Mimpi Manis Ikal dan Lintang
Setelah lomba yang mendebarkan itu, Lintang mengayuh sepeda bututnya ke rumah. Senyum tersungging di bibirnya, sementara tangan kanannya menggenggam piala. Ia baru saja membuat SD Muhammadiyah Gantong, tempatnya belajar selama ini, menang atas SD PN Timah dalam perlombaan cerdas cermat. Ia ingin memamerkan piala itu pada ayah dan dua adik perempuannya. Tapi sampai di rumah, berita duka menerpa: ayahnya belum pulang dari melaut, sementara dua adiknya dilanda cemas berkepanjangan.
Saat itu hari sudah gelap, dan Lintang meminta adik-adiknya masuk ke rumah. Dia kemudian duduk di tepi laut, memandangi ombak, dan berharap ayahnya datang dari tengah laut. Harapannya itu tak pernah tercapai. Lintang lalu mulai meratap, memanggil ayahnya, bertanya kabar, dan menyampaikan rasa rindunya. Ratapannya sendiri membentuk sebuah lagu sedih yang menyayat, membuat kita yang mendengarnya tahu bagaimana pedihnya kehilangan yang dialami Lintang.
Inilah salah satu cuplikan pentas Musikal Laskar Pelangi yang digelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada 17 Desember 2010-9 Januari 2011. Merupakan adaptasi dari film Laskar Pelangi (2008), pentas musikal itu disutradarai Riri Riza, yang juga menyutradarai film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi (2009). Mira Lesmana, partner Riri dalam dua film tersebut, menjadi penulis naskah dan pencipta lirik lagu. Bersama Toto Arto, Mira juga menjadi produser pentas ini. Jay Subiakto menggarap desain dan artistik, sementara musik dan komposisinya digarap oleh Erwin Gutawa.
Dengan sederet nama tenar itu, tidak aneh jika Musikal Laskar Pelangi akhirnya menjadi tontonan yang menghibur dan menyenangkan, terutama untuk segmen keluarga. Dari sisi cerita, sebenarnya pentas sekira 3 jam itu tidak berbeda jauh dari filmnya. Sangat banyak adegan dalam pertunjukan itu yang bisa kita rujuk ke filmnya, dan alur pentas ini juga tak berbeda jauh dengan film. Tentu tidak semua scene film dimasukkan dalam pentas. “Kita mengedit naskahnya dan memilih adegan-adegan yang bisa dipadukan dengan gerak dan musik,” kata Riri Riza.
Cerita tentang sepuluh anak yang tergabung dalam Laskar Pelangi sendiri merupakan kisah yang sudah dikenal di kalangan kelas menengah Indonesia. Selain karena filmnya yang laris manis, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang menjadi rujukan awal cerita ini, merupakan buku best seller yang diklaim dibaca lebih dari 5 juta orang. Sekadar mengingatkan, cerita Laskar Pelangi berpusat pada sepuluh anak miskin di Pulau Belitong yang terletak di lepas pantai Sumatra. Sepuluh anak ini bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong yang gedungnya reyot dan hampir rubuh. Mereka diajar dua guru berhati mulia, Bu Muslimah dan Pak Harfan.
Ikal, satu dari sepuluh anak Laskar Pelangi, bertindak sebagai narator dalam cerita—baik pada buku, film, maupun pentas musikal ini. Dalam interaksi dengan teman-temannya, Ikal sangat mengagumi Lintang yang pandai. Dalam novel Andrea, Lintang diperlihatkan sebagai sosok yang bukan hanya cerdas, tapi jenius. Saat ia SMP, misalnya, dia dikisahkan mampu menjelaskan teori warna Isaac Newton yang akrab disebut Cincin Newton dengan sangat detail. Ia juga diceritakan mampu menjelaskan apa hubungan teori itu dengan Aristoteles dan Descartes.
Di film dan pentas musikal ini, sosok Lintang tidak digambarkan sehebat itu, tapi pada pokoknya, dia adalah yang terpandai. Dia juga yang bertindak sebagai motivator utama bagi teman-temannya. Lintang lah yang membuat Ikal mau bermimpi setinggi langit, dan berjuang keras meraih mimpi itu. Kisah Laskar Pelangi memang sebuah fragmen ihwal orang-orang miskin yang mencoba mencapai mobilitas vertikal dengan bekal mimpi. Saat mimpi itu tercapai, kisah pun menjadi manis tapi pada saat yang bersamaan berjarak dengan kenyataan karena tak banyak orang miskin yang bernasib sama dengan Ikal dan sejumlah temannya.
Di buku dan film, kita tahu, Lintang yang pandai itu akhirnya gagal mencapai mobilitas vertikal. Ketika ayahnya meninggal, dia harus berhenti sekolah dan bekerja untuk menghidupi dua adiknya. Di bagian akhir novel Laskar Pelangi, Andrea mengisahkan Lintang yang jenius itu akhirnya menjadi sopir truk pasir. “Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi,” tulis Andrea. Kisah sedih ini sepenuhnya berbeda dengan yang tertuang dalam Musikal Laskar Pelangi. Di pentas itu, meski putus sekolah, Lintang diceritakan menjadi seorang pemilik perkebunan di Belitong.
Saat bertemu Ikal kembali setelah beberapa tahun terpisah, Lintang berpakaian rapi, gagah, dan menggandeng seorang bocah perempuan yang merupakan anaknya. Dia juga memiliki mobil, bukan hanya sopir. Cerita semacam ini membuat akhir cerita Musikal Laskar Pelangi terlampau manis, tapi tidak realistis. Apalagi, para buruh timah di Belitong dalam pentas itu dikisahkan berhasil merubah nasibnya, tak lagi menjadi sekadar kuli. Ini jelas terlampau optimis dan manis, tapi membuat cerita menjadi kehilangan konteks.
Di luar soal teks cerita itu, Musikal Laskar Pelangi merupakan pertunjukan yang menghibur. Kemampuan vokal dan akting para pemainnya tidak mengecewakan. Sebagian dari pemain ini adalah penyanyi profesional, termasuk sejumlah pemeran anak-anak. Iringan musik Erwin Gutawa Orchestra juga mampu membuat cerita menjadi hidup, mengikuti alur cerita yang kadang sedih kadang bahagia. Ada 20 lagu dalam pentas ini, semuanya lagu baru. Satu di antaranya yang menonjol adalah Jari-jari Cantik, lagu cinta yang dinyayikan Ikal saat jatuh cinta pada Aling.
Yang juga harus diapresiasi lebih adalah desain panggung dan tata artistik yang digarap Jay Subiakto. Jay menyajikan lanskap perbukitan Belitong dengan visualisasi yang seolah nyata. Dia membangun semacam bukit di atas panggung, dengan jalan yang turun naik, dan penuh ilalang tinggi. Jay juga memanfaatkan teknologi digital yang memanjakan mata.
Dalam sejumlah adegan, misalnya, ia menyelubungi bagian depan panggung dengan kain transparan. Saat Pak Harfan mengajar anak-anak Laskar Pelangi, kain transparan itu berfungsi sebagai papan tulis. Melalui proyeksi cahaya, kita seolah-olah melihat Pak Harfan menggambar di kain transparan itu. Di lain kesempatan, para pemain berada di balik kain putih seperti kelir dalam pertunjukan wayang, dan kita hanya melihat bayangan mereka yang hidup dan bergerak.
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
wah.. kacau.. ra ngajak2.. ak golek konco kit wingi..
aku nonton gladi resiknya ndik. utk pers dan keluarga pemain. wakakakak. gratisan, buat liputan. 😀
kan masih ada waktu sampai 9 januari. ha3.
lha po aku dudu pers? :))
lha kamu kan “pembantunya” pers, bukan pers itu sendiri. wakakaka. 😀
woo.. jabatan anyar po kui? pembantu pers.
ketenaran laskar pelangi makin lengkap sepertinya, mas haris. selain novelnya laris manis, sukses di layar lebar, musikalisasinya sepertinya juga menarik. sayang sekali, saya ndak bisa menyaksikan.
wah asyik ya bisa nonton langsung…. aku ja nonton filmnya dulu bagus banget
Tulisannya menarik, dan saya setuju pendapat Anda tentang
“Ini jelas terlampau optimis dan manis, tapi membuat cerita menjadi kehilangan konteks.”
Andrea Herata bukan penulis sembarangan, yang membuat cerita layaknya sinetron Indonesia, awal sengsara, tersenyum pada akhirnya. Jelas ini bukan gaya cerita Andrea Herata.
Matur nuwun, salam kenal…
The article is worth reading, I like it very much. I will keep your new articles.
kayaknya seru kalau nonton langsung…saya sejak 2009 tinggal di belitung,nyaman rasanya tinggal di pulau yang indah ini
Apa kesimpulan dari buku itu…??
Bagus sekali. Bisakah kita mendapatkan bukunya?
mantap nih