Di Bawah Lindungan Iklan
Dengan bujet yang konon mencapai Rp. 25 milyar dan bahan dasar kisah yang berasal dari novel klasik karya Buya Hamka, Film Di Bawah Lindungan Ka’bah harusnya bisa menjadi karya yang sedikit mengesankan. Sutradara Hanny R. Saputra seharusnya bisa memanfaatkan dua keuntungan besar itu untuk melakukan banyak hal: membuat skenario yang bagus, memilih pemain yang baik, dan kemudian menghasilkan film yang bermutu.
Sebagai pengagum novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, saya termasuk orang yang heboh sendiri ketika film ini sudah tayang di bioskop. Sejak lama saya memasukkan film ini ke “daftar film yang harus ditonton secepatnya”. Tapi, setelah menontonnya, saya justru menyesal dan mengeluarkan film produksi MD Pictures ini dari daftar yang saya buat. Tidak ada hal yang bisa saya katakan lagi mengenai film ini kecuali satu kata: mengecewakan.
Dulu, saya pernah menulis esai singkat perihal dua novel Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, dan mengambil kesimpulan yang menarik: Hamka menyajikan cara pandang yang berbeda dengan sastrawan-sastrawan Islam sesudahnya mengenai cinta. Sepanjang pembacaan saya atas dua novel itu, Hamka menyajikan cinta secara sangat melankolis, mendayu-dayu, sangat emosional. Ini sangat berbeda dengan gambaran cinta dalam novel-novel Habiburahman El Shirazy atau “penulis Islam” lain yang terafiliasi dalam Forum Lingkar Pena.
Dalam karya-karya Habiburahman dan “penulis Islam” yang seangkatan dengan dia, cinta hadir secara terukur, penuh kalkulasi, dan agak eksak. Ini tidak lain disebabkan karena Habiburahman membungkus—juga membatasi—logika cinta dengan syariat agama. Sementara, Hamka memilih cara lain dalam mengungkapkan cinta. Islam tidak pernah dijadikan alat membatasi cinta oleh Hamka, tapi justru sebagai pendukung.
Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, kita justru menemui hal menarik: saat cinta Hamid dan Zainab tidak bisa disatukan di dunia, sepasang kekasih itu justru membuat keyakinan naif bahwa cinta mereka akan disatukan di akherat. Di sini, agama menjadi pendukung. Agama tidak pernah dihadap-hadapkan dengan cinta. (Saya tidak mau berpanjang lebar dengan topik ini dan sebaiknya Anda membaca esai saya yang dimaksud untuk mengenali argumentasi saya lebih jauh).
Dari pemikiran soal representasi cinta yang berbeda itulah, saya berharap akan mendapat hal yang sama dari film Di Bawah Lindungan Ka’bah. Saya berharap film ini mampu menjadi dokumentasi sosial kondisi Sumatra Barat tahun 1920-an dan bagaimana sepasang kekasih mesti menghadapi kungkungan norma sosial masyarakatnya.
Nyatanya, saya salah. Omongan ibunda Hamid dalam film ini benar: “Makin tinggi harapan, makin sakit jatuhnya.” Saya merasa sakit ketika menonton film ini dan sama sekali tidak mengenali jejak Hamka di sana. Akhirnya, film ini bahkan berakhir seperti film-film Hanny R. Saputra lainnya: melow tapi jelek, penuh cinta tapi justru membuat kita benci.
Secara singkat, Di Bawah Lindungan Ka’bah bercerita soal cinta tak sampai Hamid (Herjunot Ali) dengan Zainab (Laudya Cynthia Bella). Hamid adalah anak seorang janda miskin yang bekerja pada keluarga Zainab. Atas kebaikan ayah Zainab (Didi Petet), Hamid bisa sekolah cukup tinggi hingga mampu menjadi guru ngaji di kampungnya. Masalah lalu muncul ketika Hamid jatuh hati pada Zainab dan demikian pula sebaliknya. Strata sosial keduanya, juga kondisi sosial kala itu, tak memungkinkan cinta mereka bersatu.
Para pembuat film ini menambah sejumlah konflik baru yang tak ada dalam novel. Tapi, alih-alih memperkaya, penambahan ini justru merusak. Konflik utama film ini, yakni ketika Hamid diusir dari kampung gara-gara memberikan nafas buatan dari mulut ke mulut pada Zainab yang tenggelam ke sungai, adalah konflik berkualitas buruk. Pasalnya, kita tak bisa percaya Hamid yang hidup di desa pada 1920-an sudah mengetahui teknik nafas buatan tersebut.
Yang juga janggal adalah ketika Hamid diusir dari kampung dan kemudian bekerja di stasiun. Kita tak mendapat gambaran sejauh apa stasiun dengan kampung Hamid, tapi sejumlah adegan menunjukkan stasiun ini adalah penghubung kampung tersebut dengan dunia luar. Artinya, jarak stasiun dengan kampung tersebut tak terlampau jauh sehingga tak ada alasan untuk berlebay-lebay bahwa Hamid dan Zainab telah terpisahkan jarak sangat jauh.
Masalah lain adalah kualitas akting Herjunot Ali dan Laudya Cynthia Bella yang tak terlampau bagus. Naskah film ini banyak menyajikan adegan-adegan melow yang dramatis sehingga dibutuhkan pemain yang matang untuk melakoninya. Bila tidak, seperti terjadi dalam film ini, hasil adegan-adegan tersebut pastilah lebay.
Selain itu, masalah utama film ini adalah masuknya iklan sejumlah produk yang sangat telanjang, keterlaluan, dan bahkan menuju vandalisme. Gery Chocolatos, Baygon, dan Kacang Garuda adalah tiga produk yang hadir secara sangat keterlaluan dan tidak memperhitungkan konteks sama sekali. Di banyak resensi membahas film ini yang beredar di internet, sudah banyak yang mengecam masuknya iklan di film ini.
Bagi saya, masuknya iklan-iklan dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah telah sangat keterlaluan sehingga dengan sinis harus dikatakan: judul film ini sebaiknya diganti menjadi Di Bawah Lindungan Iklan.
Sukoharjo, 31 Agustus 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
wow review yang sangat jujur sekali… mmmm…. sudah lamaaaa sekali nggak nonton pilem Indonesia sih… maaf…
dibawah lindungan iklan ya hehehe. jadi pengen nonton filmnya.
nice post
entah apa komentar HAMKA bila menonton film semacam ini.
iya betul mas sepakat,
kemarin waktu nonton film ini bukannya rasa haru mendayu-dayu yang muncul, eh malah gak kuat nahan tawa..
dan IKLAN yg muncul pun, bener-bener gak nguatin banget. >_<
wah bersyukur dirimu dah nulisin resensi kritisnya ris, jd gak perlu nonton kalo ujung2nya jg mesuh2 kecewa.mendingan waktunya dialokasikan bwt nonton film yg lebih bermutu.nuwun yo mbul
Matur nuwun tulisannya, Mas. Saya yang belum nonton filmnya jadi nggak pengen “jatuh” karena berharap terlalu tinggi.
Soal iklan yang berseliweran di film, makin ke sini memang makin banyak. Saya ingat yang Garuda di Dadaku itu juga adegan keramas dengan sampo Lifebuo* juga lamaaaa banget. 😀
hehe…sepakat banget Ris. memang nganyelke banget filmnya. saya juga terlalu tinggi berharap sama ni film. terlebih saya berharap ni film bisa membuka memori saya dengan kampung halaman yang udah belasan tahun gak tak tengok. berharap ada pemandangan khas kampung nan jauh di mato, logat minang yang makin jarang saya denger selama di solo, ah ternyato…
emang secara mata memandang dan telinga mendengar,,,jadi rada kecewa menonton film ini,,tapi kalau hati kita punya kisah yang hampir sama dengan kisah difilm ini,,pasti terenyuh
saya salut sama mas haris, analisanya luar biasa.
jadi pengen belajar.