Sebuah Oase di Taman Victoria
Setiap orang membutuhkan sebuah oase, dan bagi para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Hongkong, oase itu bernama Victoria Park. Di taman yang terletak di tengah kota Hongkong itu, para TKW kita biasa berkumpul tiap hari Minggu—saat mereka semua libur—untuk bergaul satu sama lain.
Biasanya, mereka bergerombol membentuk kelompok-kelompok kecil dan melakukan kegiatan yang berbeda. Ada yang berlatih tari poco-poco, menggelar pengajian, belajar menulis, sampai menonton konser band. Karena sejumlah alasan, Hongkong menjadi salah satu negara tujuan favorit bagi TKW-TKW Indonesia. Jumlah TKW kita di negara itu sekira 130.000 dan tak diragukan, hampir semuanya akan tumpah ruah di Victoria Park pada hari Minggu.
Saya tak tahu seberapa luas Taman Victoria itu, tapi seorang kawan menyebut taman itu lebih luas dari kawasan Monas di Jakarta. Meski lumayan luas, tetap saja Victoria Park akan terasa sesak di hari Minggu karena banyaknya orang Indonesia yang berkumpul di sana. Saking banyaknya orang Indonesia di taman itu, Victoria Park di hari Minggu seolah menjadi sebuah Indonesia kecil, tempat kita bisa menemukan wanita-wanita berdandanan mencolok tapi ngobrol dalam bahasa Jawa medok khas Jawa Timur.
Gambaran tentang relasi Victoria Park dengan para TKW Indonesia itu bisa kita simak dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park yang disutradarai Lola Amaria. Secara garis besar, film ini berkisah tentang kehidupan para TKW Indonesia di Hongkong beserta sederet problem yang menyertai mereka. Selain menjadi sutradara, Lola Amaria juga berperan menjadi Mayang, seorang TKW asal Gempol, Surabaya, yang berangkat ke Hongkong dengan tujuan utama mencari adiknya bernama Sekar (Titi Sjuman).
Upaya Mayang mencari Sekar inilah yang menjadi plot utama Minggu Pagi. Alkisah, Sekar yang lebih dulu bekerja di Hongkong terlilit utang dengan lembaga perkreditan setempat yang memberlakukan bunga tinggi. Dia tak bisa pulang ke tanah air sebelum melunasi utangnya karena nomor paspornya diblokir. Problem ini ditambahi dengan konflik pribadi antara Mayang dengan Sekar yang timbul sejak mereka masih kecil. Mayang merasa iri dengan Sekar karena adiknya itu punya banyak kelebihan dibanding dia dan selalu lebih disayangi oleh ayah mereka.
Di sela-sela kisah utama ini, Minggu Pagi menghadirkan sejumlah problem yang selama ini dihadapi para TKW di Hongkong. Bersama timnya, Lola Amaria melakukan riset yang lumayan panjang dan mendalam sehingga mereka bisa menghasilkan representasi yang cukup meyakinkan ihwal kehidupan TKW Indonesia di Hongkong.
Saya beruntung bisa bertemu dengan Lola serta dua produser Minggu Pagi, yakni Dewi Umayah Rachman serta Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noel—yang terakhir ini adalah vokali band Letto. Ketiganya banyak bercerita tentang hal-hal menarik yang mereka temui dalam pembuatan film ini. Banyak hal yang tak terjelaskan secara baik dalam film menjadi terlengkapi oleh penjelasan mereka.
Saya, misalnya, mendapatkan penjelasan kenapa banyak TKW kita yang menjadi lesbian setelah berada di Hongkong. Ya, dalam Minggu Pagi, kita memang menjumpai sejumlah TKW yang berpacaran dengan sesama perempuan. Menariknya, kebanyakan perempuan lesbi ini memiliki suami di Indonesia—artinya orientasi seksual mereka di tanah air sebenarnya heteroseksual. Di film, seingat saya, tak ada penjelasan kenapa fenomena ini marak di Hongkong. Ternyata, jawaban dari masalah ini sangat menarik.
Lola menyatakan, para TKW yang berada di Hongkong ini umumnya berasal dari keluarga yang taat beragama. Sejak kecil, mereka didoktrin bahwa hubungan badan antara lelaki dengan perempuan yang tidak terikat pernikahan merupakan sebuah dosa besar. Masalahnya, karena mereka berpisah ribuan meter dari suami mereka, para TKW ini mau tak mau harus memiliki saluran untuk melampiaskan hasrat seksual mereka.
Karena tak mau melakukan zina dengan lelaki, mereka akhirnya memutuskan menjadi lesbian. Ya, segampang dan sesimpel itulah pikiran mereka. Tatkala kembali ke tanah air, para TKW ini bisa dengan cepat beralih kecenderungan seksual. Mereka bisa secepat kilat mencintai suami mereka kembali dan melupakan pasangan lesbi mereka di Hongkong.
Selain menjadi lesbian, para TKW ini ada pula yang mati-matian jatuh cinta pada lelaki-lelaki asal Pakistan dan Bangladesh. Apa alasannya? Kenapa mereka tidak banyak tertarik dengan orang Hongkong sendiri, misalnya? Ternyata, kebanyakan TKW-TKW di sana itu berasal dari pedesaan di Jawa Timur yang sejak kecil gemar menonton film-film India.
Kegemaran inilah yang membentuk “standar” ketampanan pria di benak mereka. Bagi mereka, pria yang ganteng adalah yang mirip Shahrukh Khan. Karenanya, mereka sangat mudah terpikat pada rayuan gombal lelaki-lelaki Pakistan yang mukanya rada-rada setipe dengan Shahrukh Khan.
Padahal, seperti yang dengan bagus digambarkan dalam Minggu Pagi, kebanyakan lelaki asal Pakistan ini hanya memanfaatkan para TKW Indonesia sebagai mesin ATM mereka. Pria-pria tak tahu malu ini memacari TKW-TKW kita supaya mereka bisa “numpang hidup”. Akibatnya, banyak TKW yang akhirnya kehabisan uang karena terus menerus memanjakan pacarnya.
Minggu Pagi memang tidak diadasari sebuah true story, tapi film ini dirancang dari true event. Artinya, kisah pencarian yang dilakukan Mayang dalam film ini memang fiktif, tapi pelbagai kejadian dan masalah yang dihadapi para TKW di Hongkong merupakan sesuatu yang nyata ada. Kisah Sekar yang terlilit utang dengan lembaga kredit yang memberlakukan bunga tinggi, contohnya, merupakan kejadian yang seringkali dialami para TKW di kehidupan nyata.
TKW yang meminjam uang dari lembaga semacam itu harus menyerahkan nomor paspor, dan selama mereka belum melunasi utang, mereka tak bisa pulang ke tanah air. Sebab, nomor paspor mereka telah didaftarkan ke pihak imigrasi setempat untuk diblokir. Jebakan hutang itu kerap terjadi bukan karena TKW-TKW itu hidup bermewah-mewahan. Justru tekanan dari keluarga mereka di tanah air yang membuat problem semacam itu muncul. TKW-TKW itu dianggap sudah menjadi orang sukses sehingga mereka diminta mengirimkan uang dalam jumlah banyak ke keluarganya untuk kemudian dibelikan barang-barang konsumtif, seperti motor dan kulkas.
Meski Hongkong secara umum merupakan tempat yang nyaman bagi TKW—di sini, para majikan umumnya baik-baik dan para TKW diberi hari libur selama sehari tiap minggu—bukan berarti para TKW ini senantiasa bahagia. Dalam hal inilah, berkumpul di Victoria Park menjadi sebuah pilihan untuk melupakan masalah. Di Victoria Park, mereka bisa bahagia atau setidaknya berbagi kesedihan.
Sebagaimana diperlihatkan dalam Minggu Pagi, bagi para TKW itu, Victoria Park memang sebuah oase.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
dulu saya pernah ke sana…
pas jadi TKI juga mas? he2.
mungkin indah bagi TKW, disini mungkin sepadan dengan keindahan taman jurug kali ya?
salam
lebih metropolit mas
sebuah realita yang kadang terlupakan oleh hiruk pikuk kehidupan
memilukan, melihat bangsa kita seperti ini