Bersembunyi di 7-Eleven
Hari-hari ini, bila ada tempat nongkrong ABG yang selalu dibicarakan orang di Jakarta, pastilah tempat itu 7-Eleven. Convenience store yang pertama kali berdiri pada 1927 di Texas, Amerika Serikat, ini memang seolah-olah menjadi virus menular di Jakarta. Kehadirannya cepat dan mencolok. Seolah-olah, tanpa kita benar-benar sadar, gerai-gerai 7-Eleven sudah ada di mana-mana di Jakarta.
Pertama kali didirikan di daerah Bulungan, Jakarta Selatan, pada November 2009, gerai 7-Eleven menyebar cepat ke pelbagai daerah: Menteng, Sudirman, Tebet, Manggarai, Salemba, Kuningan, Pondok Indah, dan banyak tempat lainnya. Berdasar data gerai di situs resmi 7-Eleven Indonesia, sekarang sudah ada 29 gerai di Jakarta. Jumlah ini, saya kira, akan terus bertambah dengan cepat.
Sebenarnya, 7-Eleven pernah hadir di Indonesia pada 1980-an, namun kemudian tutup. Sejak 1998, penjajakan kerja sama untuk membuka kembali 7-Eleven sudah dilakukan. Partner yang didekati oleh Seven & I Holdings Co—pemilik 7-Eleven asal Jepang—pada saat itu adalah PT Modern International, distributor Fuji Film. Sayang, kerja sama itu batal dieksekusi karena adanya krisis ekonomi. Pada 2006, seiring dengan menurunnya penjualan film untuk kamera, PT Modern International mulai serius menjajaki kerja sama membuka 7-Eleven di Indonesia.
Setelah sempat terkendala beberapa persoalan, 7-Eleven akhirnya membuka gerai pertamanya di akhir 2009. Semenjak itu, jumlah gerainya meningkat pesat dalam waktu singkat. Yang membuat convenience store ini jadi fenomenal di Indonesia adalah jumlah pengunjungnya yang gila-gilaan. Dengan jam buka 24 jam 7 hari seminggu, kita hampir selalu menemukan gerai-gerai 7-Eleven dipenuhi anak-anak muda, terutama pada malam hari. Pada Sabtu malam, jumlah pengunjungnya akan membengkak dan waktu kunjungan para pembeli ini akan molor sampai pagi.
Seperti banyak disebut, 7-Eleven di Indonesia punya kecenderungan beda dengan gerai serupa di luar negeri. Bila di luar negeri gerai 7-Eleven berukuran kecil dan benar-benar merupakan convenience store alias toko kelontong, maka 7-Eleven di Indonesia lebih mirip resto. Orang-orang Indonesia datang ke 7-Eleven bukan untuk membeli sikat gigi, alat pencukur kumis, atau deterjen cuci, tapi untuk menikmati Slurpee, Big Gulp, atau menyantap Big Bite. Tidak sepert belanja di toko kelontong yang singkat, orang-orang datang ke 7-Eleven di Indonesia untuk nongkrong, menikmati jaringan Wi-Fi gratis, dan berbincang-bincang dengan teman, dalam waktu yang sangat panjang.
Yang juga menakjubkan dari gerai ini adalah minimnya promosi yang dikeluarkan pengelolanya. Kita tidak banyak melihat iklan-iklan 7-Eleven di Jakarta, termasuk di media massa—baik televisi, koran, majalah, maupun radio—namun hampir semua gerai 7-Eleven yang kita lewati selalu penuh. Barangkali, 7-Eleven memang tidak membutuhkan promosi klasik semacam itu. Sebab, dengan jumlah yang banyak dan berada di tempat-tempat strategis, gerai-gerai 7-Eleven itu seolah menjadi iklan untuk dirinya sendiri. Siapa yang tak tertarik dengan sebuah tempat terang penuh cahaya lampu, ramai oleh sepeda motor dan mobil, serta dipenuhi anak-anak muda gaul ibukota?
Anak-anak muda memang pangsa terbesar 7-Eleven karena banyak alasan. Harga makanan dan minuman yang murah, koneksi internet gratis, dan keleluasaan nongkrong berjam-jam—bukankah hal-hal semacam ini yang disukai anak muda? Segelas cappucino ukuran kecil di 7-Eleven bisa dibeli dengan Rp. 9.500, sementara itu berapa harga minuman serupa di Starbucks atau Coffe Bean, misalnya?
***
Meski tidak bisa lagi dikatakan terlalu muda, saya adalah salah satu penggemar nongkrong di 7-Eleven. Namun, berbeda dengan para ABG yang selalu datang berombongan, saya hampir selalu mampir di gerai ini sendirian. Entah kenapa, saya merasa sebenarnya 7-Eleven tidak terlampau nyaman untuk ngobrol dengan teman-teman. Tempat itu terlalu penuh ABG—dan itu artinya sama dengan sangat berisik. Saya merasa, tidak terlalu enak berbincang-bincang santai jika terlalu banyak orang di sekitar kita dengan suasana yang bising.
Seingat saya, saya hanya sekali mengunjungi 7-Eleven bersama beberapa kawan. Sesudah itu, saya selalu ke tempat itu sendirian. Berbeda dengan anak-anak muda lainnya, saya datang ke 7-Eleven memang bukan untuk bersosialisasi atau menggelar pertemuan. Saya datang ke 7-Eleven untuk satu tujuan: bersembunyi. Entah kenapa, di 7-Eleven, saya merasa menemukan sebuah liang persembunyian yang aman, di mana saya tak akan bisa ditemukan. Mungkin ini memang sebuah paradoks: saya merasa bisa bersembunyi bukan di tempat terpencil yang tak ada satupun manusia tahu, tapi justru di tengah keramaian yang hingar bingar.
Kadang-kadang, di keramaian, saya merasa bisa menghilang, ditelan keberadaan orang lain, dan saat itulah saya merasa menemukan tempat persembunyian. Tentu saja, tidak semua di tempat ramai saya bisa bersembunyi. Di tengah keriuhan pembukaan pameran seni rupa di Galeri Nasional atau Komunitas Salihara, misalnya, saya selalu merasa tak bisa sembunyi. Sebab, kemungkinan besar akan ada orang yang saya kenal sehingga akhirnya kami harus berbincang-bincang—selama setahun ini, saya termasuk sering meliput acara-acara kesenian di tempat-tempat itu sehingga cukup mengenal beberapa peminat kesenian.
Tentu saja bukan berarti saya individualis, tertutup, dan sedikit gila. Bagaimanapun saya seorang wartawan yang tugas utamanya adalah bertemu orang lain dan meliput keriuhan. Tapi saya kira, kadang-kadang, sebagian besar dari kita membutuhkan waktu sendirian yang tidak terganggu oleh urusan orang lain. Saya termasuk tipe yang membutuhkan “waktu sendiri” semacam itu. Dan, dalam rangka menemukan “waktu sendirian” semacam itu, kita butuh tempat persembunyian. Kamar kos memang bisa menjadi tempat persembunyian, tapi kadang saya merasa bosan ada di kamar sempit semacam itu. Saya ingin jalan-jalan, atau berada di keramaian di mana saya bisa sesuka hati melakukan keinginan saya.
Dalam konteks semacam itulah, saya menemukan 7-Eleven. Saya paling sering mengunjungi tempat itu pada malam hari, sendirian, sambil membawa sebuah buku yang ingin saya baca. Di sana, biasanya saya membeli segelas cappucino ukuran kecil, kadang-kadang Slurpee tapi tidak pernah Big Gulp, lalu mencari sebuah tempat di mana saya duduk. Kalau lapar, saya akan membeli makanan, mungkin Big Bite atau nasi plus ayam diiris-iris. Setelah itu, saya makan, minum, dan membaca. Berjam-jam seperti itu dan saya mengabaikan sebagian besar orang-orang di sekitar saya seperti mereka juga mengabaikan saya. Bukankah rasanya menyenangkan berada sesaat dalam dunia yang begitu cuek itu?
Yang saya syukuri dari kondisi di 7-Eleven adalah keberadaan para ABG yang hampir tak punya kesamaan dengan saya. Di antara mereka tidak ada yang datang sendirian ke 7-Eleven untuk membaca novel, misalnya. Dengan kondisi itu, saya hampir pasti tidak akan saling mengenal dengan mereka—dan inilah kondisi utama yang membuat 7-Eleven cocok menjadi tempat persembunyian saya.
Sepanjang beberapa bulan ini, saya sudah membaca sejumlah buku di 7-Eleven: Negara Kelima dan Rahasia Meede-nya Es Ito, Perahu Kertas-nya Dee, Tak Ada Santo dari Sirkus-nya Seno Joko Suyono, Manjali dan Cakrabirawa-nya Ayu Utami, Norwegian Wood dan Kafka on The Shore karangan Haruki Murakami, juga beberapa buku lain. Tentu saja, buku-buku itu tidak sepenuhnya saya baca di 7-Eleven, tapi saya menghabiskan berjam-jam di sana untuk membaca buku-buku itu.
Rasanya menyenangkan berada di suatu tempat ramai tanpa seorang pun yang kenal kita dan kita bisa membaca buku berjam-jam hampir tanpa gangguan, kecuali suara berisik yang, bagi saya, tak terlalu mengganggu konsentrasi membaca. Meski begitu, tidak selamanya hal ini berjalan lancar.
Beberapa malam lalu, misalnya, ketika tengah membaca Norwegian Wood-nya Murakami di 7-Eleven di daerah Pejaten, Jakarta Selatan, seseorang tiba-tiba memanggil saya. Waktu itu hampir tengah malam, dan orang yang memanggil itu adalah kawan sekantor saya. Bukannya saya merasa tidak suka bertemu dia, tapi saya merasa kurang nyaman ketika mengetahui bahwa tempat persembunyian saya ternyata ketahuan. Tempat aman itu tiba-tiba hilang dan saya seolah kepergok melakukan sesuatu yang salah.
Mungkin saya berlebihan, tapi setelah pertemuan itu, saya merasa tak lagi nyaman membaca dan akhirnya segera pergi dari 7-Eleven Pejaten. Kini, saya sedang berpikir, mungkin saya tak akan lagi mengunjungi 7-Eleven Pejaten karena khawatir hal yang sama terulang. Anda boleh saja menyebut saya lebay dan keterlaluan, tapi hal semacam itulah yang sungguh-sungguh saya pikirkan.
Untungnya, di 7-Eleven lainnya, saya selalu berhasil bersembunyi sampai bosan dan siap kembali ke kehidupan normal. Dengan kondisi ini, untuk sementara waktu, 7-Eleven mungkin masih akan jadi tempat persembunyian saya, sebuah liang di mana saya bisa menghilang di tengah keramaian anak-anak muda Jakarta.
Jakarta, 8 Mei 2011
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Kamu emang gaul banget, Ris! Hahaha.. Aku malah belum pernah ke sana. Sesekali siasatmu bersembunyi di sana utk menghabiskan buku, merenung, atau bahkan menulis rasanya perlu ditiru. Kayaknya memang kita kurang sekali tempat2 seperti ini ya? Selamat datang sekali lagi di Jakarta, kota absurd dengan segala tingkahnya!
Belum pernah? masak si? he2. bukan soal gaul atau nggak kok roy. ini soal bersembunyi. rasanya aku membutuhkan proses semacam itu, utk sejenak meninggalkan dunia sekeliling kita. dan justru karena 7 eleven adalah dunia asing, maka aku bisa betah di sana. 😀
wah lha kok saya belum ketemu denga itu sepen elepen!
Komen dikit aja ya mas.
1. Kalau itu menjadi tempat persembunyian, lha kok di kasih taukan ke orang-orang, ya kan jadi pada ngerti, kecuali kalau kamu telah menemukan tempat persembunyian yang baru.
2. Kalimat “Meski tidak bisa lagi dikatakan terlalu muda” membuat saya cuma bisa manggut-manggut. 😀
3. “Saya termasuk tipe yang membutuhkan “waktu sendiri” semacam itu” = “me time” istilah yang lagi trend untuk para pekerja sibuk ibukota yang minim waktu luang.
Sekian.
1. mengetahui bukan berarti sama dg menemukan bukan, hen? katakanlah kamu tahu tempat sembunyiku itu, tapi apakah kamu akan susah2 menemukan aku? he2. jadi, aku gak takut akan ditemukan meski pembaca blogku tahu tempat sembunyiku. he2. lagipula, jumlah 7-Eleven di Jakarta banyak kok, dan aku nggak nulis di mana aku paling sering nongkrong.
2. soal “tidak terlalu muda”, aku hanya bercanda. faktanya, aku masih muda. 😀
3. soal “me time”, frasa itu mungkin memang tepat utk mengganti “waktu sendiri”. trims sudah mengingatkan.
kalo 8-eleven???
hehehe 😀
Saya pernah bingung waktu pertama kali ketemu fenomena 7 eleven ini. Saya kira ada apa gituh rame-rame…ternyata tempat nongkrong. Pertanyaan saya, biasanya ABG idientik dengan “berisik”, “rame, “lebay” yang bikin kita sulit menyendiri di satu tempat dengan mereka. Apakah perilaku ABG yang nongkrong di 7 eleven ini gak yak gitu juga?
menurutku, ABG2 itu sangat cuek. kadang memang tingkahnya berlebihan, tapi baik2 saja meenurutku. sama sekali tidak mengganggu. justru menurutku di tengah mereka, saya bisa menghilang. ABG2 di 7-Eleven saya kira sama dg di tempat lain, tapi saya merasa biasa saja di antara mereka.
kapan ya 7eleven hadir di kota selain jakarta?
baru tau ternyata 7eleven pernah hadir tahun 80an di Indo.
btw, tren nongkrong hotspotan sambil beli swalayan emang lgi ngetren tahun ini, bisnis yg patut dibidik dan segera banyak pesaingnya hehehe
emang bagus sih seven eleven..tempat yang sangat diperlukan pada saat2 malam yang mana toko2 pada tutup dan keperluan yang mendadak dan emergency..saya sih udah nggak heran dg seven eleven.waktu saya bertugas di perwakilan di luar negeri saya selalu mengunjungi nya .tapi ukuran tempatnya kecil dan ada dimana2.ok selamat deh buat seven eleven
“Orang-orang Indonesia datang ke 7-Eleven bukan untuk membeli sikat gigi, alat pencukur kumis, atau deterjen cuci, tapi untuk menikmati Slurpee, Big Gulp, atau menyantap Big Bite. Tidak sepert belanja di toko kelontong yang singkat, orang-orang datang ke 7-Eleven di Indonesia untuk nongkrong, menikmati jaringan Wi-Fi gratis, dan berbincang-bincang dengan teman, dalam waktu yang sangat panjang.”
Iya soalnya kalo mau beli sikat gigi, sabun, odol dan kayak gitu mendingan ke indomaret dan alfamart aja, yang 24 jam juga ada kan, tapi kalo mau ngemil snack dan ngemil makanan panas mending ke 7-eleven ajah, enak kan tinggal di Indonesia, apa aja ada, kalo naik motor, trus haus atau mau beli rokok, melipir aja, di pinggir jalan pasti ada warung rokok, coba deh ke Singapura, beuuuuh ga ada tuh kayak begitu
Sevel juga cukup eksis di kalangan teman-temanku dan banyak di antara mereka yang sering kesana. Slurpee dan hot cappucinonya mantap! (y)
kocak baca tulisan mas Haris…
sama mas, aku juga kalo pengen sendirian larinya ke tempat rame yang kira2 g bakal ketemu orang yg kita kenal. tapi sayang g ada sevel di deket tempat tinggalku, paling enak lari ke gerai McD yang gede dan semacam kopitiam, makan es krim dan coret-coret notes…
Halo mbul! wah jakarta ternyata seperti itu ya. di kota besar air mancur sudah kehilangan pesonannya, keberadaan taman kota menjadi perlu dipertanyakan nih. Unik ! keren2 mas tulisannya.
mungkin karena iklim kita yang tropis dan lembab ya.. izin share mas 😉 nama rimba gersang, angkatan xv.