyalahkan atau menyesatkan orang lain, sebab jangan2 kita sendiri yang sesat.
ini pesan saya sebagai seorang kaumbiasa untuk semua saja ya..
saya setuju dengan pendapatnya mas Andy Master Semi Ekonomi (MSE) diatas.
(worship)
wah2, saya ketinggalan berita, yang ini baru aja denger…
salat dengan perjuangan mas haris di dunia jurnalistik yang sarat tantangan. semoga makin banyak fakta yang bisa terungkap oleh media sehingga media benar2 mampu berfungsi dan berperan sebagai pilar ke-4 demokrasi. salam kreatif.
teroris itu Amerika dan sekutunya, kalo Mujahidin itu pahlawan bertopeng(Hamas); setia berjuang d jln Allah setiap saat..
saya mendapatkan blog ini dari khelmy k pribadi
salam,
postingan yang menarik. membaca tulisan ini saya tidak bisa tidak ikut menakar, berimaginasi tentang sosok abu jibril. meski pemberitaan selama ini lebih gencar menengarai dia sebagai sosok teroris atau semacamnya, mas haris mencoba membuat pembaca kembali mengenali sosok ini lebih obyektif. akan lebih bagus juga, kalau memungkinkan, sedikit pernyatan dia tentang terorisme itu dicantumkan sebagai bagian dari sedikit puzle tentang si abu jibril. mantap gan…
salam.
sip mas. tema terorisme belum pernah aku tulis. soalnya dulu pas sekolah belum diajarin teori2 terorisme. kalah cepet kampusnya dengan teror, he-he-he.
salam,
hastiyanto.wordpress.com
sy sgt terharu dgn ujian yangdiperoleh abah fitnahan yg tiada hentinya bersabaraja bah allah akan selalu menjaga org2 yg beriman teruskan perjuangan jihat krn manusia yg beriman akan mencari kematian di jalan allah pembaca yg budiman jgn lah km memfitnah sese org muslim dan memperkeruh keadaan tegakkan lah kebenaran junjung tinggi akidah dan ahlag para wartawan lidah dunia jangan lah km memberitakan apa2 yg tdk km ketahui hingga km menjd kan berita fitnah dr orang2 yang tdk bertanggung jawab setau sy abah itu ,abu jibil,adalah sesosok guru dan penafsir alqur an yang tdk semua org dpt menghafal alquran dan terjemah nya buat kehidupan di dunia dan akhirat
setuju bgt sob,
?????????? ?????????? ?????????? ????? ?????????????,
???????? ??????? ???? ????????????? ??????????? – ?????? ????? ?????????? ??????????
= AQIDAH ANTI MADZHAB =
Pada Buku = RASIONALITAS AL-QUR’AN = Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar ( yang membahas kesesatan para Dedemit WAHABI ) = karya – M.Quraish Shihab . MA. = di Halaman 74 nomor 3 menyatakan :
“ Syaikh Abdul Ghani ar-Rafi , mengajarkannya ( kepada Rasyid Redha al-Mu’tazili ) sebagian dari kitab hadits NAIL al AUTHAR yang dikarang oleh : asy-Syaukani yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyah “
…Ulama Besar Syi’ah dijadikan MASCOT oleh para DEDENGKOT WAHABI…lucu…maksud hati ingin meluruskan AQIDAH ….akhirnya …berkolaborasi dengan Aqidah Syi’ah….Na’udzubillah tsumma Na’udzubillah.
???????????? ?????????? ?????????? ????? ?????????????
?? ????? ??? ????? ??? ???
“Umat ini tidak akan bersepakat diatas Kesesatan.”
(HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)
http://thesaltasin.wordpress.com/2011/09/16/o/
ORANG ISLAM BUKAN TERORIS. YANG TERORIS ADALAH YANG SUKA FITNAH UMAT ISLAM. YAITU ORANG KAFIR DAN FASIQ.
JAMAN SEKARANG MEMANG JAMAN EDAN (UDAH MAU KIAMAT KALI), LHA WONG ORANG BENER-BENER, PAKAIANNYA PECI, BAJU KOKO, CELANA DIATAS MATA KAKI, BERJILBAB, CADAR, DSB. DISEBUT SEBAGAI CIRI TERORIS,
GILIRAN PREMAN-PREMAN DAN PARA PENJAHAT KORUPTOR KELAS KAKAP DIANGGAP PAHLAWAN. INILAH AKIBAT DARI TIPUDAYA ORANG KAFIRRR. DAN ORANG-ORANG AWAM BANYAK KETIPU