Ramadhan di Jakarta
Salah satu cobaan paling berat menjalankan puasa Ramadhan di Jakarta adalah terjebak di mall saat waktu berbuka puasa tanpa mendapat kepastian tempat berbuka. Ini sangat berbahaya, karena kita harus bersaing dengan ratusan orang untuk berburu makanan berbuka. Selama Ramadhan tahun ini, saya mengalami peristiwa semacam itu beberapa kali sehingga tahu bagaimana susahnya berbuka di mall-mall Jakarta yang super padat tersebut.
Yang paling naas adalah ketika saya harus meliput sebuah acara di Atrium Senen, beberapa waktu lampau. Acaranya dimulai pukul 16.00, dan selesai sekitar pukul 17.30. Sesudah acara kelar, saya masih harus melakukan wawancara dengan beberapa narasumber. Saat Adzan Magrib berkumandang di Plaza Atrium Senen, saya baru saja melangkahkan kaki keluar dari arena acara. Karena penyelenggara tak menyediakan makanan buka puasa, maka saya berkeliling untuk mencari tempat berbuka puasa.
Malangnya, semua gerai makanan di sana ternyata penuh. Sebut saja semua restoran yang pernah Anda temui di Plaza Atrium Senen, dan saya dengan yakin akan mengatakan semuanya penuh. Di sejumlah tempat, semisal Hoka Hoka Bento, Es Teller 77, dan beberapa lainnya, para pengunjung bahkan harus antre dalam deretan yang panjang. Saya berkeliling dari lantai ke lantai, naik eskalator berkali-kali, hingga ke lantai 5 yang isinya para penjual handphone, tapi tak bisa menemukan restoran atau gerai junk food yang masih menyisakan tempat duduk.
Ini sangat mengesalkan. Waktu itu tanggal 17 Agustus, dan pagi sampai siang harinya saya meliput upacara kemerdekaan di Istana Merdeka. Badan saya lemas. Perut saya keroncongan dan tak setetes minuman pun, atau sepotong roti pun, yang ada di tas saya. Pemandangan orang-orang yang berjejal-jejal di mana-mana membuat kepala saya tambah pening. Akhirnya, dalam kondisi belum buka puasa, saya mencari mushola.
Sialnya, saya justru masuk ke lift yang salah sehingga saya malah turun ke lantai dasar—sementara mushola ada di lantai 3. Namun, di lantai dasar inilah saya justru punya kesempatan untuk berbuka puasa. Tidak masuk ke salah satu gerai makanan, tapi hanya membeli minuman kemasan di sebuah konter. Malangnya, yang saya beli adalah semacam kopi dingin yang dibungkus karton sehingga perut saya yang kosong jadi bergolak sesudah meminumnya. Benar-benar menyebalkan.
Akhirnya saya memutuskan kembali ke lantai 3, menuju mushola. Sesudah insiden antre untuk mengambil air wudlu dalam waktu lama, saya akhirnya melaksanakan sholat Magrib. Sesudah itu, saya turun sampai lantai dasar, dan melihat papan food mart—semacam food court mungkin—di lantai lower ground. Food mart ini kecil, terdiri dari empat penjual makanan saja: bakso, nasi uduk, makanan Jepang dengan merek tak jelas, dan pelbagai macam roti. Kursi-kursi dan meja untuk makan terletak di sudut-sudut sempit yang persis berada di bawah tangga.
Saya memesan bakso semangkok dan membeli teh kemasan karton. Sambil makan, saya memerhatikan sekeliling. Kondisinya sedikit kacau dan tampaknya banyak peran yang dijalankan secara agak random. Si kasir di food mart ini adalah seorang bapak gendut yang memakai seragam koki. Tampaknya, dia sebenarnya seorang pembuat roti dan bagaimana dia sampai menjalankan peran kasir, saya kurang tahu. Lucu sekali, tapi mau bagaimana lagi.
Pengalaman terjebak lainnya adalah di Pondok Gede Plaza, hanya beberapa hari sebelum saya pulang kampung. Bersama dua kawan kuliah, saya janjian bertemu di Gokana Ramen di mall itu. Saat sampai di sana pada pukul 17.00, antrean sudah menggila. Akhirnya kami harus antre untuk mendapatkan meja. Lama sekali. Bahkan ketika Adzan Magrib sudah menggema, kami belum juga mendapat meja. Untung pengelola restoran menyiapkan lemon tea hangat dalam gelas kecil untuk dibagi-bagi ke pengunjung yang belum mendapatkan meja.
Seperti mall-mall lain, Pondok Gede Plaza waktu itu sangat ramai. Di sebuah gerai junk food dengan menu andalam ayam goreng, orang-orang harus antre dalam segala hal: sejak saat memesan makanan, mendapat meja, sampai antre untuk mencuci tangan. Di luar gerai, beberapa orang bahkan rela menggelar tikar dan duduk lesehan menikmati buka puasa. Sungguh mengharukan.
Lain waktu, di food court Plaza Semanggi, saya bertemu dengan banyak pasangan muda yang tak mendapat meja untuk berbuka puasa. Setelah memesan makanan, mereka akan kebingungan mencari tempat duduk, berkeliling ke segala arah, sampai kemudian menemukan keputusasaan: semua tempat duduk sudah penuh, dan mungkin mereka harus makan ayam goreng sambil berdiri di dekat eskalator.
***
Selama 23 hari Ramadhan di Jakarta, waktu berbuka puasa saya terbagi ke beberapa tempat: di kantor, di tempat liputan, di mall, dan di kos. Yang paling banyak adalah di kantor sebab pekerjaan saya memang menyita banyak waktu. Yang paling jarang adalah di kos. Saya mungkin terlalu suka keluyuran sehingga sangat jarang berbuka puasa di kos. Seingat saya, saya hanya satu kali buka puasa di kos.
Waktu itu hari Minggu, dan saya tidak mendapat teman untuk berbuka puasa. Sore itu saya sangat malas pergi terlalu jauh, sehingga akhirnya saya keluar kos sebentar untuk membeli segelas kolak dan beberapa biji gorengan. Kemudian, saya pulang ke kos. Saat adzan tiba, saya minum kolak dan makan gorengan di lantai kos saya yang dingin. Sendirian dengan suasana semacam itu, tiba-tiba saya merasakan sebentuk ketentraman, sebuah rasa tenang yang justru tak saya temui kalau berbuka puasa di mall atau saat memenuhi undangan buka puasa.
Saya agak kaget dengan ketenangan yang saya dapat waktu itu, sebab seperti banyak orang Indonesia lainnya, saya beranggapan buka puasa bukan hanya peristiwa keagamaan, tapi juga peristiwa sosial. Sebagai peristiwa sosial, buka puasa di Indonesia hampir selalu dirayakan dengan berbagai acara: dari pertemuan teman sekantor, reuni teman-teman lama, sampai pesta-pesta. Karenanya, sangat jarang ada orang yang rela menghabiskan waktu buka puasa dengan termenung sendirian di sebuah kamar sempit, memakan makanan sederhana.
Tapi saat buka puasa bersama sudah menjadi terlalu sering dan hari-hari Ramadhan kita terlalu berisik dengan suasana mall, barangkali kita membutuhkan rehat sejenak. Dalam kondisi itu, buka puasa sendirian di kamar kos menjadi sangat menentramkan.
Meski begitu, hiruk pikuk buka bersama di mall-mall Jakarta sebenarnya tak selalu membawa suasana bising. Ada momen-momen tertentu yang bagi saya bernuansa hening. Itu adalah ketika saya bertemu sosok-sosok pelayan restoran yang kelelahan tapi terus bersemangat melayani orang-orang kelaparan yang tak sabar hendak menyantap makanan.
Yang paling saya ingat adalah bapak kasir berbaju koki di food mart Plaza Atrium Senen. Kala itu, sembari makan, saya memerhatikan wajah bapak kasir itu dan merasa kasihan. Dia kelihatan lelah, dengan keringat yang mengepung sekujur tubuh sehingga seragam kokinya yang panas itu penuh cap air di mana-mana. Barangkali dia putus asa dengan pekerjaannya, tapi mungkin dia tidak punya pilihan.
Di lain waktu, ketika sedang berbuka puasa di mall-mall lain, saya selalu menemukan orang-orang seperti bapak kasir itu: seorang pegawai di gerai makanan yang kelelahan melayani antrean orang-orang yang hendak berbuka puasa. Apakah mereka puasa? Bila iya, apakah mereka sudah berbuka? Mungkin saja tidak sempat tapi apa peduli kita, para pelanggan yang kelaparan ini? Di benak kita dalam momen-momen itu, bukankah yang ada hanyalah bagaimana mendapat makanan buka puasa dengan pelayanan prima dan tempat nyaman? Tentu saja begitu.
Di Kalibata City Square, sebuah mall baru yang didirikan sebagai bagian dari komplek Apartemen Kalibata City, saya berjumpa seorang lelaki muda yang bekerja sebagai pengantar makanan di salah satu rumah makan. Waktu itu saya dan tiga teman berbuka puasa di sana, dan setelah puas menyantap makanan, kami duduk-duduk santai di salah satu sudut food court Kalibata City Square. Kami berempat memesan es teh manis pada lelaki muda itu. Pesanan kami datang dalam waktu cukup lama, dan setelah tiba pun, ternyata dia hanya membawa dua gelas es teh manis.
Kami bersabar cukup lama untuk menunggu sisa pesanan, tapi setelah setengah jam berlalu, beberapa di antara kami akhirnya menegur pemuda pelayan itu. Dia kelihatan kaget dan buru-buru pergi mengambil es teh manis. Dia mungkin seorang pelayan yang masih magang—seragam yang dikenakannya adalah setelan kemeja putih dan celana panjang hitam—dan barangkali agak takut bila mendapat komplain. Waktu itu saya cukup jengkel dengan dia, tapi sekarang saya bisa memahami apa yang terjadi: tugas pelayan muda itu pasti sangat banyak dan bisa jadi wajar kalau dia melewatkan es teh manis kami.
Di Gokana Ramen Pondok Gede Plaza, saya berjumpa sosok yang lain lagi. Dia juga seorang pelayan lelaki muda yang ramah dan sopan. Setelah antre sekitar 1 jam, saya dan teman-teman akhirnya mendapatkan meja. Pesanan kami datang dengan cepat, tapi saat prosesi makan kami belum selesai benar, si pelayan datang dan hendak mengambil mangkuk-mangkuk dan gelas serta menyodorkan bill.
Seorang kawan yang bekerja di front office sebuah bank, yang tahu persis bahwa tindakan si pelayan melanggar tata krama pelayanan, langsung menegur. Kawan saya itu membiarkan mangkuk dan gelas diangkat tapi memutuskan untuk menunda membayar. Dengan sopan si pelayan menuruti permintaan, lalu mundur. Tapi saya tahu dia pasti kembali untuk mengusir kami secara halus. Mau bagaimana lagi, restoran itu sedang penuh-penuhnya, dan saya kira wajar bila semua pelayan berharap kami segera pergi.
Secara pribadi, saya bisa memahami tindakan pengusiran itu. Bayangkan bila kita berada di posisi mereka, dengan tanggung jawab yang dilematis: orang-orang yang antre pastilah ingin segera mendapatkan meja, tapi orang-orang yang sedang makan itu pastilah ingin berlama-lama makan dan berbincang.
Dalam konteks tersebut, kita, para pelanggan yang manja ini, seharusnya bisa sedikit berbesar hati dengan merelakan waktu curhat kita supaya tempat kita bisa ditempati orang lain. Tentu saja ini tidak gampang, terutama untuk mereka yang hidup di Jakarta dan sudah belajar soal egosime dan bagaimana mempertahankan hak sekuat-kuatnya. Saya kira, kerelaan semacam ini adalah juga salah satu ujian terbesar buat kita-kita yang menjalani Ramadhan di Jakarta.
Sukoharjo, 25 Agustus 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
setuju mas.. posisi seperti itu memanglah dilematis.. tapi seperti yang masnya singgung di atas, sekiranya kita ini selaku pelanggan manja hendaknya bisa liat situasi ya
Bentar lagi udah lebaran.
Selamat hari raya Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.
selamat lebaran mas
selamat idul fitri, mas haris, minaal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. semoga kita bisa terus membangkitkan semangat menuju hakikat “kesucian” diri sesuai fitrah-Nya, amiiin.