Filosofi Roti Dewi Lestari
Tiap kali membaca karya Dewi Lestari dan berjumpa dengan hubungan asmara yang begitu tulus dan murni, saya selalu punya bayangan nakal. Bagaimana seandainya bukan Dee yang menulis kisah-kisah itu tapi penulis lain yang lebih urakan dalam soal cinta? Apakah hasilnya akan lain? Barangkali iya.
Seandainya Perahu Kertas ditulis Ayu Utami, misalnya, bisa jadi kita akan melihat Kugy dan Keenan—dua protagonis dalam novel itu—akan bercinta habis-habisan sepanjang waktu. Dalam versi Ayu Utami, Keenan mungkin akan melukis Kugy dalam pose telanjang yang menggoda dan Kugy akan memasukkan tokoh pelacur dalam dongengnya. Akan ada adegan bercinta yang penuh teriakan di kos-kosan Keenan yang sempit dan pengap itu atau hal-hal yang lebih liar dari itu.
Dan, akhirnya, kita tidak akan hanya melihat sepasang mahasiswa yang dilanda “cinta murni” nan tulus, tapi juga ledakan birahi yang berapi-api. Tapi, Perahu Kertas ditulis Dewi Lestari, seorang penyanyi romantis yang mendalami spiritualitas, ibu dari dua anak, dan sebagai penulis, Dee tampaknya selalu punya ketertarikan pada “cinta murni” tanpa birahi.
Saya sudah membaca semua buku Dee, dan itulah kesimpulan sementara saya. Sosok paling urakan dalam soal seks yang saya temukan dalam karya-karya Dee adalah Diva, seorang pelacur kelas atas yang tampaknya lebih pandai berbicara Marxisme ketimbang bercinta. Ada satu bagian dalam buku Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang sangat saya sukai, yakni ketika Diva sudah berhadap-hadapan dengan kliennya tapi justru bercerita perihal teori perjuangan kelas dengan fasih.
Adegan itu, bagi saya, sangat lucu. Alih-alih berkisah dengan detail soal persenggamaan, Dee memberi waktu panjang pada Diva untuk bermonolog soal obsesinya menulis paper ihwal Karl Marx. Akhirnya, bagian ini bahkan berakhir tanpa persetubuhan karena sang pria tua akademis yang menjadi klien Diva ternyata tak bisa membangunkan burungnya. Lucu sekali. Pelacur yang menggemari Marxisme? Ayu Utami pasti tidak akan menciptakan karakter semacam itu kan?
Dalam seri Supernova yang belum selesai itu, Dee memang menciptakan tokoh-tokoh pelacur dan pasangan homo, tapi jangan harap menemukan adegan seks dengan dosis yang sama dengan karya-karya beberapa penulis perempuan lain. Inilah Dee: penulis yang tampaknya masih percaya pada “formula lama” perihal cinta yang tulus. Jika kemunculan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dinar Rahayu, misalnya, membuat kita berhadapan dengan konsepsi baru perihal hubungan percintaan, Dee membuat kita berbalik arah.
Kalau kita mengamati secara sekilas saja sejumlah karyanya yang berkisah soal cinta, kita sepenuhnya menjumpai formula klasik soal cinta: cinta yang tulus, bagaimanapun, akan mengalahkan segalanya. Tipikal paling baik dari formula ini tentu saja Perahu Kertas, sebuah novel krispi soal hubungan cinta dua mahasiswa yang berhasrat menjadi dirinya sendiri. Sangat klasik? Iya. Tapi, kekuatan Dee bukanlah pada “konsepsi baru” perihal cinta yang hendak ditawarkannya. Dee justru memukau karena dia berhasil membuat cerita bagus dengan formula yang sepenuhnya klasik.
Dalam Perahu Kertas dan sejumlah cerpennya yang terhimpun dalam Rectoverso, Dee sudah membuktikan hal itu. Kurang klasik apa sih kisah cinta Keenan-Kugy itu? Mari kita lihat tokoh protagonisnya. Seorang pelukis muda yang memilih melawan pilihan ayahnya dengan tetap melukis, dan seorang perempuan penulis dongeng yang berantakan penampilannya tapi berkepribadian luar biasa.
Mari membandingkannya dengan semua tokoh yang pernah diciptakan Ayu Utami—seorang pemanjat tebing yang bengal, seorang spiritualis berjari tangan dua belas, seorang pastur yang menolong gadis gila, dan lain-lain—dan kita akan melihat Keenan dan Kugy sebagai tokoh yang terlanjur tipikal dalam cerita cinta kebanyakan.
Namun, seringkali Dee juga memilih jalan lain. Dia akan berkisah tentang hal-hal yang sangat spesifik dan tidak semua orang tahu, dan tokoh-tokohnya adalah orang yang datang dari dunia spesifik itu. Inilah yang terjadi pada seri Supernova dan juga buku terbaru Dee yang dikasih judul Madre.
***
Selama sebulan belakangan, Madre telah menjadi perbincangan di Twitter—media sosial paling hip di Indonesia sekarang—terutama karena strategi promosi yang jitu dari Dee dan penerbitnya. Begitu banyak orang yang bahagia mendapat buku Madre dengan tanda tangan Dee dengan cara pre-order. Akan tetapi, dengan segala hormat, saya harus mengatakan bahwa Madre adalah buku Dee yang tergolong tidak saya sukai bersama dengan Filosofi Kopi.
Kenapa? Sebab, dua buku yang diklaim sebagai kumpulan cerita itu, tidak punya konsep kuat. Madre dan Filosofi Kopi tidak berisi cerita-cerita yang secara kualitas dan kuantitas seimbang bobotnya. Dalam dua kumpulan cerita itu, pasti selalu ada satu cerita yang mendominasi cerita yang lain. Dan dominasi itu terjadi dalam arti yang begitu nyata: satu cerita itu memakan halaman yang begitu banyak, sementara cerita lain hanya memakan dua atau tiga halaman.
Bagi saya, ini menyedihkan. Kenapa Dee mesti mengulang keputusannya mengumpulkan tulisan campur aduk dalam sebuah buku? Bukankah dia pernah menerbitkan Rectoverso, sebuah kumpulan cerita yang konsepnya sangat kuat?
Yang bikin saya tambah sedih, setelah membaca Madre, saya menjadi sangat yakin tidak semua tulisan dalam buku itu bahkan bisa disebut sebagai “cerita” yang utuh. Sebagian di antara isi buku itu, bagi saya, hanyalah semacam puisi dan curahan hati Dee. Dalam pembacaan saya, dari 13 tulisan dalam buku itu, hanya empat yang bisa dianggap sebagai sepenuhnya “cerita”, yakni “Madre”, “Have You Ever”, “Guruji”, dan “Menunggu Layang-layang”.
Yang mendominasi tentu saja adalah “Madre”. Sebagaimana saya bilang di atas, “Madre” ditulis Dee dengan menggunakan salah satu jurusnya yang paling tipikal: menulis dengan mengambil tema utama yang sangat spesifik dan tidak semua orang tahu. Tema utama “Madre” adalah soal roti. Garis besarnya: seorang pemuda bohemian tiba-tiba mendapat warisan sebuah adonan roti dari seorang Tionghoa yang tak dikenalnya. Tansen, laki-laki yang mendamba kebebasan itu, akhirnya harus terikat dengan adonan roti tersebut. Dia meninggalkan hidupnya yang serampangan di Bali dan memilih menetap di Jakarta demi membangun kembali toko roti “Tan de Bakker” yang secara tak terduga menjadi warisannya.
Kita menemukan begitu banyak detail perihal membuat roti dalam kisah “Madre” ini, tapi sebenarnya kita mengenali sebuah pola lama. Struktur cerita “Madre”, bisa dikatakan, benar-benar klasik. Cerita dimulai dengan sebuah kejutan yang mengganggu kehidupan Tansen. Dia ragu-ragu masuk ke dunia baru itu tapi akhirnya tak bisa mengelak. Namun setelah masuk, dia kembali ragu-ragu: apakah dunia baru itu harus mengubah hidupnya selamanya? Haruskah dia kembali pada hidup lamanya? Kita semua tahu jawabannya: Tansen tak akan kembali. Dia terikat dan menemukan kebahagiaan di dunia barunya itu.
Sampai di situ, masalah selesai. Dan Tansen akhirnya jatuh cinta dengan Mei, seorang perempuan cantik yang mewarisi toko roti super besar yang menjadi partner bisnisnya. Semua tantangan selesai dan kisah berakhir bahagia. Sangat Platonik dan tidak membekas panjang. Kita mungkin akan sangat menikmati membaca “Madre”, tapi kita bisa begitu saja melupakannya. Sebab, “Madre” tidak mengganggu kita dengan pertanyaan, tapi justru memperkuat harapan-harapan semu kita perihal cinta dan kehidupan.
Saya beranggapan, “Madre” sangat mirip dengan “Filosofi Kopi”: sama-sama bicara hal spesifik yang berkaitan dengan masak-memasak, sama-sama beralur simpel, dan tokoh utamanya menemukan kebahagiaan sejati di akhir kisah. Dari sisi buku, dua kumpulan kisah itu juga mirip: sama-sama mengumpulkan tulisan campur aduk menjadi satu sehingga terlalu sedikit yang bisa diharapkan dari dua buku tersebut.
Saking banyaknya kesamaan di antara keduanya, saya bahkan menganggap Madre harusnya diberi judul Filosofi Roti—sehingga menjadi semacam sekuel dari Filosofi Kopi. Okelah, saya mungkin pembaca yang kecewa. Tapi, setidaknya, saya tidak akan berhenti membaca Dee karena ini. Saya adalah salah satu pembaca fanatiknya dan tahun ini saya akan menagih buku lanjutan dari seri Supernova-nya. Semoga dia memenuhi janjinya.
Jakarta, 17 Juli 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
NB: baca juga wawancara imajiner saya dengan Dee di sini.
sepertinya menarik…
sejak mencoba membaca supernova 2, dan tidak bisa kuselesaikan. sepertinya aku gak tertarik lagi baca dee. tapi kupikir itu gak adil ya. kadang seseorang gagal di buku ke sekian, tapi ia akan kembali di buku kesekian… 😉
bener mas. aku selalu suka novel2 dee malah tapi dalam kumpulan cerita yang kayak gini ini aku berlainan pandang dengan banyak penggemarnya. hi3. bacalah supernova mas. bagus 😀
Hore! Akhirnya diulas juga roti, eh, buku terbaru Dee. Sudah kelar mengejar mafia sepertinya. :p
Hmm, yang gue rasakan setelah membaca Madre tidak jauh berbeda dengan lo. Yang paling terasa mengganggu adalah betapa campur aduknya tulisan-tulisan di dalam buku ini. Alih-alih mendapat suasana ‘baru’ saat berganti judul, gue malah terasa seperti sedang menonton televisi dengan orang yang seenak jidat menguasai remote control dengan mengganti-ganti saluran. Pusing. Selain soal teknis, faktor cerita dalam Madre juga gak terlampau kuat.
“Yang bikin saya tambah sedih, setelah membaca Madre, saya menjadi sangat yakin tidak semua tulisan dalam buku itu bahkan bisa disebut sebagai “cerita” yang utuh. Sebagian di antara isi buku itu, bagi saya, hanyalah semacam puisi dan curahan hati Dee.”
Sangat setuju. Meskipun di prolog Dee sudah ‘memberi peringatan’ bahwa beberapa tulisan di Madre pernah dimuat di blog, tapi gue tetap kecewa, karena tidak menyangka bahwa isi blog yang dimaksud benar-benar cerita personal yang memang lebih pantas digratiskan, tidak usah usah dibukukan, apalagi sampai dibanderol 50 ribu.
Selesai dengan Madre. Sekarang, gue malah penasaran, dan ikut berandai-andai, bagaimana jika seorang Ayu Utami yang menulis seluruh cerita cinta yang pernah ditulis oleh Dee. Sepertinya akan lebih berliku, sukar ditebak, dan jauh dari formula cinta klasik bin usang yang jadi modal utama Hans Christian Andersen. 😀
setuju dengan kalimatmu ini sar:
“Meskipun di prolog Dee sudah ‘memberi peringatan’ bahwa beberapa tulisan di Madre pernah dimuat di blog, tapi gue tetap kecewa, karena tidak menyangka bahwa isi blog yang dimaksud benar-benar cerita personal yang memang lebih pantas digratiskan, tidak usah usah dibukukan, apalagi sampai dibanderol 50 ribu.”
kalau mau membukukan sebuah cerita, harusnya memang yang utuh, ada kisahnya yang jelas, standar cerita pendek atau novelet lah. jangan curhat dibukukan. itu pula yang membuat aku sampai sekarang malas membaca buku Fahd Djibran yang isinya curhat sok pilosopis itu 😀
Tapi,banyak pula lho pembaca yang senang dengan buku tipe “curhat sok philosophis”. Ini cuma soal selera. Sekali lagi, ini cuma soal selera. *uhuk-uhuk*
kalau soal kualitas dalam seni semuanya dikembalikan ke soal “selera”, tentu tak ada yang namanya “kualitas” itu. seorang pembaca memang berhak suka pada karya apa saja, tapi seorang kritikus akan memberi argumentasi kenapa dia suka satu karya dan tidak suka karya lain. ini soal pertanggung jawaban juga lho 😀
Sepakat sama Haris. Kalau murni soal selera, dari awal saya tidak akan umembeli Madre dan membacanya sampai habis. Cukup bermodal pengalaman membaca Supernova. Bagus, tapi tidak membekas. Lagipula nggak kebayang kalau semua produk kreativitas ujung2nya dikembalikan pada “selera”. Bisa terbit buku “The Death of the Critic” nanti. :p
Wiw..ulasannya lengkap amat mas 😀
Kalo saya sih terus terang gak begitu suka dengan jenis buku seperti ini 😀
Bukan, bukan karena gak suka ceritanya, tapi gak mampu baca buku yang halamannya tebal 😆
Saya biasanya baca novel komedi yang cenderung lebih tipis dan ringan untuk dibaca 😀
Madre gak tebal2 amat kok mas. monggo lho coba dibaca. gak terlalu berat kok
Yup. Madre itu nggak seberapa tebal. Masih tebal buku Musashi atau Taiko. Bisa dibuat bantal, saking tebalnya :p
Mungkin Dee sedang ini mengganti gaya, atau mengubah mood. Kadang-kadang sebagai penuis amatir saya juga merasakannya kok. Mengganti pola penulisan jadi lebih ringan atau berat, ya enak juga. Cobalah. Pasti puas 😀
Dee tidak ganti gaya dalam Madre ini kok. masih sangat kerasa gaya Dee yang sama dengan Perahu Kertas. tapi memang beda jauh dengan Supernova. sejauh ini memang ada dua gaya yang dipakai bergantian oleh Dee. itu menurut saya saja sih. he2 😀
dari semua buku dee, aku masi cinta mati sama KPBJ dari supernova
Aku baru beli Madre tadi malam karena buku ini baru masuk Semarang beberapa hari yang lalu. Belum aku baca semua sih, intinya cerita yang dibuat Dee itu selalu menarik. Tapi tetap saja, buku yang paling aku jagokan itu adalah Perahu Kertas. Membacanya bikin aku serasa kembali lagi ke masa SMA.
aku sudah baca semua buku dee. bukan karena aku punya, tapi pinjam ke teman. yang paling kusuka adalah “Supernova: Petir” meskipun aku sedikit kecewa dengan akhir-akhirnya. “Madre” belum kubaca, tapi bakal kubaca (dengan pinjam ke teman).
menunggu supernova seri betikutnya
Waduh, saya belum membaca madre tapi membaca tulisan ini yang menuliskan kalau madre menyerupai filosofi kopi kok saya jadi tertarik. Terus terang, filosofi kopi saya suka, seperti saya menyukai pengarang telah mati – Sapardi. Buku itu menurut saya adalah puisi yang bercerita (narasi puisi). Intinya hanya soal selera he he. Karena ketika saya membaca perahu kertas rasanya seperti cerber. Ketika saya membaca recto verso rasanya saya membaca intisari dari tulisan-tulisan dee sebelumnya. Ya, mungkin ini hanya soal selera.
terima kasih, Hanni. kemiripan dengan Filosofi Kopi lebih ke struktur buku yang menurutku kurang kuat konsepnya. tapi Dee memang tipikal penulis semacam ini, yang merasa tidak terlalu masalah bila mengumpulkan tulisan2 yang sangat beda bentuk dan kualitasnya 😀
yg paling sy suka adalah rectoverso, baik dari segi tampilan maupun isi. tapi filosofi kopi juga memikat sy, mengenai madre, sy belum membacanya… sempat liat di pajang di toko buku tapi belum beli, he..
sya kasih saran ya… filosofi kopi dan madre gk bisa dibaca lyaknya novel biasa… cara paling pas menikmati dua buku itu adalah membaca secara acak 1 cerita, setiap hari (sya sendiri baca menjelang tidur, biar jdi film di alam mimpi klo bacanya kyk novel biasa pasti gak enak, krena rasanya beda2, kyk abis gosok gigi makan jeruk… enggak enak! tetep gw salut ama dee yg ideal, gk mw bikin karya asal2an… dikit2 bikin tulisan klo bagus dikumpulin meski butuh bertahun-tahun… gk kyk penulis kejar setoran yg ngikutin selera pasar…. bravoo dee…
pertama, saya kasih saran juga ya: Madre dan Filosofi Kopi itu bukan novel ya, tapi kumpulan cerita. he2. novel dan kumpulan cerita itu beda banget lho.
kedua, saran Anda itu sama sekali tidak menyelesaikan soal. cara baca memang bisa memengaruhi resepsi kita atas karya sastra, tapi cara baca yang anda sarankan itu teknis banget, dan tidak penting. mau dibaca menjelang tidur atau sehabis bangun, karya yang baik akan tetap baik 😀
gak sengaja nemu rumah mimpi saat sedang mencari-cari “madre” dan menemukan ulasan bagus mas haris tentangnya… rasa2nya apa yang ada di benak saya terwakilkan sudah.. hehe…
saya pecinta dee.. buku2nya.. lagu2nya.. blog nya.. semua saya lahap.. sedikit kecewa dengan “madre”?.. jujur sayah bilang “iyah”.. karena saya terpaksa harus kenyang melahap karya dee kali ini cukup dengan “sebuah roti”.. padahal terus terang saya masih lapar.. selain cerita tentang madre dan menunggu layang-layang.. cerita dee yang laen nyaris tidak saya baca… ada beberapa yang sudah saya hapal luar kepala karena isinya sudah dimuat di blog nya dee.. yang rajin saya kunjungi…
anyway… thanks to dee yang tetap menjadi dee.. mengisahkan bentuk cinta yang tidak urakan (ngutip kata2 mas haris).. cinta yang disuguhkan selalu cinta yang tulus.. cinta yang murni.. setiap kali membaca karya dee.. saya selalu berimajinasi menjadi tokoh utamanya.. hehe.. selalu tak sabar menunggu karya-karya dee selanjutnya..
thanks to mas haris.. ulasannya tentang madre.. top banget…!!!
aha, senang sekali saya menemukan sesama penggemar dee tapi tetap mau kritis. penggemar macam ini yang dibutuhkan. penggemar yang baik adalah yang jujur dan tidak taklid buta. he2.
soal cinta murni, mungkin kita beda pendapat. tapi tetap ada hal yang sama: dee memikat karena dia berhasil meracik cerita dari formula lama, yakni cinta murni nan tulus tadi, tidak seperti penulis lain yg harus mencari formula2 baru nan aneh untuk jadi cemerlang
terima kasih sudah berkunjung
Mantab gan….. keep post