Jalan Pulang Sapardi
Sapardi Djoko Damono, dengan topi pet hijau pupus, blazer warna krem, dan celana panjang kelabu, bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah-langkah pelan, nyaris seperti tertatih, ia menuju panggung. Tepuk tangan dalam durasi panjang menggemuruh, mengiringi perjalanan itu.
Semua itu terjadi Jumat malam (25/3), di Teater Salihara, Jakarta, pada acara perayaan 70 tahun Sapardi Djoko Damono. Dalam acara kemarin, Sapardi benar-benar tampil sebagai bintang. Begitu acara resmi selesai, sejumlah penggemarnya langsung mengerubuti Sapardi. Mereka menyodorkan buku-buku Sapardi untuk ditandatangani, kadang-kadang minta foto bersama juga. Sapardi dengan sabar melayani mereka, meski kadang sikapnya kikuk—mungkin ini karena kebanyakan penggemarnya adalah anak-anak muda dan modis.
Saat membuntuti Sapardi di tempat coffe break, saya melihat seorang remaja cowok berpakaian modis menyodorkan setumpuk buku puisi untuk ditandatangani. Sapardi menuruti permintaan itu, dengan sabar membuka satu demi satu buku-buku tersebut lalu menggoreskan tanda tangan, sembari berbincang ringan dengan sang penggemar. Setelah semua itu usai, keduanya berfoto bersama. Sang penggemar tampak senang, cukup lama ia tertawa-tawa pada seorang temannya.
Antuasiasme pengunjung, juga tepuk tangan panjang yang menggema sepanjang acara, menunjukkan bahwa Sapardi adalah penyair yang bukan hanya dihormati di “kalangan sastra” saja tapi juga dikenal baik oleh orang-orang awam. Puisi-puisinya tak hanya dibicarakan secara antusias oleh para pengamat sastra dan ditiru oleh para penyair yang lebih kemudian, tapi juga digubah menjadi lagu, dikutip dalam sinetron, bahkan pernah dicantumkan dalam undangan pernikahan.
Sapardi, tidak bisa tidak, adalah salah satu penyair terpenting yang pernah dimiliki Indonesia. Sejak menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, DukaMu Abadi, pada 1969, penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940, itu langsung ditahbiskan sebagai salah satu pembaharu puisi Indonesia. Sumbangan terpentingnya kala itu adalah menawarkan semacam alternatif atas puisi-puisi pamflet yang mendominasi Indonesia sejak 1960-an.
Pada waktu yang lebih kemudian, puisi-puisi Sapardi juga akan dianggap sebagai alternatif atas puisi-puisi gelap yang kemunculan awalnya di dekade 1950-an dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Pengamat sastra Nirwan Dewanto menganggap, puisi Sapardi adalah titik tengah yang berada di antara dua kutub ekstrem: puisi amanat-pamflet yang mengkhotbahi pembaca dan puisi eksperimental yang gelap dan tak memedulikan pembaca. Penyair Hasan Aspahani, dalam sebuah esai panjang soal Sapardi, menganggap Sapardi adalah penyair yang konsisten untuk tak terjebak menjadi “nabi” atau “anak-anak”.
Pada hakikatnya, apa yang dimaksudkan Nirwan dan Hasan serupa: “nabi” yang dikatakan Hasan adalah representasi para penyair yang menulis puisi amanat, sementara “anak-anak” merupakan simbol atas sosok penyair yang secara sengaja tak memedulikan komunikasi dalam puisi. Pernyataan bahwa puisi-puisi Sapardi berada di “titik tengah” tentu saja benar dan penting, tapi mengatakan itu saja untuk puisi Sapardi jelas-jelas tidak cukup.
Sebab, jumlah puisinya sungguh banyak dan tiap puisi sesungguhnya mengandung kompleksitas masing-masing. Sejak 1969, Sapardi telah menerbitkan sepuluh kumpulan puisi, beserta sejumlah kumpulan cerpen, kumpulan esai, dan buku terjemahan. Prosesnya menulis puisi dimulai jauh sebelum DukaMu Abadi terbit—sajak pertama Sapardi dimuat di ruang kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada 1957, saat ia 17 tahun dan duduk di bangku SMA.
***
Pada 2002, saat memberi pengantar untuk kumpulan puisinya yang berjudul Ada berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Sapardi menulis: “Tiba-tiba saja malam ini saya merasa buku kumpulan sajak ini, yang semuanya ditulis tahun 2001, adalah yang terakhir”. Kenyataannya, kumpulan itu bukanlah yang terakhir karena tahun lalu Sapardi menerbitkan buku sajak yang berjudul Kolam.
Para pembaca puisi Indonesia yang haus akan pembaharuan mungkin bertanya: untuk apa Sapardi, dalam usia yang nyaris 70 tahun, kembali menerbitkan buku sajak? Apakah ada sesuatu yang “baru” yang hendak ia sampaikan melalui Kolam?
Mereka yang mengharapkan sesuatu yang “baru” dalam Kolam pastilah kecewa. Kenyataannya, Kolam menjadi semacam alat bagi Sapardi untuk menegaskan pilihan estetiknya dalam bersajak. Kolam adalah “jalan pulang” Sapardi kepada arus dominan sajak-sajaknya.
Kenapa “jalan pulang”? Sebab, dalam kumpulan puisi yang terbit 9 tahun sebelum Kolam, yakni Ayat-ayat Api, Sapardi seperti mengambil kelokan dari jalan estetik yang sudah ia tempuh sebelumnya. Jika sebelumnya Sapardi dikenal sebagai penyair yang jarang bicara secara cukup vulgar tentang tema-tema sosial, dalam kumpulan itu, tema berbau sosial muncul dalam sejumlah sajak.
Sejak melihat cover Ayat-ayat Api, kita sudah tahu ada sesuatu yang berbeda dalam kumpulan tersebut. Berlainan dengan cover-cover kumpulan sajak Sapardi sebelumnya, juga berbeda dengan sampul buku puisi pada umumnya, Ayat-ayat Api memajang gambar bentrokan antara mahasiswa dengan pasukan keamanan di bagian depan, sementara di bagian belakang tampak suasana kerusuhan yang mengingatkan orang pada peristiwa Mei 1998.
Salah satu puisi yang mungkin bisa mewakili tema sosial dalam kumpulan ini adalah yang berjudul “Dongeng Marsinah”. Ini sajak yang bercerita, tentu saja, tentang Marsinah, aktrivis buruh asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang meninggal karena penganiayaan berat. Sapardi mengisahkan bagaimana Marsinah ditangkap, dengan bahasa yang tak subtil sama sekali:
Di hari baik bulan baik,/ Marsinah dijemput di rumah tumpangan/ untuk suatu perhelatan./ Ia diantar ke rumah Siapa,/ ia disekap di ruang pengap,/ ia diikat ke kursi/…// Ia tidak diberi air,/ ia tidak diberi nasi;/…/ Dalam perhelatan itu,/ kepalanya ditetak,/…/ dan tubuhnya dibirulebamkan/ dengan besi batangan.//…
Dalam ukuran Sapardi, ini sajak yang keras. Kata-kata “ditetak” atau “dibirulebamkan” termasuk kata-kata yang jarang digunakan Sapardi dalam puisi-puisinya yang biasanya penuh dengan hujan atau burung. Selain itu, narasi yang timbul dalam “Dongeng Marsinah” hampir semuanya komplet, tidak rumpang sebagaimana sajak-sajak naratif Sapardi.
Dalam sajak “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”, Sapardi kembali berkisah dengan kalimat-kalimat jelas, minim metafor, dan secara tegas menunjukkan simpati sosialnya. Aku-lirik dalam sajak itu dikisahkan sangat terlibat dengan peristiwa kematian seorang mahasiswa yang bahkan tidak dikenalnya. Membaca sajak ini jelas terasa bahwa Sapardi terasa sangat dekat dengan persoalan yang kemudian ia gubah menjadi sajak. Ia hampir-hampir tidak berjarak lagi.
Kedekatan dengan objek sajak itu sebenarnya merupakan sesuatu yang janggal jika kita mengamati perjalanan estetik Sapardi. Sebab, seperti yang pernah ia sampaikan dalam beberapa kesempatan, Sapardi adalah penyair yang sebisa mungkin menjaga jarak dengan persoalan yang akan ia gubah menjadi sajak. Ia melepaskan keterlibatan emosional diri biografisnya dengan objek sajaknya agar emosi yang muncul dalam puisi-puisinya tidak tumpah ruah. Dalam sajak Sapardi, aku-lirik bukanlah diri biografisnya. Aku-lirik itu bisa siapa saja atau bahkan apa saja.
Maka, berbeda dengan Chairil Anwar yang sajak-sajaknya sangat sering dinisbatkan pada pengalaman pribadinya, sajak-sajak Sapardi hampir sepenuhnya steril dari ruang biografisnya. Jika memang harus ada aku-lirik dalam sajak Sapardi, maka ia biasanya hadir secara samar-samar dan tidak dominan karena kehadirannya kemudian ditimbuni dengan serangkaian citraan benda-benda yang datang dalam konvensi lirik atau naratif. Kadang-kadang, aku-lirik bahkan sepenuhnya hilang, digantikan benda-benda, hewan, atau tumbuhan.
Semacam itulah yang akan kita temui kembali dalam Kolam—setelah sebelumnya juga kita temui dalam DukaMu Abadi, Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), dan beberapa buku puisi Sapardi yang lain. Sajak pertama dalam Kolam, juga barangkali salah satu sajak yang paling kuat dalam kumpulan itu, yakni “Bayangkan Seandainya”, menerapkan hampir semua “rumus baku” Sapardi. Sajak itu liris dan menghadirkan sosok manusia bersama benda-benda, hewan, dan tumbuhan. Mereka bukan hanya hadir secara bersama-sama, tapi juga berhubungan secara dekat dan bahkan saling menggantikan. Petikan sajak itu antara lain:
Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/ berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;// bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu/ menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari/ bulu-bulunya;//…
Menyimak “Bayangkan Seandainya”, kita hanya akan menemui citraan yang sambung-menyambung, satu citraan yang lebih kemudian merupakan pengembangan dari sebelumnya. Seperti sajak-sajak Sapardi yang dulu, sajak ini mengosongkan diri dari amanat, tidak emosional, dan kita sebagai pembaca tak bisa mengharapkan “makna” dalam pengertian konvensional. Yang bisa kita lakukan adalah menenggelamkan diri ke dalam citraan-citraan Sapardi yang lembut, atau menghanyutkan diri kita ke arus bunyi yang timbul saat kita membacanya. Dengan melakukan itu, rasanya sudah cukup untuk mengerti keindahan sajak itu.
Pada sejumlah sajak lain di dalam Kolam semisal, “Secangkir Kopi”, “Pohon Rambat”, dan “Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini”, motif yang serupa—menjejerkan benda-benda, hewan, dan tumbuhan dengan manusia—masih juga kita temui. Hanya, dalam ketiga sajak itu, mereka tidak saja dekat tapi juga “berinteraksi” dengan manusia. Lucunya, kadang-kadang kita tahu bahwa mereka berinteraksi dengan sosok manusia yang hadir dalam sajak justru karena Sapardi menulis mereka tidak melakukan “interaksi”, seperti yang terbaca dalam “Secangkir Kopi”:
Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu/ kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa/ membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup/ ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak/ bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di/ atas meja setiap pagi.//
“Secangkir Kopi” mungkin sajak yang bagus untuk melihat persambungan sekaligus sedikit perbedaan estetika sajak-sajak dalam Kolam dengan puisi Sapardi yang dominan. Sebab, selain persambungan yang sudah dibahas di atas, “Secangkir Kopi” mengandung sedikit kelainan, yakni hadirnya simbol-simbol kehidupan urban melalui kata-kata seperti “asap”, “kerja”, dan “kota”. Simbol kehidupan urban semacam itu, juga muncul kembali dalam beberapa puisi, misalnya “Kota Kami”, “Sonet 11”, “Asap Pabrik”, dan “Taman Kota”.
Meski terasa sedikit nuansa baru, Kolam tetaplah “jalan pulang” Sapardi. Dalam sebuah perbincangan singkat dengan saya di sela-sela acara perayaan 70 tahunnya, Sapardi mengaku tak berniat menyampaikan sesuatu yang spesial melalui Kolam. “Nggak, nggak ada. Proses menulis saya sama dengan kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya,” katanya.
Barangkali, kita memang harus menerima Kolam tanpa pretensi mencari pembaharuan. Toh, sejak lama Sapardi sudah membuktikan bahwa ia seorang pembaharu, dan kini, di usianya yang senja, kita mungkin hanya harus mencintai puisi-puisinya dengan sederhana.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
yang tak bisa saya lupakan dari sosok seorang sapardi adalah kebersahajaan dan keramahannya. ia salah seorang penyair terbaik yang dimiliki negeri ini. karya2nya abadi dan terus dikenang dari generasi ke generasi.
konon katanya, thn 2009 pak sapardi membuat sebuah penerbitan Editum, utk menerbitkan kembali semua bukunya yg berupa kumpulan esai, puisi maupun cerita. hebatnya, semua proses edit naskah dan format ulang tampilannya beliau sendiri yg mengerjakan.
sayangnya, sampai saat ini saya masih kesulitan mencari buku2nya di toko buku terkenal
Ris, tulisanmu ini bagus sekali. Analisis yang asik, menghibur, renyah, juga berfaedah.
makasih roy. he2. versi lainnya ada di majalah tempatku kerja 😀
Tahun 2003, waktu Sapardi datang ke kampus IKIP Malang, Sapardi pernah bilang kurang-lebih sama dengan komentarmu, puisi-puisinya memang bukan untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. Juga tentang Ayat-ayat Apinya, yang ia bilang sendiri sebagai puisinya yang paling berbeda, karena katanya tidak seharusnya puisi ditulis ketika sedang marah. Dan seperti penutupmu, kita memang harus mencintai puisi2nya dengan sederhana…
Saya belum terlalu akrab dengan sosok ini, tapi saya dengar dia punya ciri khas sendiri dalam berkarya. Tentunya semua seniman juga begitu ya… salam buat beliau :).
yah ngak nonton… coba di jakarta
Jujur dari hati, saya baru tau tokoh Sapardi justru dari tulisan anda. Terima kasih karena sudah berbagi tentang seseorang yang patut dikagumi.
saya yakin pasti ada jalan berangkat juga,
cuman apakah jalannya sama dengan jalan pulang? itu yang saya tidak tahu 😀
yah ngak nonton… coba di jakarta
yah ngak nonton… coba di jakarta
hemmm …
samaaa …..