Nyanyi Dangkal Anak PKI
Dia menyaksikan ayahnya dijemput tentara bersenapan. Dia melihat bagaimana ibunya dikurung di penjara Kodim selama beberapa waktu. Dia juga melihat bagaimana pelan-pelan keluarganya hancur: rumahnya yang dulu merupakan pusat banyak kegiatan kini menjadi sepi, kakak-kakaknya harus pergi ke luar kota, dan dia sendiri harus tinggal bersama kakek-neneknya. Dia mungkin sudah kehilangan semuanya, tapi hidupnya terus berjalan. Dengan sangat sederhana dan dangkal.
Namanya Gitanyali, tapi dia lelaki. Dia anak bungsu dari seorang aktivis Partai Komunis Indonesia bernama Sutanto Singayuda. Setelah ayahnya “dijemput”—dan tentu saja tak pernah kembali—Gita terus hidup dengan cara membuat jarak. Dia membangun tembok dengan situasi hiruk-pikuk politik di sekitarnya dan berusaha hidup dalam imajinasinya sendiri. Maka, alih-alih berfokus pada nasib ayahnya, Gita senantiasa konsisten dengan hobinya: perempuan.
Gemar mengintip perempuan mandi sejak dini, lalu mengalami orgasme pertama pada saat masih SD, disusul kehilangan keperjakaan ketika SMP, hidup Gitanyali memang tak bisa dilepaskan dari perempuan dan seks. Kita bisa melupakan bahwa dia adalah anak PKI, tapi kita tidak bisa menyebut namanya tanpa membahas soal petualangannya berhubungan dengan begitu banyak perempuan.
Dituliskan dalam sebuah novel berjudul Blues Merbabu (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), cerita hidup Gitanyali memang akhirnya tak sama dengan kebanyakan anak-anak aktivis PKI lainnya. Penulis novel ini juga memakai nama samaran Gitanyali dan oleh karenanya kita boleh bercuriga bahwa Blues Merbabu adalah sebuah novel biografis yang sedikit banyak berbasiskan kisah nyata.
Pada dasarnya, Blues Merbabu adalah kisah tentang membuat jarak. Entah secara sadar atau tidak, Gitanyali telah membangun sebuah sekat yang memisahkannya dari masa lalu ayahnya. Dia memilih sebuah dunia baru, yang membuatnya bisa terlindungi secara aman dari tetek bengek PKI. Dia tumbuh menjadi anak kandung kebudayaan populer: belajar bahasa Inggris secara otodidak, menggemari musik dan film, dan kemudian merintis karier menjadi penulis. Selama itu pula, dia teguh menganut prinsip “hubungan bebas” dengan perempuan.
Dalam garis besar semacam ituah, kisah Gitanyali berbeda dengan cerita-cerita soal korban huru-hara 1965 lainnya. Dalam Blues Merbabu, kita tidak akan menemui ratapan, teriakan protes, atau kesedihan yang menyayat. Kita tidak menjumpai “kuliah” tentang PKI atau komunisme, atau tentang kondisi politik tahun-tahun 1965. Yang kita temui hanyalah seorang anak muda dengan kehidupan dangkal. Seorang anak muda yang ingin meninggalkan masa lalu, tanpa keinginan meratap. Anak muda yang menjalani hidup dengan ringan, arogan, dan riang.
Saya membaca cukup banyak ulasan soal buku ini, antara lain ditulis oleh Leila S Chudori di Majalah Tempo, Remy Silado di Harian Kompas, dan Antyo Rentjoko di blognya yang masyhur itu, Blogombal. Dalam ulasannya, Leila sempat menyebut kesederhanaan bahasa Blues Merbabu mirip dengan novel-novel Ashadi Siregar atau Marga T. Ini barangkali benar meski harus juga dikatakan: secara konseptual, Blues Merbabu berbeda cukup jauh dengan novel-novel populer Ashadi atau Marga T.
Tentu saja ada kesamaan dalam hal pelukisan hidup anak muda yang penuh pesta dan cinta, tapi dalam karya Gitanyali ini, kisah hidup yang dangkal itu agaknya dihadirkan secara sengaja sebagai sebuah pilihan sadar. Menjadi dangkal bagi tokoh-tokoh Marga T atau Ashadi Siregar selalu dilukiskan sebagai sesuatu yang terjadi karena “pengaruh lingkungan”. Tapi bagi Gitanyali, menjadi dangkal dan apolitis mungkin pilihan yang justru bersifat politis, karena hal itu disadari.
Dalam konteks ini, saya menemukan komentar menarik dari seorang pembaca Blues Merbabu di goodreads bahwa novel ini mengingatkannya pada Dengarlah Nyanyian Angin karya Haruki Murakami. Bagi saya, perbandingan ini sungguh menarik. Dengarlah Nyanyian Angin adalah kisah tentang anak-anak muda Jepang tahun 1960-1970-an yang mengalami benturan nilai tradisional dengan modern. Latar kisahnya mirip-mirip dengan Norwegian Wood yang juga karya Murakami.
Dalam Dengarlah Nyanyian Angin, kita juga akan bertemu sejumlah anak muda dangkal yang mengisi hidup dengan minum sake, mabuk, bercinta, ngobrol tak jelas, dan sebagainya. Yang membuat novel tipis ini menarik adalah pilihan Murakami menggambarkan hidup tokoh-tokohnya secara sangat realis, hampir-hampir tanpa drama berarti. Waktu membaca novel ini, saya merasa hanya mendapati serangkaian hidup sehari-hari yang tanpa konflik—dalam arti konvensional—juga tanpa klimaks atau antiklimaks. Dibaca denan cara baca biasa, novel ini membosankan, tapi dengan sedikit mengubah sudut pandang, Dengarlah Nyanyian Angin adalah buku yang luar biasa.
Lalu, tepatkah memperbandingkan Dengarlah Nyanyian Angin dengan Blues Merbabu? Tidak juga. Sebab, kualitas bahasa Murakami tentu saja jauh lebih baik dan khas ketimbang coretan Gitanyali dalam Blues Merbabu. Selain itu, dalam Blues Merbabu, Gitanyali juga kelewat sadar diri sebagai sosok yang dangkal. Ini mungkin ciri-ciri pembelajar posmodernisme yang kemudian memutuskan secara sadar menjadi dangkal tapi tak pernah berhasil. Selama kedangkalan adalah pilihan politis, maka dia akan tetap kelihatan berbeda dengan karakter banalitas yang lazim terjadi karena “efek lingkungan”.
Di luar soal-soal intrinsik novel itu, apa yang membetot perhatian saya adalah soal sosok riil si Gitanyali. Siapakah dia? Tentu saja, saya dan banyak orang lain tahu siapa dia. Dia wartawan juga pengamat seni dan gaya hidup. Dia sering menulis soal budaya massa, gaya hidup, dan posmodernisme. Dulu saya menyukai tulisan-tulisannya, tapi belakangan esai-esai reflektifnya yang terbit di koran tempatnya bekerja tak lagi memesona saya. Isinya melulu hanya pengulangan dari pandangan soal budaya massa. Oh ya, ngomong-ngomong, filsuf favoritnya adalah Jean Baudrillard yang teorinya soal hiperrealitas itu dianggap sangat kacau oleh para penantangnya.
Di Blogombal, Paman Tyo dengan menawan mengulas soal latar kota novel Blues Merbabu. Kesimpulannya satu: setting novel itu adalah Salatiga, sebuah kota kecil yang sejuk di Jawa Tengah. Yah, sampai di sini, kita semua tentu paham siapa sih Gitanyali ini. Tapi biarkan dia tetap memakai nama samaran itu, biarkan dia tetap bersembunyi dan membangun tembok, sembari kita tunggu novel berikutnya.
Jakarta, 28 Mei 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
Cerita ini mengingatkan tentang film PKI yang pernah saya tonton waktu kecil dulu,,,
gimana gitu..
persoalan2 kelam sekitar PKI ternyata masih saja menarik diangkat ke dalam sebuah teks novel. gitanyali, tokoh yang sebenarnya tak terlalu sulit ditebak, apalagi jelas settingnya, hiks.
Kisah PKI dari sisi lain.. Begitu natural..
Belum sempat membacanya, namun membaca dan memahami dari ulasan2 yang sudah ada.. nampaknya ini adalah sajian dari sisi yang berbeda suara kalbu yang mewakili suasana jaman itu..
jauh juga hubungannya antara anak PKI dengan gemar perempuan. jadi betul ulasan njenengan bahwa itu adalah nyanyi dangkal. barangkali itu hanya dijadikan sebuah sebab saja, dengan begitu diharapkan akan tambah menarik… 😀
ini rupanya yang dulu pernah disinggung paman tyo…
Saya belum membaca bukunya, tapi menurut uraian saudara ini merupakan buku dengan fenomena yang baik. Pendangkalan ideologi bisa jadi dialami siapa saja termasuk saya yang terlanjur kecewa dengan keadaan politik. Dulu Kakek=> P.S.I.I, bapak=> P.P.P, saya baru sekali ikut pemilu pilih=> P.K.S tapi ya kecewa juga. Entah bagaimana 2014 nanti? Who knows?
Benar-benar menyayat, seorang anak yang menjadi korban atas keganasan politik. Memang tak ada habisnya membahas tentang PKI jadi pengen baca novelnya setelah membaca ulasan singkat saudara.
Di mana bisa mendapatkan buku blues merbabu ini?