Suatu Pagi di Bundaran HI
Remaja lelaki itu kelihatan sangat memelas. Saya tidak bisa mendengar perkataannya, namun melihat mimik wajahnya, saya tahu dia sedang berbicara tentang sesuatu yang sangat serius. Barangkali dia sedang meminta maaf pada perempuan yang duduk di hadapannya itu. Mereka mungkin sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Bisa jadi si cowok telah melakukan kesalahan dan pacarnya itu marah besar.
Di bawah siraman lampu kawasan Bundaran Hotel Indonesia, adegan itu tampak sangat romantis. Sang perempuan kelihatan benar-benar marah, sementara si lelaki tampak menyesal sungguh-sungguh. Saya tidak tahu siapa mereka. Kalau melihat dari tampilan fisiknya, mereka bisa jadi sepasang remaja jalanan yang biasa menghabiskan hidupnya di pelosok jalanan Jakarta.
Saat mengunjungi kawasan Bundaran Hotel Indonesia (BHI) beberapa malam lalu, pandangan saya tak bisa lepas dari pasangan itu. Soalnya, menurut saya, adegan tersebut benar-benar dramatis. Saya mungkin sedikit lebay karena kelelahan malam itu, tapi sungguh saya masih merasa bisa mengingat wajah lelaki yang duduk bersimpuh dengan gestur seolah-olah telah melakukan dosa paling khianat di dunia itu. Bahkan ketika hujan mulai turun di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, pasangan tersebut tak beranjak. Mereka tetap bertahan di dekat kolam yang mengelilingi Patung Selamat Datang.
Dari seberang jalan, di bawah pohon berukuran sedang di depan Hotel Indonesia yang saya jadikan tempat berteduh, saya masih melihat si lelaki memohon-mohon. Dan perempuan itu kelihatannya terus-menerus marah. Drama apakah ini sebenarnya? Saya meneguk capuccino murahan yang saya beli dari 7-Eleven Thamrin, melihat hujan terus turun, dan berharap kedua orang itu bisa segera mencari tempat teduh untuk menyelesaikan masalah mereka.
Beberapa menit kemudian, saat rintik hujan turun secara lebih cepat, sepasang kekasih itu akhirnya beranjak. Mereka menyeberang, berjalan ke arah daerah Kebon Kacang. Ketika hujan reda beberapa saat berselang dan saya kembali duduk-duduk di dekat kolam kawasan BHI, saya tak bisa lagi menemukan mereka.
Di samping saya saat itu hanya ada S dan K, dua kawan sekos saya. Di dekat kami duduk-duduk, segerembolan pengendara sepeda sedang nongkrong. Mereka membeli kopi seduh sachetan dari penjual kopi keliling yang segera saja mendekat ke kolam BHI saat tahu ada “konsentrasi massa”. Si ibu-ibu penjual kopi itu awalnya sendirian, tapi tak lama kemudian, dua kawan prianya datang mengendarai sepeda onthel. Ketiganya lalu membagi pangsa pasar yang tersedia dengan adil dan damai.
Malam makin larut. K mengeluarkan kamera SLR yang entah dia pinjam dari mana, lalu mulai memotret. Dia memotret banyak sekali. Memotret saya dan S—baik sendiri-sendiri maupun berdua—dengan banyak sudut pandang dan latar belakang. Kali lain dia mengajak S bereksperimen dengan cahaya. K mengeluarkan handphone-nya, mengaktifkan fitur senter, lalu meminta S memegangnya di dekat wajah, lalu K akan mulai memotret. Pemahaman saya soal fotografi hampir nol—saya hanya terbiasa memotret dengan kamera BlackBerry lalu kadang menyiarkannya di blog—sehingga saya tak terlampau memahami apa yang sedang teman-teman saya itu kerjakan.
Tiba-tiba saya merasa lelah. Saya mengeluarkan BlackBerry, check in di Foursquare, mengecek lini masa, dan menengok Facebook sebentar. Sembari meneguk kopi dan mengunyah jajanan ringan, saya akhirnya merampungkan semacam puisi buruk yang lalu saya posting di Poseterous. Sesudah itu, di saat S dan K masih terus saling potret, saya merebahkan diri di dekat kolam BHI.
Saya memandang Patung Selamat Datang dan mengingat Edhi Sunarso si penciptanya; melihat kolam yang mengelilingi patung itu dan tulisan “Awas Aliran Listrik” yang mengambang; lalu mendadak mengingat tulisan kawan saya, Zen Rahmat Sugito, yang menyinggung soal BHI. Kawasan BHI memang tempat yang menarik pada malam hari saat cuaca terang, dan itulah mungkin yang membuat sebuah komunitas blogger menjadikan tempat ini sebagai titik berkumpul untuk kopi darat rutin mereka. Para blogger itu bahkan mengadaptasi nama BHI untuk komunitas mereka.
Kepada S dan K, saya lamat-lamat bercerita tentang Bar Wayang di Hotel Indonesia yang disinggung Christhoper Koch dalam novelnya yang luar biasa, The Year of Living Dangerously. Ini novel yang bercerita perihal sekelompok wartawan asing yang meliput di Indonesia pada pertengahan 1960-an, menjelang Gerakan 30 September. The Year of Living Dangerously, yang juga sudah dibuat versi filmnya, banyak menceritakan soal kawasan BHI.
Koch menyebut pada kala itu di sekitar Hotel Indonesia banyak sekali pengemis dan tukang becak. Mereka, tentu saja, hanya bisa berada dalam radius tertentu dari Hotel Indonesia, sebab para penjaga keamanan hotel akan menghalau mereka. Hotel Indonesia memang harus steril dari pengemis, sebab tempat itu bukan hanya penginapan tapi juga sebuah simbol. Hotel itu, pada 1960-an, adalah semacam representasi pertama ihwal Indonesia bagi orang-orang asing. Itulah kenapa ada Patung Selamat Datang di depan hotel tersebut.
Saat malam mulai berganti pagi, K mengawali curhatannya tentang perempuan, Solo, dan asinan. Saya dan S mendengarkan, sambil sesekali tertawa. Tiba-tiba sudah hampir pukul 2 dini hari. Kawasan BHI telah sepi. Kami berjalan ke 7-Eleven Thamrin, di mana sepeda motor kami terparkir, dan melihat para berondong lelaki yang melambai masih saja bercakap-cakap dengan gemulai. Tidak seperti mereka yang terus bergunjing pada dini hari itu, saya, S, dan K akhirnya pulang. Esok harinya, K harus pulang ke Solo membawa asinan.
Jakarta, 29 Juli 2011
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
sebuah feature yang mantab dan mencerahkan, sekaligus humanis, mas haris.
terima kasih, Pak. hanya catatan personal yang tanpa fokus 😀
Selalu senang membaca catatan personal mas haris, terutama tentang rekam jejaknya di jakarta. Seolah-olah indera yang dimiliki benar-benar dimanfaatkan optimal untuk mengamati kondisi sekitar, sehingga diskripsi penuturannya kuat. Setelah sebelumnya membius saya dengan ”bersembuhnyi di 7-eleven”, kini hadir lagi cerita tentang jakarta lainnya disini. Mampu mengubah mindset saya yang cenderung menjustifikasi jakarta hanya berkutat pada macet, polusi, dan kriminalitas. Saya menaruh harapan, semoga buku ketiga mas haris selanjutnya bercerita tentang jakarta. Selayak ‘jakarta undercover’ ala haris firdaus.
ha3. terima kasih, Bimo. mengamati sekitar dengan detail itu modal pertama blogger 😀
dan, btw, jakarta banyak menyimpan sisi romantis kok meski tetap panas, macet, dan polusi 😀
catatannya sangat menggugah mas. salam kenal
Saya kira tadi akan melanjutkan menelusuri pasangan yg dianggap berantem itu. Tapi, malah mengamati keselurahan.
Lengkap dan mantap. 😀
Sama seperti Mas Sindhu, tadinya saya pikir akan ada kelanjutan tentang kisah pasangan yang sedang berantem itu, ternyata tidak. Walaupun Mas Haris bilang ini tulisan yang tanpa fokus, tapi tetap sangat menarik untuk dibaca.
Bunderan HI..setengah dekade perjalanan hidupku ku lalui disana..kontrasnya sisi kota Jakarta bisa kita lihat di BHI,gerai penjual kopi elit semacam ‘Starbucks’ bersisian dengan penjual kopi pinggir jalan menjajakan kopi…
gw suka banget sama artikel ini…
Suatu ketika saya mendapat tugas liputan di pasar tanah abang tapi tidak sengaja (belum tahu jalan) masuk ke area bundaran HI. Saya tanya polisi. “Mas mutar di Senayan baru balik ke sini lagi”. Setelah sekarang lumayan hafal jalan Jakarta, betapa begonya saya waktu itu 😀
what? muter senayan dulu? edan tuh yang ngasih tau :))