Nyanyi Sunyi Penderita AIDS
Nasib adalah kesunyian masing-masing. Dulu sekali, penyair Chairil Anwar pernah memaklumatkan hal itu. Kini, ketika berbaring dengan nafas tersengal-sengal di sebuah rumah sakit, Galileo Kastoebi mungkin merasakannya juga. Ia seorang yang dengan cepat bermetamorfosa: dari pengusaha muda kaya raya dan banyak teman, menjadi pria kesepian yang menderita.
Pangkal soalnya adalah perilaku Leo, panggilan akrab lelaki itu, yang suka bergonta-ganti wanita untuk dikencani. Dia berkencan dengan Brenda yang suka memakai baju ketat tanpa lengan dan rok pendek nan seksi, Sisca yang centil luar biasa, dan banyak perempuan lainnya. Mereka, tentu saja, berhubungan seks berdasar suka sama suka. Dengan semua pesona, kekayaan, dan romantismenya, Leo gampang sekali mendapatkan wanita beserta jiwa dan raganya. Masalahnya, seperti yang selalu dikisahkan dalam cerita-cerita moral, mereka yang berdosa akan menanggung derita.
Leo juga begitu. Dia positif terinfeksi virus HIV dan pelan-pelan kehilangan hampir segala yang dipunyainya. Tentu saja, dalam kisah macam begini, selalu ada yang tersisa: seorang sahabat setia, perempuan yang mencintai dengan tulus, dan orang tua yang mengasihi tanpa ampun. Ditambah seorang dokter ahli penyakit AIDS, orang-orang inilah yang akhirnya menemani Leo hingga mau menjemput.
Dengan konstruksi kisah macam begitu, agaknya susah untuk bergembira menonton pertunjukan Rumah Pasir ini. Lakon ke-120 Teater Koma ini terasa hambar, kurang greget, dan minim kejutan. Nobertus “Nano” Riantiarno, aktor utama dari kiprah Teater Koma selama ini, menulis lakon sekaligus menyutradarai pentas yang dimainkan di Teater Salihara pada 29 Oktober-7 November 2010 ini. Sejumlah aktor yang bermain antara lain, Budi Ros, Ratna Riantiarno, Cornelia Agatha, Tuti Hartati, dan Rangga Riantiarno.
Rumah Pasir adalah lakon ketiga Nano yang berkisah soal AIDS. Pada 1994, Nano menulis lakon untuk miniseri tiga episode berjudul Onah dan Impiannya alias Suryakanta Kala. Miniseri yang ditayangkan di TVRI ini kemudian dipadatkan menjadi sebuah episode dengan durasi 50 menit. Pada 1998, Nano membuat Kupu-kupu Ungu, sebuah serial televisi 13 episode yang ditayangkan di RCTI. Dengan semua catatan ini, Nano memang tampak memiliki kepedulian khusus pada isu AIDS. Oleh karena itu, wajar jika akhirnya ia menggubah lakon soal AIDS untuk Teater Koma.
Sayangnya, niat mulia Nano sepertinya tidak diimbangi dengan keberhasilan estetik pentasnya. Secara keseluruhan, Rumah Pasir bisa dikatakan tidak istimewa, malah membosankan untuk ditonton selama dua jam. Selama menontonnya, kita disuguhi alur yang mudah ditebak, dialog-dialog reflektif yang tidak mencerahkan karena telah klise, dan tokoh-tokoh dengan karakter yang terkunci stereotip.
Kehendak Nano memasukkan pesan-pesan sosial soal AIDS tidak menambah bobot lakon ini tapi justru membebaninya. Penonton pun disuguhi kata-kata semacam “terapi antiretroviral”, “infeksioportunistik” dan istilah berkait dengan AIDS lainnya, yang disemburkan dengan ekspresi edukatif. Seolah belum cukup menyampaikan pesan lewat mulut tokoh-tokohnya, Nano menyajikan info soal AIDS dan HIV melalui sebuah layar di bagian belakang panggung. Dipandang dari sudut ini, nyata bahwa Rumah Pasir adalah juga kampanye sosial.
Menyajikan problem sosial lewat teater memang bukan sesuatu yang asing bagi Teater Koma. Dikenal sebagai kelompok yang sering menyampaikan pesan-pesan sosial politik dalam pertunjukannya, grup teater yang berdiri pada 1977 ini tampaknya tidak terganggu dengan bentuk seni yang dibebani amanat. “Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pemerintah yang berkuasa setengah hati menangani masalah AIDS,” kata Nano.
Tentu saja, pesan sosial bukan segalanya. Suasana kesepian yang dirasakan Leo ketika ia ditinggalkan oleh kebanyakan temannya, hendak didorong menjadi sesuatu yang sentral, dan Rumah Pasir tampaknya ingin dibuat sebagai semacam nyanyi sunyi seorang yang terjangkiti HIV. Malangnya, hal itu kurang berhasil sehingga kesunyian Leo sama sekali tidak menyentuh. Pesan bahwa seorang penderita AIDS itu sangat kesepian memang sampai, tapi melalui kalimat-kalimat verbal Leo dan Bambang Nirwanto, sahabat setianya yang berprofesi sebagai jurnalis.
Upaya Nano memperkuat pentas melalui gerak-gerak imajis yang dibawakan sejumlah penari berpakaian hitam-hitam juga kurang berhasil. Yang patut dicatat dari pentas ini justru suasana minimalis di atas panggung yang tak biasanya kita temui dalam pentas Teater Koma. Gemerlap dekorasi, kostum, pencahayaan, dan musik yang biasanya menghiasi pertunjukan Teater Koma ditanggalkan. Ruang Teater Salihara dibiarkan minimalis, dengan beberapa kain putih panjang menggantung.
Properti yang digunakan sederhana saja dan cenderung seadanya malah, sehingga suasana kantor Leo yang seharusnya mewah, misalnya, tidak terhadirkan secara nyata. Itu juga terjadi dengan penggambaran kondisi rumah sakit yang tak meyakinkan. Soal kostum juga jadi problem di beberapa tokoh. Penampilan Leo tidak cukup memadai untuk eksekutif muda masa kini. Demikian pula dengan Bambang Nirwanto yang ke mana-mana selalu memakai rompi dan celana gunung untuk menggambarkan identitasnya sebagai wartawan.
Haris Firdaus
Gambar diambil dari sini
Semoga saja kita semua bisa terhindar dari penyakit yang satu ini, terlebih lagi dari kelakuan bergonta-ganti pasangan.
Belum nonton, padahal teman gue ikut main. Waktu itu pernah baca ulasannya di koran, Kompas kalau nggak salah. Saking “biasa”, N. Riantiarno nggak keberatan menyebut produksinya kali ini sebagai sinetron. :p
saya jadi inget sohib saya dulu, waria, namanya mbak yani. dia meninggal karena AIDS juga. *duh*
mbak yani ini dulu relawan dr pkbi diy
salam kenal,
dalam festival seni surabaya yang berlangsung di gedung cak durasim, saya juga dengar info ada teater koma mau pentas. sayang, saya keburu pulang sebelum sempat menikmati pentas teater yang bergizi itu.
semoga kita dijauhkan dari penyakit ini…budayakan setia pada pasangan…bagi saudara2 kita yang terkena semoga diberi kekuatan.ammmieennn..