Foto Keluarga
Pada hari ketika ia dinyatakan meninggal dunia secara medis, aku melihat ayah masuk ke dalam foto keluarga yang digantung di ruang makan rumah kami. Kulihat ia melayang-layang sebentar, menatap lekat-lekat wajahnya sendiri di potret besar itu, lalu tanpa ragu masuk ke dalamnya. Saat semua itu terjadi, jenazah ayah sudah selesai dikuburkan, dan hampir semua tamu telah pulang. Adzan Magrib baru saja berkumandang dan itu bermakna aku harus lekas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa jam sebelumnya, ketika aku hampir pingsan kebosanan mendengarkan pelajaran sejarah, seorang guru gendut berambut tipis masuk ke kelas dan memanggil namaku. Mulanya aku sangat senang karena terbebas dari jerat pelajaran yang mengerikan, tapi segera sesudah itu aku tahu: hari ini pasti akan berakhir dengan kejutan yang menyedihkan. Sang guru gendut memberitahu bahwa ayah sakit dan kami sebaiknya segera ke rumah sakit. Aku lupa bagaimana detailnya, yang jelas sesudah itu aku bersama guru gendut naik mobil sedan berwarna hijau tua miliknya menuju rumah sakit. Bagaimanapun, saat itu aku bukan anak kecil lagi, sehingga selama perjalanan aku terus berpikir jangan-jangan ayah sudah meninggal.
Air mata ibuku, yang segera kulihat begitu aku melangkahkan kaki ke teras rumah sakit yang sepi dan dingin, telah memastikan bahwa dugaanku benar. Ibu memelukku, mengatakan secara terbata-bata bahwa ayah baru saja meninggal karena serangan jantung yang sangat mendadak. Bertahun-tahun kemudian, tatkala seorang sahabat bertanya tentang perasaanku ketika pertama kali diberitahu bahwa ayah meninggal, aku menjawab pendek: “Kaget.” Aku sebenarnya agak terkejut sekaligus malu atas jawaban itu dan terus bertanya-tanya kenapa aku tidak mengatakan kata-kata yang jauh lebih baik.
Namun sebenar-benarnya, walau telah memikirkan kemungkinan tersebut, aku tetap saja merasa kaget saat ibu mengatakan ayah telah tiada—dan aku selalu merasa, sampai sekarang, kekagetanku itu wajar.
Pukul 06.30 pagi itu, aku berjalan menuju jalan raya besar tempat aku biasa menunggu bus ke sekolah. Seratus meter sebelum aku sampai di pinggir jalan itu, aku melihat mobil keluarga kami merayap berlawanan dari arahku. Di dalamnya ada ayah, ibu, dan adikku. Aku menatap mereka dan tersenyum. Ketika ayah dikabarkan meninggal, aku selalu merasa pertemuan tak sengaja itu adalah kali pungkasan aku melihat ayah.
Ternyata, hanya beberapa jam setelah itu, aku kembali melihat ayah dalam rupa yang sama persis—seolah-olah ia hanya baru saja keluar rumah membeli makanan. Aku tak tahu apakah ia juga melihatku tapi aku bisa memastikan ia masuk ke dalam foto keluarga yang tergantung di ruang makan. Di dalam foto itu, ada gambar kami sekeluarga. Beginilah komposisinya: ayah dan ibu—yang memangku adikku—duduk jejer, sementara aku dan tiga kakakku berdiri di belakang mereka.
Om A, adik ibuku, memotret kami sekeluarga di rumahnya, dan kemudian menghadiahkan cetakan foto ukuran besar—lebarnya hampir satu meter—sebanyak tiga biji. Foto-foto itu, sesudah dipigura, digantungkan agak tinggi di dua tempat berbeda: sebiji di ruang keluarga, sisanya di ruang tamu. Semua ini terjadi saat aku masih SMP—jika kau cermat mengamati potongan rambutku di foto itu, kau mungkin akan tahu aku meniru-niru Duta Sheila On 7 yang waktu itu sedang dalam masa puncak kejayaan.
***
Tatkala melihat ayah melayang masuk ke foto keluarga di ruang makan, anehnya, aku tak pernah merasa terkejut. Aku memang memerhatikan dengan cermat saat tubuhnya mulai mengambang, sampai kemudian hilang tenggelam di balik gambar. Tapi sesudah itu, aku sama sekali tidak berteriak atau mengatakan apa yang baru saja aku lihat pada orang lain. Setelah itu, seperti yang telah kukatakan di awal dengan yakin dan pasti, aku menuju kamar mandi, mengguyur tubuhku dengan air sebanyak mungkin—dan sesudah aktivitas berkait kematian ayah selesai, aku merebahkan tubuhku dan tidur.
Aku sudah sangat lupa untuk tahu secara detail apakah hari itu aku menangis. Mungkin aku memang sedih atau menangis, tapi sekarang semua itu tampak tidak penting bagiku. Kenyataannya, aku tidak pernah merasa kehilangan ayah. Aku selalu tahu ia masih tinggal di rumah yang sama dengan kami, serta melakukan semua aktivitasnya—makan, mandi, marah-marah—bersama dengan kami. Pada kala-kala tertentu yang tak bisa kupastikan kapan dan bagaimana datangnya, kami berdua akan berjumpa. Secara tidak sengaja, aku akan melihat foto ayah hidup: matanya berkedip, bibirnya tersenyum, atau tangannya melambai ke arahku.
Saat semua itu terjadi, aku akan memandang lama-lama ke dalam foto tersebut, mencari sebuah ruang yang cukup besar di sana untuk bisa menampung tubuh gendut ayah. Aku tidak pernah menemukan ruangan semacam itu tapi, entah bagaimana, aku sangat yakin ayah bersemayam di gambarnya sendiri—yang sedang duduk memakai kemeja batik. Aku selalu membayangkan ayah duduk persis di dalam potret dirinya sehingga, lama-kelamaan, aku mulai percaya bahwa tiap orang mati tidak akan berada di dalam kuburan—melainkan kembali ke potret mereka yang paling mereka sukai.
Aku juga membayangkan, kelak ketika aku dan anggota keluargaku yang tersisa akhirnya mati satu per satu, kami akan kembali ke dalam foto keluarga di ruang makan itu. Berkumpul kembali dengan ayah, kami akan melanjutkan kehidupan normal di dalam foto itu. Aku selalu mengira kehidupan di dalam foto pasti sangat membosankan karena kami akan dikurung dalam sebuah posisi tubuh yang sama persis dari waktu ke waktu. Tapi jika memang itulah yang seharusnya terjadi pada tiap orang yang kehilangan nyawanya, aku merasa jauh lebih bahagia membayangkan keluarga kami berkumpul kembali di dalam foto. Bukankah itu lebih baik ketimbang membayangkan masing-masing dari kami terbujur di dalam tanah yang gelap-pekat sendirian?
***
Hari ini, ketika aku akhirnya pulang ke rumah sesudah merampungkan kuliahku yang sangat lama di luar kota, hal pertama yang kucari setelah menyalami ibu adalah foto keluarga di mana ayah bersemayam. Aku sangat lega saat tahu foto itu masih berada di tempatnya dan, pada saat aku sendirian menatapnya, aku makin lega karena tahu ayah masih berada di sana. Aku tak pernah tahu apakah ibu atau saudara-saudaraku telah juga berjumpa dengan ayah di dalam foto itu atau tidak. Kadang-kadang, aku membayangkan masing-masing dari kami sebenarnya sama-sama tahu bahwa ayah bersemayam di sana tapi, demi menjaga ketenteraman keluarga, tiap-tiap dari kami akhirnya diam—merasa bahwa orang lain tak pernah dan tak perlu tahu soal persemayaman ayah.
Walaupun sejak dulu, sejak tujuh tahun lampau saat ayah dinyatakan meninggal dunia secara medis, aku telah sering melihat ayah di dalam foto menggerak-gerakkan mata atau bibir atau tangannya, aku tak pernah mendengar suara ayah. Sesungguhnya, aku selalu menyimpan keinginan mendengarkan suaranya, tak peduli bahwa yang akan ia katakan pertama kali untukku hanyalah umpatan.
Hari ini, saat semua orang lain telah pergi dari rumah dan aku menatap foto ayah sembari mengingat sejarah kematiannya, aku melihat ia tersenyum dan berkedip. Sesaat kemudian, aku berani bersumpah aku telah mendengar suara ayah. Ia bertanya padaku soal kelulusanku dan apa pekerjaan yang hendak aku capai. Aku menjawab dengan riang bahwa aku berniat menjadi penulis. Sebentar kemudian, aku sadar bahwa jawaban itu mungkin akan membuatnya tidak senang dan aku berpikir untuk meralatnya dengan profesi yang jauh lebih normatif—menjadi pegawai negeri sipil, mungkin.
Tapi kulihat ayah tidak marah, ia tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya, dan berkata dengan gembira: “Kelak, ketika kau sudah menuliskan karya pertamamu—puisi, cerita pendek, atau apapun—aku ingin kau membacakannya di depanku. Maksudku, di depan foto tempat aku bersemayam ini.”
Sesudah mengatakan itu, ayah kembali menjelma foto yang diam dan dingin.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Alah oph iyo???
hla pak Agus pye??? wkkkkwkkwwkk
walah malah jd horor. salam kenal sobat.
ini cerita yang penuh kasih dan kesedihan kok. bukan horor 😀
baca awalannya rasanya dibawa ke lorong waktu yang cepat sekali berputarnya… Sampai di ending ceritanya, membawaku pada sebuah kerinduan buat ayahku, jadi kepingin pulang…
pulanglah, del. selama beliau masih ada, temui dan sayangilah
aih, lalu bapak-ku bersemayam dimana?
sedangkan tak ada foto keluarga yang menggantung di rumah..
mungkin di hatimu dan di hati anggota keluargamu yang lain, nenden
Mengharukan ya, pak. Kadang ketika kita sedang melihat foto keluarga. Banyak kenangan yang terbayang lagi. Paling sedih ketika kita harus mengingat kepergian salah satu keluarga. Cerita yang luar biasa pak.
foto keluarga di rumah saya itu berkesan sekali buat saya. menyimpan kenangan lama dengan ayah, saat kami masih sering bepergian sekeluarga menggunakan mobil, berkunjung ke rumah-rumah saudara. terima kasih, sibair
rindu ayah yg tiga tahun kembali kepelukanyA…
kalu ayah kita masih hidup sayangi cintai
tp jka ayah kita dah tiada tetaplah jalin silaturohmi dg teman ayah keluarga dari ayah kita….
haris yg baik, pasti ayahmu bangga sekali punya anak sepertimu. sudah banyak karya yg tercipta dan bermanfaat bagi org banyak. ya, aku ingat foto yg menggantung di rumahmu itu meski cuma sekali aku lihat. percaya atau tidak ayahmu mengacungkan jempolnya padaku, memujimu yg kali itu memimpin rapat forsisca 😀 salam kompak,
terima kasih yah. semoga dia beneran bangga
kalau soal mengacungkan jempol ke kamu, tentu saja, aku nggak percaya 😀
crtanya bneran ga ya ? AkKu bru dtinggal papa kKu 13hr.. AkKu rindu papa,brhrap bs brtmu dlm mMpi.. Papa meningGal krna skt,stlah brjuang mlwan pnykit ny slama 3bln.. SdiH kLw ingat papa.. T_T
ini cerita pendek, fiksi, vany. jadi kebanyakan tidak merupakan fakta. tapi bahwa bapakku meninggal beberapa tahun itu fakta dan ada beberapa kisah seputar meninggalnya bapak yang aku masukkan ke dalam kisah fiksi ini.
turut sedih untuk meninggalnya ayahmu ya. berdoalah utk dia. mungkin hanya doa dan kenangan2 yang bisa menghubungkan kita dengan orang2 yg sudah pergi.
rasanya jadi rindu. tidak tahu kalau tiba saatnya apa bisa setegar itu.. maunya nggak pake kaget. hehe