Rengasdengklok dan Beban Sejarah
Di Rengasdengklok, di antara pasar yang becek, jalan-jalan sempit yang penuh lubang, dan orang-orang miskin yang mandi di sungai, saya tak kuasa menahan pertanyaan yang bisa jadi terdengar menggelikan: apa sebenarnya arti sejarah? Bagi orang-orang yang tiap hari tinggal di kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat itu, pertanyaan tersebut mungkin memang menggelikan, tapi bagi seorang “turis” seperti saya, pertanyaan itu tak pernah bisa terelakkan.
Rengasdengklok memang ditakdirkan tak bisa melepaskan diri dari sejarah. Semua orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan dasar hafal di luar kepala bahwa Rengasdengklok menyimpan satu keping sejarah yang, meski singkat, tapi dianggap penting. Bung Karno dan Bung Hatta diculik sejumlah pemuda, di antaranya adalah Soekarni, Wikana, dan Chairul Saleh, ke tempat itu pada dini hari 16 Agustus 1945, sekitar pukul 04.00.
Kita semua paham saat itu ada ketegangan tertentu antara Soekarno dan Mohammad Hatta dengan para pemuda yang tak sabar memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kita semua tahu bahwa para pemuda menginginkan kemerdekaan yang lebih cepat, dan tanpa melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dianggap sebagai lembaga buatan Jepang. Kita semua punya informasi tentang semua itu, tapi seberapa banyak dari kita yang mengenal Rengasdengklok?
Beberapa hari lalu, bersama tiga kawan, saya mengunjungi Rengasdengklok dengan sebuah tujuan yang cukup jelas: menyambangi rumah tempat Bung Karno dan Bung Hatta pernah diculik. Bahkan dalam perjalanan yang sebenarnya random itu, tanpa persiapan yang memadai, kami tahu bahwa kunjungan ke Rengasdengklok hanya punya arti satu hal: mengunjungi rumah penculikan itu. Kami sungguh tak punya tujuan lain, dan ini menunjukkan betapa kuatnya “nilai sejarah” Rengasdengklok bagi kelas menengah Indonesia seperti kami.
Tapi, begitu kami memasuki Rengasdengklok, dan menemui sejumlah kesulitan menemukan rumah penculikan itu, saya baru lamat-lamat menyadari: ada sebuah paradoks dalam hubungan antara Rengasdengklok dengan sejarahnya sendiri. Pada satu sisi, seperti saya sudah singgung, Rengasdengklok tak bisa melepaskan diri dari sejarah. Orang-orang Indonesia, kita semua ini, tak akan mau melakukan hal itu, mungkin karena mengangga sejarah itu terlalu berharga atau semata-mata tidak bisa melakukannya saja.
Dengan semua anggapan itu, saya membayangkan kami akan mudah menemukan rumah penculikan itu. Kami membayangkan orang-orang di Rengasdengklok pastilah tahu di mana tempat rumah itu, dan saya membayangkan mereka akan menjelaskan ihwal rumah itu pada kami dengan binar mata yang bercahaya karena bangga. Seolah-olah, saya membayangkan orang-orang Rengasdengklok ini akan menjadi pekerja public relation bagi situs bersejarah itu. Tapi akhirnya saya tahu: saya terlalu berlebihan. Kami cukup kesusahan menemukan rumah penculikan Soekarno dan Hatta dan jelas: tidak semua orang di Rengasdengklok menyadari keberadaan rumah itu.
Setelah mencari-cari dan bertanya beberapa kali, akhirnya kami memang menemukan rumah itu. Tapi, sialnya, saya bahkan harus membuka Google dulu untuk mendapatkan informasi lebih banyak soal rumah itu supaya pencarian kami lebih mudah. Saat membuka mesin pencari melalui ponsel, saya tiba-tiba menyadari paradoks itu: kenapa saya memilih bertanya pada mesin yang servernya saja saya tidak tahu tempatnya di mana, ketimbang sepenuhnya percaya pada orang-orang di sekitar saya, masyarakat Rengasdengklok, yang jelas-jelas saya lihat dan bisa saya raba?
Kenapa saya masih saja harus bergantung pada Google untuk mencari letak rumah penculikan itu ketika posisi saya sebenarnya hanya beberapa kilometer dari rumah itu? Faktanya, kami memang membutuhkan semacam patokan tempat yang lebih jelas namanya untuk bisa mengetahui di mana rumah itu. Dalam pencarian singkat saya di Google, sialnya, saja tak bisa menemukan alamat lengkap rumah itu. Saya hanya tahu bahwa rumah penculikan tersebut terletak sekitar 100 meter dari sebuah monumen yang namanya gagah sekali: Monumen Kebulatan Tekad.
Benar saja, ketika saya tahu bahwa rumah tersebut di dekat Monumen Kebulatan Tekad, kami lebih mudah menemukan rumah tersebut. Seorang ibu yang kami temui di tengah jalan menyuruh kami berjalan lurus terus, sampai bertemu dengan banyak orang jogging dan olahraga—saat itu memang Minggu pagi, waktu yang pas untuk orang berolahraga. Tak lama kemudian, kami menemukan keramaian itu: sebuah lapangan semen luas dengan beberapa bangunan yang belum rampung dan dipenuhi banyak sekali orang. Inilah bangunan Museum Rengasdengklok yang sampai sekarang belum jadi itu. Mulai dibangun 2009, entah kenapa, museum tersebut terbengkalai begitu saja.
Tak jauh dari situ, Monumen Kebulatan Tekad berada. Penanda utama monumen ini adalah sebuah patung berbentuk tangan terkepal. Tempat ini dulunya bekas marka pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di zaman Jepang. Sekira 100 meter dari situ, rumah penculikan Bung Karno dan Bung Hatta berada.
***
Sedikit kelihatan lebih bagus dari rumah-rumah sekitarnya, rumah penculikan Soekarno-Hatta itu terbuat dari kayu dengan cat dominan hijau. Secara administratif, rumah itu terletak di RT 1 RW 9 Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok. Di depan rumah ada sebuah warung kecil menjual makanan dan minuman ringan. Saat kami memasuki halaman rumah itu, seorang perempuan muda tampak ragu-ragu melihat kami. Ia kemudian memanggil seorang perempuan lain yang lebih tua dan perempuan terakhir inilah yang kemudian menyambut kami.
Mengaku bernama Iin, perempuan itu mengenalkan diri sebagai cucu Djiauw Kie Siong, sang pemilik rumah. Kie Siong adalah seorang keturunan Tionghoa yang berprofesi sebagai petani, peternak babi dan ayam, serta tukang eretan perahu di Sungai Citarum. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dia bisa dikatakan cukup kaya untuk ukuran zaman itu. Dia punya sejumlah sawah dan sebuah rumah yang besar di pinggir Sungai Citarum.
Syahdan, pada 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diculik sejumlah pemuda ke Rengasdengklok. Tujuan pertama mereka adalah markas PETA yang ada di kecamatan itu. Menurut Iin, Bung Karno dan rombongan tiba di daerah itu setelah menyeberangi Sungai Citarum menggunakan perahu. Begitu sampai, para pemuda lalu membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke markas PETA dan meminta diadakan pembicaraan di sana. Tapi Bung Karno menolak, karena—menurut Iin—markas PETA itu mudah diintip oleh mata-mata Jepang. Saat itulah Soekarno melihat rumah Kie Siong di wilayah itu dan memutuskan agar pembicaraan digelar di rumah tersebut.
Menurut Iin, rumah kakeknya itu dulu cukup besar. Ada pintu gerbang besar yang membatasi halaman luas rumah itu dengan wilayah luar. Pintu besar itu membuat rumah Kie Siong tak mudah dimata-matai. Halaman luas membuat semua anggota rombongan—yang menurut Iin berjumlah sekira 30 orang—bisa ditampung tanpa mengundang kecurigaan. Begitulah. Setelah keputusan diambil, sejumlah prajurit PETA mendatang rumah Kie Siong, mengatakan ada tamu penting, tapi sekaligus meminta Kie Siong mengungsi sementara bersama keluarganya.
Tak tahu-menahu atas hiruk-pikuk itu, Kie Siong menurut. Dia sama sekali tak mengenal Soekarno dan Hatta saat itu. Disuruh keluar dari rumahnya sendiri oleh para prajurit PETA, Kie Siong akhirnya mengungsi ke rumah anaknya tak jauh dari situ. Menurut Iin, para prajurit PETA datang ke rumah kakeknya sekitar sore hari pukul 16.00. Esok harinya, Kie Siong menemukan rumahnya sudah kosong. Para tamu itu pergi tanpa permisi. “Saat itulah kakek menemukan ayam-ayam di belakang rumah sudah disembelih oleh para tamu itu,” kata Iin sambil tersenyum.
Baru beberapa hari sesudah itu, Kie Siong tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa para tamu misterius di rumahnya. Pada 1957, rumah Kie Siong terkena luapan air Citarum sehingga terancam rusak. Oleh karena itu, ia lalu memutuskan memindahkan lokasi rumah tersebut ke tempat yang ada sekarang. Di lokasi baru itulah saya mengunjungi rumah ini. Memang tidak semua bagian rumah bisa dipindahkan, hanya ruangan inti saja. Ruang inti itu terdiri dari tiga bagian: ruang tamu di mana pembicaraan antara Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda dulu berlangsung serta dua kamar—masing-masing merupakan kamar tidur Soekarno dan Hatta.
Tidak semua benda di rumah itu masih asli. Sebagian besar barang di kamar yang dulu ditempati Soekarno, seperti ranjang, meja, dan kursi, sudah dipindahkan ke Museum Sri Baduga di Bandung. Sementara itu, perabotan di kamar Bung Hatta masih utuh. Kita juga bisa menemukan meja, cermin, dan bale-bale yang sama dengan saat peristiwa Rengasdengklok.
Rumah itu kini dikelola para cucu Kie Siong. Uniknya, rumah ini bisa dikatakan masih dihuni oleh para keturunan Kie Siong. Memang ruangan inti rumah tersebut, termasuk dua kamarnya, tidak ditinggali. Tapi di belakang ruangan inti itu, ada bangunan tempat sejumlah keturunan Kie Siong tinggal. Saya tidak masuk ke ruangan tinggal itu, tapi saya bisa melihat jelas itu adalah rumah yang hidup dengan sejumlah kamar. Bahkan ruangan inti rumah penculikan itu juga dipakai menyimpan sejumlah barang.
Saya menemukan tumpukan sedotan dalam jumlah banyak—keturunan Kie Siong yang tinggal di sini adalah penjual barang-barang plastik—di kamar Bung Hatta dan juga sebuah sepeda onthel. Ada sepeda motor di ruangan tengah, tempat dulu Bung Karno memutuskan masa depan Indonesia.
Yang membuat miris, rumah itu dikelola oleh keturunan Kie Siong hampir tanpa bantuan dari pemerintah sama sekali. Menurut Iin, pemerintah tidak memberi bantuan dana pada pewaris Kie Siong. Satu-satunya bantuan dari pemerintah diberikan pada 2006 untuk merenovasi atap rumah yang diberikan oleh Museum Kepurbakalaan Serang, Banten. Dengan situasi semacam ini, susah mengharapkan rumah bersejarah ini selalu dalam kondisi prima. Iin dan saudara-saudaranya bukanlah keluarga kaya.
Saya bertanya-tanya: bagaimana Iin dan para kerabatnya menganggap rumah warisan kakeknya ini? Sebagai sebuah beban atau karunia? Bukankah mereka harus mengeluarkan dana untuk perawatan rumah tua itu? Bukankah mereka harus siap direpotkan oleh pengunjung-pengunjung seperti kami yang bisa datang tiap waktu? Bukankah mereka harus rela rumah itu—yang bisa dikatakan masih sebagai tempat tinggal mereka—dimasuki dengan seenaknya oleh orang tak dikenal, lalu diambil gambarnya?
Secara umum, pertanyaan ini juga bisa diajukan pada warga Rengasdengklok yang kelihatannya secara umum bukanlah keluarga kaya. Bagaimana mereka yang kurang mampu ini memandang sejarah yang terselip di tempat mereka tinggal ini? Sebagai beban, atau berkah? Bukankah hidup sehari-hari mereka saja sudah berat sehingga buat apa mengurusi sejarah?
Saya tidak berani menanyakan hal ini langsung ke Iin. Saya hanya menebak-nebak: mungkin dia dan keluarganya memang terbebani menjaga rumah bersejarah itu. Mungkin kadang mereka jengah dengan pemerintah yang abai, atau sebal pada para pengunjung yang menjengkelkan. Itu pula yang mungkin membuat para pewaris Kie Siong itu sempat hendak menjual rumah tersebut dengan harga Rp. 2 miliar.
Tapi yang saya tahu, hingga sekarang keturunan Kie Siong ini masih menjaga rumah sejarah itu dengan cukup telaten dan masih mau melayani para pengunjung yang rewel semacam kami. Semangat berkorban mereka mungkin mirip kesediaan Kie Siong merelakan rumahnya dipinjam para pejuang kemerdekaan Indonesia dan keikhlasannya menerima ayam-ayamnya disembelih tanpa izin untuk makan Soekarno dan rombongannya. Sejarah memang selalu butuh martir.
Jakarta, 12 april 2011
Haris Firdaus
Ris, kalo rumah itu sudah dipindahkan di lokasi baru setelah banjir 1957, lalu lokasi aslinya sekarang jadi apa ris? BTW, nice article.
lokasi rumah yang asli ya cuma daratan aja. lokasinya dekat banget dg monumen kebulatan tekad katanya. walaupun aku sendiri nggak tahu lokasi persisnya di mana. terima kasih.
apa bukan karena kitanya yang turut membenai sesuatu itu menjadi sesuatu?!?!
Saya beberapa waktu lalu ke Rengasdengklok, mencari rumah bersejarah ini namun enggak ketemu, hanya ketemu sama tugunya saja..
lho kok sampai nggak bisa ketemu ya? kenapa? kan dekat antara monumen dengan rumahnya.
nice post
Oh begitukah kenyataannya? Saya sendiri belum pernah ke Rengasdengklok, dan sempat berafsu ke sana setelah membaca buku Her Suganda, eks-wartawan Kompas itu.
buku “Wisata Varis Pan Java” itu ya Paman? saya malah belum baca. jadi pengen baca setelah baca komenmu. 😀
rengasdengklok oh rengasdengklok…
12 April saya sekeluarga juga ke Monumen Kebulatan Tekad, tadinya mau ke rumah Mbah Kie Song. Cuma karena dah siang dan panasss, anak2 jadi batal ke sana. Ternyata Pak Haris juga ke tempat yg sama ya. Lam kenal Pak… tulisannya bagus dan inspiratif buat warga Karawang seperti saya…
hmm … ternyata ada Kie Siong yang tak sedikit pengorbanannya dalam upaya pencapaian proklamasi kemerdekaan RI. namanya hampir tak pernah dikenal dalam buku sejarah, ya?
Salam kenal semuanya. Wah… Nice post mas Haris. Beberapa minggu yg lalu, sy mengunjungi rumah bersejarah ini. Sy agak miris melihat keadaannya. Padahal di sanalah sejarah besar bergulir. Apalagi pernah ada kabar bhw rumah ini akan dijual.
Akhirnya, tgl 30 april nanti, sy berencana untuk pergi kesana bersama teman2 kampus. Smg dgn begini, jd lbh bnyk org yg mengetahui keberadaan tempat ini. Salam
rumah bersejarah itu menjadi simbol, sayangnya banyak bangunan sejarah di indonesia tidak disosialisasikan oleh warga sekitarnya sendiri. jadi ya beginilah, perlu cari2 di google. btw, monumen kebulatan tekad baru tahu. namanya gagah sekali.
sejarah memang semakin terpojokkan di pojokan sejarahnya sendiri!
*hmmm…ngelus dada!
Sejarah memang butuh martir, menurut pendapat saya revolusi awalnya memanggil jiwa romantik atau semua orang akan terseret menjadi romantik, seperti keluarga Kie Siong. Namun akhir cerita, para oppurtunislah yang berkuasa.
pembangunan monumen yg bru di mulai sktr thn 1997 atw 1998 yg akhrny terbengkalai sekian lama dan mulai d lanjutkan pembangunannya sekitar thn 2009
keren tulisanya …. izin share ya… kebetulan saya punya beberapa foto
silakan, silakan