Eksotika Timur yang Kumuh
Sesaat sesudah saya menonton Film Slumdog Millionaire (Danny Boyle, 2008), saya tahu—seperti orang waras lainnya—bahwa film itu dibuat dengan teknik sinematografi yang bagus. Alur ceritanya yang maju-mundur itu sungguh luar biasa, teknik pengambilan gambarnya bagus, akting para pemainnya sip.
Seorang kawan berkomentar bahwa semua adegan di film itu saling berhubungan satu sama lain, sehingga tak ada yang namanya kemubaziran. Saya sependapat dengan dia dan saya kira banyak yang juga berpendapat demikian.
Tapi selama menonton Slumdog Millionaire, saya juga merasa gelisah atas penggambaran India yang begitu kumuh, miskin, jelek, sementara pihak barat direpresentasikan sebaliknya. Masalah ini sebenarnya sangat klasik dan saya terkejut masih menjumpainya sekarang dalam sebuah film yang oleh banyak kritikus dipuji setinggi langit.
Tanpa ragu-ragu, saya harus mengatakan: Slumdog Millionaire, bagi saya, merepresentasikan cara pandang yang barat-sentris dalam melihat, menampilkan, dan kemudian menilai dunia timur.
Slumdog, entah sengaja atau tidak, telah mengandung sejenis orientalisme yang selama ratusan tahun lampau telah dimulai oleh para penjelalah kolonial. Inti gagasannya adalah melihat dunia timur sebagai sesuatu yang “berbeda” dengan barat dan pembedaan ini kemudian diberi nilai tinggi-rendah. Barat itu tinggi, timur rendah; barat baik, timur jelek; barat maju, timur terbelakang; barat beradab, timur biadab. Anda bisa menambahkan deret oposisi biner semacam itu—intinya tetap sama.
Cara pandang macam ini, tentu saja sudah digugat dan bahkan di barat hal demikian sebenarnya telah ditolak oleh sebagian besar orang. Banyak aktivis budaya tanding di Eropa dan Amerika Serikat tahun 1960-an yang menganggap timur sebagai dunia yang jauh lebih baik ketimbang barat—dan karenanya mereka mencoba melakukan gerakan “berpaling ke timur”.
Tentu saja, sebenarnya, apa yang dilakukan para pegiat budaya tanding ini hanyalah orientalisme gaya baru sebab mereka terus saja memandang timur sebagai sesuatu yang ajeg dan eksotis.
Tapi cara pandang Slumdog Millionaire benar-benar barat-sentris dalam caranya yang paling klasik—dan karena film ini adalah adaptasi dari novel Q&A karya Vikas Swarup, saya menduga bahwa novel itu juga barat-sentris. Fakta ini begitu telanjang sejak awal saat acara kuis televisi Who Wants To Be A Millionaire dipilih sebagai semacam surga penyelamat. Saya tidak terlampau paham kenapa acara itu dijadikan sebagai bagian yang sangat signifikan dalam film—seolah-olah Slumdog adalah promosi besar-besaran Who Wants To Be A Millionaire.
Kita tidak bisa mengabaikan acara Who Wants To Be A Millionaire dalam Slumdog karena jika kita melakukannya, kita akan kehilangan sesuatu yang secara signifikan membedakan film itu dengan roman-picisan biasa. Pada dasarnya, Slumdog adalah cerita klasik tentang seorang anak miskin yang sangat sengsara yang kemudian meraih kekayaan dan cintanya. Benar bahwa kisah macam ini akan menginspirasi sebagian orang, tapi jangan lupa cerita begitu akan membuat sebagian orang lainnya bosan pada pandangan pertama.
Ada dua hal yang membuat kisah Slumdog jadi tak biasa: (a) latar kota Mumbay yang kumuh, penuh problematika, dan oleh karenanya eksotik; dan (b) pemakaian kuis Who Wants To Be A Millionaire.
Seperti kita ketahui, Who Wants To Be A Millionaire merupakan kuis yang berasal dari barat—diputar pertama kali di Inggris pada 4 September 1998, acara ini sudah menyebar paling sedikit ke 100 negara. Bukankah ini begitu telanjang? Seorang anak miskin asal India (timur) yang terseok-seok hidupnya akhirnya tertolong oleh sebuah kuis asal Inggris (barat). Bukankah skema ini bisa diganti seperti ini: timur yang miskin/kumuh/sengsara berhasil mengentaskan diri atas bantuan barat yang kaya/baik?
Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Who Wants To Be A Millionaire merupakan bagian dari acara yang sepenuhnya ditujukan buat menghibur penonton—tentu saja, naif membayangkan produser acara ini adalah seorang dermawan yang membuat kuis untuk menolong gembel miskin dari kota kumuh.
Memahami ini, kita akan sadar ironi itu: bagi Jamal Malik dalam Slumdog, kuis Who Wants To Be A Millionaire adalah dewa penyelamat, tapi bagi produser dan para penonton, acara itu semata-mata merupakan hiburan.
Jadi, semua penderitaan Jamal yang selama kuis terus diintrodusir—sebutannya sebagai pelayan pembawa teh, pertanyaan-pertanyaan soal berapa gajinya, dll—merupakan fakta-fakta yang dihadirkan hanya agar acara itu tambah menghibur. Bukankah menyakitkan mengetahui penderitaan seseorang adalah hiburan bagi yang lainnya?
Cara pandang barat-sentris juga hadir secara amat jelas dalam sebuah adegan singkat saat Jamal remaja memandu seorang turis asal Amerika Serikat. Sesudah memperkenalkan sebuah tempat mencuci massal yang kumuh—tapi bagi dua turis AS, tempat macam ini pastilah eksotis—Jamal membawa suami-istri AS dan seorang sopirnya asal India kembali ke tempat mereka memarkir mobil. Ternyata, mobil yang mereka sewa sudah dipreteli oleh anak-anak jalanan setempat.
Sang sopir yang menduga Jamal berkomplot dengan para pencuri, kemudian menghajarnya tanpa ampun. Melihat itu, kedua turis berusaha melerai dan saat itulah Jamal berkata: “Kalian ingin tahu India yang sebenarnya? Inilah India yang sebenarnya itu!”
Mendengar itu, si turis perempuan berkata balik: “Tidak. Kau akan melihat Amerika yang sebenarnya.” Ia segera meminta suaminya untuk memberi uang pada sang sopir dan Jamal pun terbebas dari hajaran.
Jadi, kekerasan adalah “India yang sebenarnya” sementara kedamaian adalah “Amerika yang sebenarnya”. Bukankah adegan itu menghadirkan cara pandang barat-sentris yang kasar dalam caranya yang paling harfiah dan tak malu-malu?
Fakta bahwa Slumdog Millionaire meraih banyak penghargaan dari dunia film barat—film ini mendapat empat Golden Globes dan delapan Piala Oscar—mungkin membuktikan bahwa orang-orang barat ternyata masih menyukai pandangan barat-sentris terhadap timur.Sampai saat ini, sebagian dari mereka mungkin masih membayangkan dunia timur sebagai dunia yang eksotis, tradisional, sekaligus kumuh dan miskin.
Judul Slumdog sendiri sebenarnya secara jelas menyampaikan, secara amat kasar, bahwa orang-orang barat masih menganggap masyarakat timur sebagai “anjing kumuh”—lebih tepatnya: “anjing kumuh” yang menjadi jutawan karena pertolongan barat.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
mungkin itu salah satu penyakit barat yang selalu menganggap timur ‘rendah’.. sementara penyakitnya ‘timur’, selalu menganggap barat ‘hebat’.. hueh..
Gambaran India yang kumuh yo memang banyak amat sudut2 di India yang kumuh dan jembel, luwih jembel mbangane jakarta, taksi2 msh tua2 dan reyot. Teman saya seorang India yg bekerja sbg chef di salah satu resto di veteran, pernah bilang: jakarta jauh2 lebih rapi dari New Delhi. Kekerasan di India? Memang ngeri juga konflik Hindu dan Muslim, sampe obong2an sepur n mesjid barang je (dan ini justru tak banyak “diakui” dalam banyak film dr bollywood) .
Lantas apa yang riil dari India? sebagai benua spiritualitas (yg justru jadi stereotipe yg umurnya jauh lbh panjang brabad2 lamanya)? Tapi kok kalau benua spiritualitas kenapa bs konflik sangat mengerikan begitu, sampe2 lahir dua negara lanjutan dari India (Pakistan n Bangladesh). Toh film2 Bollywood juga sudah sangat biasa penuh dg potret2 kekumuhan yg lebih memualkan secara visual bahkan (beda dg sinetron2 Indonesia yg bermewah dg gaya hidup, padahal sangat banyak kekumuhan dan kejembelan di jakarta).
Kubayangkan, Boyle berharap bisa membuat versi lain yg lbh canggih dari City of God, tp yo rung tekan. hehehe…
Satu yg kuacungi jempol, Boyle justru bisa lolos dari jebakan steretipe Barat yang menganggap India mutlak milik Hindu. Di Slumdog, tertera gambaran yang anti-stereotipe barat bahwa di India umat Islam tidaklah berjumlah kecil.
Lantas, sekali lagi, apa yang sebenar-benarnya India? Ya ga ada jawabannya, apalagi kalau kita ingin jawaban yang sifatnya tunggal dan homofonik. Ya toh?
Sebagai catatan, film ini diadaptasi dari novel “Q and A” karya Vikas Swarup, seorang diplomat yg bekerja utk Deplu India. Saya baca versi terjemahan novel itu, dan gambaran novelnya juga mengandung potret kekumuhan dan kekerasan. Lha njuk piye? Lah aku yo ra mudeng. hihihihi…
@zen: masalahnya bukan hanya pada penggambaran India. tapi logika cerita yg menggunakan kuis who wants to be a milionaire itu sudah menunjukkan bahwa ada sudut pandang tinggi-rendah di sana. percakapan antara turis dg si jamal juga mendukung hal itu.
Yang jadi bikin tidak sederhana adalah: kuis yang diangap olehmu sbg masalah itu justru sudah dihadirkan di naskah novel aslinya oleh si Vikas itu, seorang India dan Vikas bukan seorang India eksil macam Rushdie tapi diplomat Inggris, pendeknya karyawan plat merah negara India.
😀
he2, iya zen. oleh karena itu, dari awal aku bertanya2: apakah kuis tersebut mempunyai arti tertentu bagi masyarakat India? apakah tak berlebihan memakai sebuah kuis komersial utk jalan cerita sebuah kisah cinta? atau ini justru potret ironi cinta abad 21: bahwa cinta bisa sangat bergantung pada kapitalisme? xixixixi. 😀
Hmm.. aku belum selesai nonton filmnya mas.. Semua memiliki cara pandang yang berbeda untuk menilai. Mungkin itu untuk mengangkat realitas india yang belum maju.
Ada juga kan film yang baru, 3 idiot atau my name is khan.. Ceritanya bagus juga
sebuah review dari sudut pandang marxian memang lbh “cocok” ketimbang sudut pandang orientalism/oksidentalism utk film ini.
😀
Cinta bisa sangat bergantung pada kapitalisme? Pertanyaan menarik. Karena sekarang banyak yg berkirim pesan mesra pada kekasihnya bukan lewat merpati, tetapi melalui nokia, macbook atau speedy.
😀
wah selamat, mas haris, tampilannya baru nih..sukses terus…
bar moco komen2 sedurunge dadi ngedumel dewe..opo maneh bab sing terakhir…cinta dan kapitalisme wah..wes marai munek..tenan..
@ helmy: lha ngopo kok munek? 😀
kalimat akhirnya, bener” ‘wow’!! apakah segitukah penilaian mereka?
Saia belum liat SM, tapi pengen juga
Salam kenal…
sM adalah film india yg lain dr biasanya krn film yg lain justru seperti sinetron indonesia yg banyak menampilkan kekayaan dll…
krn di sudut2 India aslinya emang kumuh banget
SETUJU… begitulah cara pandang sebagian Barat terhadap kita yg dari timur..
CMIIW
kayaknya memang kondisi India di Film SLumdog millionare kayak kondisi yang ada di Indonesia. 😀
Hem. . . . Brantas cinta! Brantas kaum kapitalisme!
Belum nonton sih… tapi dari judulnya aja udah “slumdog”… gimanaaaa gitu..
Hal sama menjangkiti film-film perang Hollywood. Selalu menampilkan heroisme negara adikuasa itu. Negara-negara sebagai medan pertempuran yang layak ditolong. Termasuk dalam film “Green Zone.” Meski film ini mencoba menelanjangi borok-borok politik pemimpin Amerika saat itu tentang senjata pemusnah massal di Irak, film besutan Paul Greengrass ini tetap saja menampilkan heroisme AS dalam ikon agen Miller itu. Sepertinya sudah saatnya terjadi arus balik dengan spirit sebaliknya, oksidentalisme. Sepertinya…:)
betul betul betul, saya setuju dengan coment pertama Zen,bahwa kita blm tahu sendiri ttg keadaan India spt apa,kecuali testimoni dari orang yg pernah ke sana……
tp kritis itu gpp kok…
kata temenku,film ini dapat penghargaan karena ada unsur “kekerasan” yg dilakukan oleh moslem india
salam kenal..film ini sangat inspiratif…
belum pernah nonton sih, tapi sepertinya bagus berdasarkan tulisan anda
Kita hidup di dunia yang tak sempurna, di mana walaupun penjajahan telah lama tiada, warisannya masih tetap ada.