Merapi dan Kenangan
Ketika saya mendongakkan kepala setinggi mungkin pagi itu, puncak Gunung Merapi tidak kelihatan. Dari tempat saya berdiri, yang terlihat hanyalah kumpulan bebatuan besar yang sesekali longsor ke bawah, dan para pendaki yang berusaha menghindarinya. Saya baru saja bangun tidur, dan sedang memasak mie instan untuk sarapan. Semalam, saya tidur di antara batu-batu besar dengan alas mantel dan berselimut sarung.
Pada suatu hari beberapa tahun lalu itu, saya sedang berada di Pasar Bubrah, sebuah padang luas berisi batu-batu besar, tanpa pepohonan sama sekali. Mereka yang mendaki Merapi dari jalur Selo, Boyolali, biasa menjadikan tempat ini sebagai “penginapan” karena terlalu berbahaya mendaki sampai ke puncak pada malam hari. Setelah Pasar Bubrah, para pendaki harus melewati bukit batu yang cukup terjal dan berbahaya untuk sampai ke puncak Merapi.
Batu-batu besar itu seringkali ambrol dan meluncur ke bawah, sehingga membahayakan keselamatan para pendaki. Bagi mereka yang memilih memulai pendakian pada malam hari, Pasar Bubrah menjadi tempat penginapan yang ideal. Saat fajar menyingsing esok harinya, mereka tinggal mendaki sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai ke puncak.
Saat menuju puncak, kebanyakan orang memilih meninggalkan tas-tas besar dan hanya membawa peralatan sekadarnya—kebanyakan hanya membawa air minum dan kamera. Semua ini dilakukan untuk mengurangi beban dan memudahkan perjalanan melalui bukit batu sebelum puncak. Sistem semacam ini membuat sebuah kelompok biasanya memecah anggotanya menjadi kelompok kecil, lalu mendaki bergantian.
Tapi pagi itu, saya tidak bisa meninggalkan tas 60 liter saya karena saya mendaki sendirian. Awalnya, saya hendak mendaki berdua, bersama kawan di pecinta alam SMA, tapi dia membatalkan ikut serta di detik-detik akhir. Waktu itu saya kelas 2 SMA, seorang remaja yang sedikit kesepian dan kadang-kadang terlalu membesar-besarkan masalah pribadi. Ditimpa sejumlah persoalan khas remaja, saya akhirnya nekad mendaki Merapi sendirian—sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya dan tidak pernah saya lakukan lagi sesudahnya.
Saya membawa sebuah tas gunung pinjaman, yang diisi dengan perlengkapan serba mepet: air mineral 3 liter, beberapa mi instan dan roti, misting, serta sekotak bahan bakar parafin. Tentu beserta peralatan sederhana tapi mutlak diperlukan: senter dan jaket tebal. Saya tidak membawa tenda tapi memasukkan sarung serta mantel sebagai penggantinya. Ini semua serba instan, dan bahkan perjalanan menuju Selo dari Solo pun saya lakukan dengan instan: menumpang rombongan pecinta alam sekolah lain.
Rombongan itu sebenarnya hendak menuju Gunung Merbabu tapi jalur pendakian gunung itu di Selo memang sangat dekat dengan jalur menuju Merapi. Kami berpisah di sebuah masjid di Selo, dan saya menuju desa terakhir sebelum masuk pos pendakian Merapi dengan jalan kaki.
Bagi saya, mendaki gunung membuat kita melupakan masalah-masalah kita. Saya tidak menganggap aktivitas mendaki sebagai refreshing, tapi sebagai sebuah kerja keras. Dan, seperti yang sudah dibuktikan banyak orang, bekerja keras jauh lebih ampuh untuk melupakan masalah ketimbang refreshing. Saat mendaki, kita harus fokus pada tiap aktivitas kita, termasuk langkah-langkah yang kita ambil, sehingga semua persoalan yang kita bawa dari rumah akan tanggal dengan sendirinya.
Dari sejumlah kecil gunung yang pernah saya daki, Merapi yang paling saya sukai. Gunung ini tidak terlampau tinggi, sehingga tak terlalu menguras tenaga untuk didaki, tapi memiliki banyak jebakan: jurang yang curam dan batu-batu besar yang bergeser saat diinjak. Semua ini menimbulkan sensasi sendiri. Berbeda dengan Merbabu yang tambun dan menjemukan, juga Lawu yang jalur pendakiannya seperti anak tangga, Merapi menyajikan medan yang variatif.
Oleh karena itu, pada pagi hari beberapa tahun lampau itu, saya bersemangat membereskan peralatan saya dan memasukkannya ke tas. Saya melihat ke bukit batu-batu itu, sejumlah besar pendaki sedang bergumul menaklukkan medan terjal. Hari itu tanggal 17 Agustus dan saya melihat bendera Merah Putih dikibarkan di puncak. Sebuah tali terulur di tengah-tengah bukit batu, sebagai semacam petunjuk bagi pendaki untuk memilih jalur yang tepat menuju puncak.
Dengan kondisi yang sangat ramai, bukit batu sebelum puncak Merapi itu menjadi jauh lebih berbahaya. Pendaki yang grusa-grusu akan membuat banyak batu berjatuhan dan membuat pendaki di bawahnya terancam bahaya. Dalam situasi semacam itu, korban luka menjadi tak terhindarkan.
Untungnya, saya baik-baik saja. Saya tetap mendaki sendirian ke puncak, seperti sejak saya masuk ke pos pertama Merapi. Saya menginjak sejumlah batu besar yang bergeser dari tempatnya, beberapa dari mereka panas dan berbau belerang. Dalam waktu kurang dari sejam, saya sampai ke puncak Merapi. Puncak gunung ini dinamai sebagai Puncak Garuda. Nama ini sebenarnya dinisbatkan untuk sebuah batuan tinggi yang menjulang di atas puncak Merapi.
Sayangnya, bentuk batu tinggi itu tidak lagi utuh. Letusan Merapi membuatnya grompal-grompal. Bentuknya tak lagi jelas. Meski begitu, banyak orang yang tetap berusaha naik ke batu itu, dan berpose di sana. Saya tidak lama di puncak Merapi. Tak sampai sejam karena angin di sana lumayan kencang dan tak banyak yang sebenarnya bisa dilakukan di sana.
Dalam pengalaman saya mendaki gunung, saya memang seringkali kebingungan hendak melakukan apa saat sampai puncak. Ada rasa bahagia memang, tapi kok norak kalau sampai sujud syukur segala. Dan, meski hari itu 17 Agustus, saya tidak sangat nasionalis untuk ikut menyanyikan Indonesia Raya atau mengibarkan Merah Putih. Saya hanya beristirahat sebentar, lalu turun kembali. Membiarkan perjalanan ini sebagai kenangan, saya kira, sudah cukup.
Jakarta, 16 November 2010
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
Mendaki gunung dan fotografi adalah dua hal yang telah lama saya impikan, namun belum pernah kesampaian, mas. Saya kira nafsu saya lebih besar ketimbang kemampuan fisik yang saya miliki. Walaupun katanya fisik semata-mata soal sikap mental dan pikiran yang positif, saat saya mencobanya… saya tak menyebutnya gagal. Mungkin saya terlalu rasional, sehingga dengan besar hati saya memutuskan turun.
Namun sebagai anak (yang dulu) muda, saya kira mendaki gunung, dan pecinta alam tak kurang gagahnya dengan demonstran. Sayang, seribu sayang. Saya belum melengkapi kemudaan saya itu, dulu. Apalagi sekarang. Jadi, selamat mas. Telah menggenapi kemudaan. Apalagi saat SMA. Wah, avonturir, vivere pericoloso betul….
Saat ini saya cukup puas berkeliling kota saja mas. Tak membutuhkan tenaga besar, bahkan bisa menumpang becak. Tak mendaki, hanya blusukan. Namun tak kalah menyenangkan….
bener naik gunung itu sekedar buat kenangan aja kog. kupikir alasan2 lain selalu terasa dicari2…
pengalamanku cuma sampai puncak lawu. pengalaman sekali seumur hidup dan gak kepingin kuulang. kupikir2 capenya gak sebanding dengan indahnya… ;P
sayang,saya belum sekalipun bisa naik gunung.
entah sensasi apa yang bakal saya dapat tapi kelihatannya bakal menyenangkan jika mendengar dari teman-teman yang sudah pernah
saya suka filosofinya, mendaki itu memang sebuah kerja keras
mantab jaya
saya dulu berangan-angan mendaki di gunung merbabu…
waktu itu masih SMA, tapi sampai sekarang belum juga tercapai
saya belum pernah sekalipun naik k merapi,, T.T
merapinya keburu meletus,,
kapan ya bisa mendaki merapi??….
….Waktu itu saya kelas 2 SMA, seorang remaja yang sedikit kesepian dan kadang-kadang terlalu membesar-besarkan masalah pribadi….
*hahahaha….
semoga merapi tidak meletus lagi, amin
mmmhhh pemandangan yang sangat indah…
saat ini merapi sangat indah sekali.. pemandangan hasil erupsi bikin kita sedih dan takjub akan kuasa Tuhan…
lha merbabune Ndi?
karo photone
Saya juga pernah berada di puncak garuda pada tahun 1986. Saya bersama teman-teman Mapasadha Jogjakarta. Sayang Waktu itu belum ada alat dokumentasi yang murah dan mudah seperti jaman sekarang. sehingga saya tidak memiliki kenangan foto di tempat itu. Saya masih punya keinginan terpendam untuk kembali ke puncak Merapi di suatu ketika nanti. Sayang umur saya sudah beberapa tahun di atas setengah abad.
Salam Merapi