Tentang “Eat, Pray, Love” dan Apakah Kita Bahagia
Saya menonton Eat, Pray, Love dengan ekspektasi yang tak terlampau tinggi karena sudah mendapat peringatan. Tiga ulasan film ini—masing-masing ditulis oleh Leila S Chudori di Majalah Tempo, Bambang Sulistiyo di Majalah Gatra, dan Is Mujiarso di Detik.com—semuanya memberi pesan: film ini tidak terlampau mengesankan.
Dan mereka semua benar. Pernyataan Leila bahwa film ini membosankan, pendapat Is Mujiarso bahwa kisah film ini tidak mempunyai kedalaman, juga penilaian Bambang bahwa Eat, Pray, Love sangat Hollywood—semuanya sudah saya buktikan. Tapi, bagi saya, kelemahan utama film ini adalah tesisnya yang mengatakan bahwa “pencarian jati diri” adalah sesuatu yang akan mencapai titik akhir. Seolah-olah, setelah diri yang sejati itu ditemukan, kita akan bahagia selamanya.
Ketika Eat, Pray, Love diakhiri dengan adegan Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) dan Felipe (Javier Bardem) naik ke perahu untuk pergi berkemah di sebuah pulau terpencil, lalu mereka berciuman dengan buas di tengah perjalanan, kita mendapati sebuah akhir yang statis. Rupanya, pencarian Liz—panggilan akrab Elizabeth—telah berakhir dan kini dia akan bahagia selamanya dengan duda asal Brasil yang buka usaha di Bali itu.
Karena film ini didasarkan pada novel biografis yang berbasiskan pada kisah nyata, kita bisa menduga bahwa Liz akhirnya benar-benar bahagia dengan sang duda di kehidupan mereka yang riil. Tapi, saya tidak tahu, benarkah kisah manis itu yang terjadi. Mungkin saja tidak. Atau, setidaknya, Liz tidak terus-menerus bahagia. Dan tidak terus-menerus merasa menemukan jati diri.
Dalam prosedur filsafat teoretis yang pernah saya pelajari sedikit-sedikit, “jati diri” itu sebenarnya tidak ada. Dalam artian, tidak ada diri yang sejati, yang statis, dan tak berubah. Memakai metafora dalam Eat, Pray, Love, tidak ada sebuah kata yang benar-benar tepat untuk merepresentasikan seseorang. Tapi kita tahu, di akhir film, Liz telah memilih sebuah kata untuk mewakili dirinya sendiri, seolah-olah kata itu akan menjadi identitasnya selamanya.
Saya percaya, pilihan Liz itu salah. Mungkin dia melakukannya karena merasa telah menemukan cinta sejatinya pada Felipe. Tapi percaya pada cinta sejati hanyalah bualan paling absurd dalam film-film Hollywood. Saya kira, orang-orang Hollywood terus-menerus memunculkan cinta sejati dalam film-film mereka justru karena dalam kenyataan, mereka jarang atau malah tak pernah menemukannya.
Betapa anehnya melihat Liz bertanya-tanya soal cinta sejatinya pada Felipe setelah keduanya bercinta habis-habisan selama beberapa hari. Ketidakmampuan orang-orang ini memisahkan perasaan dan birahi adalah penghalang terbesar bagi mereka untuk menemukan, atau memahami, apa itu cinta sejati. Saya tahu, pendapat ini memang terdengar konservatif, tapi sebuah perasaan yang murni—jika dia memang ada—harusnya tak terikat pada hal-hal lain: birahi dalam kasus Hollywood, atau komitmen dalam kasus di belahan dunia lain.
***
Dalam hal tertentu, kita adalah Elizabeth Gilbert tapi sekaligus bukan dia.
Pada suatu hari atau suatu waktu, ketika sedang sendirian dan tidak melakukan apa-apa, kita mungkin menemui pertanyaan-pertanyaan tertentu tentang hidup dan segala hal yang kita jalani. Apakah kita sedang melakukan hal yang benar, apakah kita memang benar-benar ingin mengerjakan ini, dan apakah kita bahagia—itu kalimat-kalimat standar yang biasa muncul dalam pikiran kita dalam saat-saat semacam itu.
Saya seringkali mengalami momen semacam itu saat berbaring di dalam kamar kos yang saya yang sempit, penuh barang dan buku, dan kadang-kadang pengap. Biasanya saat itu malam hari, ketika saya pulang dari kantor dan merasa sangat kelelahan. Semua pertanyaan itu tidak terjawab, karena saya terlanjur terlelap. Esok hari, saya bangun dan melupakan semuanya.
Tapi Liz terbangun pada suatu malam dengan mata sembap dan merasa dunia sudah berakhir. Ia menceraikan suaminya, mencintai seorang aktor teater yang percaya pada yoga, namun semuanya tetap tidak membaik. Akhirnya, ya mau bagaimana lagi, pencarian jati diri itu harus dimulai. Tapi, pertanyaannya, memang sebelum ini dia tak pernah berpikir soal jati diri?
Bagi saya, Eat, Pray, Love melakukan dua hal yang sebenarnya bertolak belakang: mendramatisir pencarian jati diri—seolah-olah hal semacam itu memang sangat genting—tapi sekaligus membuatnya jadi simpel. Mempertanyakan segala hal yang terjadi dalam hidup kita itu sebenarnya biasa, tidak perlu mata sembab dan perceraian segala. Ini sebuah kodrat yang harus diterima dengan perasaan ringan-ringan saja.
Di sisi lain, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa benar-benar berhenti. Bahkan setelah kita melakukan sebuah perubahan besar dan merasa tercerahkan, pertanyaan tidak pernah berhenti mengalir. Itu sebabnya, tak pernah ada “jati diri” dalam pengertian statis. Kita selalu berubah dan mengelak. Dan kita akan terus bertanya-tanya: “Apakah kita bahagia”?—meskipun kita bukan Elizabeth Gilbert.
Jakarta, 24 Oktober 2010
Haris Firdaus
Foto diambil dari sini
dalam soal film, saya selalu gaptek, mas haris, hehe … maklum, kendal jauh dari gedung bioskup, hiks. kalau mau nonton, mesti menyempatkan lari ke semarang. untung mas haris selalu meng-update-nya.
wah analisis anda kompleks sekali,,,,,,
kagum saya,blum pernah lihat film sampai kayak gtu sayanya
Waduh, terlanjur tak donlot ki mas, tapi rung tak tonton sih, lha ndak ada subtitlenya… Hehehe…
Kalo masalah film, saya kurang menyukai film berbau drama romantis, lebih suka yang horror
sama ..
wah sudah maen ya… semarang kapan…. pasti ketinggalannya lama banget…
blog-nya keren om
Saya sih belum pernah lihat film itu, tapi membaca sekilas dari postingan di atas, jadi kalaupun saya nonton, ekspektasi saya pun jadi turun secara kuadrat. Setelah ulasan Leila S Chudori di Majalah Tempo, Bambang Sulistiyo di Majalah Gatra, dan Is Mujiarso di Detik.com, bagi saya ditambah ulasan Mas Haris.XD
Setidaknya, tidak ada yang abadi, apalagi kebahagiaan. Yang abadi hanya dalam film (yang telah diolah dan dikondisikan).
film hanya sebuah pelarian untuk membayangkan sesuatu yang realitanya tidak ada. Kadang-kadang film memang kelewatan
nice post eniwei
saya kurang begitu suka dengan film model beginian
setidaknya Liz mengerti bagaimana dia menghadapi masalah2 yg timbul dalam kehidupannya