Salah Paham Zonder Lentera
Sebuah sepeda tanpa lentera bisa berakibat pada pergantian pemimpin. Itulah yang terjadi ketika Willem Tan dan Johan Liem pulang pada suatu malam setelah menonton pertandingan sepakbola. Dua pelajar itu naik sebuah sepeda zonder lentera alias tanpa lampu—sebuah perbuatan yang melanggar tata tertib lalu-lintas masa itu. Apesnya, di tengah jalan, keduanya bertemu seorang polisi bernama Kabalerang. Otomatis Johan dan Willem dihentikan Kabalerang. Mereka ditanya nama dan alamat.
“Nama kami Hong Hiang Ciu dan Cu Pek San. Kami tinggal di Rumah Obat Gwa Po Tong,” kata Willem. Ini adalah pembohongan yang telak sebenarnya. Dua nama yang disebut Willem adalah nama obat yang dijual di Gwa Po Tong, tapi Kabalerang yang gendut tak curiga. Belakangan, setelah melanjutkan perjalanan, Willem dan Johan kembali dicegat polisi bernama Misleid.
Lagi-lagi, Willem menyodorkan kebohongan: mereka berdua mengaku bernama He Wan Ca dan Fu Yong Hay dan tinggal di Restoran Sudi Mampir. Modus kebohongannya masih sama: dua nama itu adalah makanan yang dijual di Sudi Mampir. Dan lagi-lagi, Misleid yang tinggi itu tak menaruh curiga. Willem dan Johan pulang ke rumah dengan sentausa.
Kisah semacam itulah yang menjadi awalan pertunjukan Zonder Lentera atawa Hikajatnya Satoe Weijkmeester Rakoes yang dipentaskan Teater Bejana di Gedung Kesenian Jakarta, pada 9-10 Februari lalu. Daniel Hariman Jacob dan dan Veronica B. Vonny menggarap naskah pertunjukan ini, yang aslinya berasal dari novel berjudul sama karya Kwee Tek Hoay. Seperti pentas Teater Bejana sebelumnya, Daniel juga berperan sebagai sutradara. Pentas ini adalah produksi ke-10 Teater Bejana yang berdiri pada 2002.
Novel Zonder Lentera karya Kwee Tek Hoay terbit pada 1931 dengan setting cerita di Jakarta pada masa 1930-an. Dalam literatur sastra, novel ini dikelompokkan ke dalam Kesustraan Melayu Tionghoa, sebuah nama yang digunakan untuk menunjuk karya para pengarang keturunan Tionghoa di Indonesia yang terbit sejak penghujung abad 19 di Hindia Belanda. Karya-karya ini biasanya menggunakan bahasa Melayu rendah atau Melayu pasar, bahasa yang menjadi lingua franca antar-etnis di Hindia Belanda kala itu.
Meski sudah lebih dulu ada ketimbang karya sastra karangan pribumi, karya-karya Kesusatraan Melayu Tionghoa biasanya tidak dimasukkan sebagai bagian dari sastra Indonesia. Selama ini, pelajaran sejarah sastra Indonesia selalu menyebut masa Balai Pustaka sebagai tonggak awal sastra Indonesia. Akibatnya, karya Kesusastraan Melayu Tionghoa menjadi terlupakan. Nama-nama pengarang produktif keturunan Tionghoa, seperti Tjoe Bou San, Kwee Tek Hoay, Soe Lie Piet (ayah dari Soe Hoek Gie), dan lain sebagainya, juga tak dikenal.
Persoalan itulah yang antara lain membuat Teater Bejana memutuskan mengangkat karya Kwee Tek Hoay. Sebelum Zonder Lentera, Teater Bejana sudah mementaskan tiga karya Kwee, yakni Boenga Roos dari Tjikembang, Nonton Cap Go Meh, dan Pentjoeri Hati. Kwee sendiri merupakan seorang jurnalis, pedagang, penulis, sekaligus pemilik penerbitan, yang lahir pada 31 Juli 1886. Ia menulis sekitar 115 judul karya tulis, di mana 25 di antaranya merupakan karya sastra.
Daniel Hariman Jacob menyatakan, keputusan mementaskan karya-karya kwee Tek Hoay merupakan upaya untuk mengangkat kembali khazanah Kesusastraan Melayu Tionghoa. “Saat ini kami memilih mementaskan karya Kwee Tek Hoay dulu, meski nanti kami mungkin akan mementaskan karya pengarang Tionghoa lainnya,” ujarnya ketika ditemui GATRA seusai pementasan.
***
Pertunjukan Zonder Lentera dibuat dalam kerangka realis dan komedi. Bahasa yang dipakai dalam pentas ini adalah bahasa Melayu pasar, sesuai dengan novelnya. Kisah Zonder Lentera sebenarnya berpusat pada kehidupan seorang weijkmesster atau kepala kampung bernama Tan Tjo Lat. Tan seorang yang berperangai buruk: suka menggunakan kekerasan, sering main judi, mata keranjang, penjilat, dan seabrek atribut jelek lain.
Secara sangat kebetulan, kisah hidup Tan Tjo Lat tiba-tiba berkaitan dengan perilaku Johan Liem dan Willem Tan yang naik sepeda zonder lentera. Kebohongan yang dibuat Willem itu membuat serangkaian salah paham yang terjadi tak sengaja, dan ujung-ujungnya berakibat pada masalah bagi Tan. Awalnya adalah surat yang datang dari Kantor Komisaris Polisi untuk Tan Tjo Lat. Isinya meminta Tan membawa empat anak muda: Hong Hiang Ciu, Cu Pek San, He Wan Ca, dan Fu Yong Hay, ke hadapan Komisaris De Stiff.
Merasa tidak ada pelajar yang memiliki nama-nama itu, Tan menafsirkan bahwa De Stiff menginginkan makanan dan obat-obatan dengan empat nama itu. Tan mengutus anak buahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan tersebut ke kantor De Stiff. Ini justru berakibat buruk dan menyeret Tan ke masalah pelik yang sebenarnya tidak berkaitan dengannya. Pada akhirnya, Tan dicopot dari jabatannya sebagai weijkmesster dan kampungnya digambarkan kembali tenteram.
Ini logika cerita moralis biasa: yang jahat akan mendapat ganjaran. Ganjaran itu bisa datang entah dari mana dan kapan saja, bahkan dari suatu kejadian yang tak ada hubungan apapun dengan dia. Konstruksi kisah macam ini sebenarnya wajar muncul dari karya sastra Melayu Tionghoa yang bisa dikatakan sebagai sastra populer. Kebanyakan karya Kesusastraan Melayu Tionghoa dibuat sebagai alat hiburan bagi masyarakat, dengan sedikit sisipan himbauan moral.
Tapi, mencermati kisah ini juga segera timbul tanda tanya: kenapa pemerintahan kolonial Hindia Belanda—yang direpresentasikan dalam sosok De Stiff—tergambar begitu baik? Jawabannya ada pada satu kata: kompromi. Supaya bisa terbit, karya-karya keturunan Tionghoa memang tidak bisa menyisipkan cerita perlawanan pada pemerintah kolonial. Itulah kenapa Zonder Lentera tampak cenderung memuji pemerintah Hindia Belanda.
Yang juga patut dicatat adalah unsur komedi yang kurang dari pentas ini. Mendaku diri sebagai drama realis dan komedi, Zonder Lentera terlalu garing. Akting para pemainnya pun biasa-biasa. Kekuatan utama pentas ini justru ada pada alur kisah yang kuat dan tidak terduga. Secara umum, pentas ini biasa saja, meski upaya mengangkat karya sastra Melayu Tionghoa patut diberi apresiasi.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Saya harus membacanya dengan cermat biar nggak salah paham
izin singgah aja disini gan,
salam hangat….
tanda jaman emmang aneh ya?
Ass wr wb.., salam kenal selalu
Bang… saat usiaku berumur 51 th