Tentang “Eat, Pray, Love” dan Apakah Kita Bahagia

eat-pray-love-detail

You may also like...

11 Responses

  1. dalam soal film, saya selalu gaptek, mas haris, hehe … maklum, kendal jauh dari gedung bioskup, hiks. kalau mau nonton, mesti menyempatkan lari ke semarang. untung mas haris selalu meng-update-nya.

  2. rizal says:

    wah analisis anda kompleks sekali,,,,,,
    kagum saya,blum pernah lihat film sampai kayak gtu sayanya

  3. ~MHC~ says:

    Waduh, terlanjur tak donlot ki mas, tapi rung tak tonton sih, lha ndak ada subtitlenya… Hehehe…

  4. ibnu says:

    Kalo masalah film, saya kurang menyukai film berbau drama romantis, lebih suka yang horror

  5. wah sudah maen ya… semarang kapan…. pasti ketinggalannya lama banget… :)

  6. allya innaz says:

    blog-nya keren om

  7. Andika says:

    Saya sih belum pernah lihat film itu, tapi membaca sekilas dari postingan di atas, jadi kalaupun saya nonton, ekspektasi saya pun jadi turun secara kuadrat. Setelah ulasan Leila S Chudori di Majalah Tempo, Bambang Sulistiyo di Majalah Gatra, dan Is Mujiarso di Detik.com, bagi saya ditambah ulasan Mas Haris.XD

    Setidaknya, tidak ada yang abadi, apalagi kebahagiaan. Yang abadi hanya dalam film (yang telah diolah dan dikondisikan).

  8. madyandi says:

    film hanya sebuah pelarian untuk membayangkan sesuatu yang realitanya tidak ada. Kadang-kadang film memang kelewatan
    nice post eniwei

  9. cinta bahari says:

    saya kurang begitu suka dengan film model beginian

  10. don antonio says:

    setidaknya Liz mengerti bagaimana dia menghadapi masalah2 yg timbul dalam kehidupannya

Leave a Reply to allya innaz Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>