Tafsir Sederhana Kutukan Raja
Sekumpulan dhemit yang putus asa itu akhirnya memutuskan melawan. Mereka sudah tak menemukan cara lain lagi menghadapi kesewenang-wenangan sejumlah orang yang merusak hutan demi mengeruk uang. Ya, alkisah, pembabatan pohon-pohon di hutan Kalimantan itu memang tak hanya menghancurkan ekosistem hewan dan tumbuhan, tapi juga mengganggu ketenteraman hidup para setan. Sesudah ratapan berkepanjangan dan doa putus tanpa hasil pada roh leluhur, dhemit-dhemit itu mulai menggunakan senjata mereka: menebar ketakutan.
Dan, seperti dalam kisah film-film horor murahan, kita melihat manusia jahat yang diganggu setan, lalu ditimpa hukuman yang tak ringan, dan sesudah itu mengalami pencerahan. Dia, si pendosa itu, akhirnya sadar bahwa membabat hutan secara brutal itu salah. Tentu saja akan tetap ada orang jahat yang tak mendapat pencerahan. Tapi toh, moral kisahnya akan sama: di akhir cerita, si jahat bakal dikenai hukuman.
Ini memang sangat klise tapi begitulah kira-kira logika cerita pertunjukan Kutukan Kudungga: Raja Salah Raja Disembah. Pertunjukan kelima proyek “Indonesia Kita” yang digagas Butet Kertaradjasa dan kawan-kawan ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat-Sabtu pekan lalu. Setelah berturut-turut menghadirkan kesenian Yogya, Maluku, Jawa Timur, dan Melayu, kali ini Butet memilih kesenian Kalimantan Timur sebagai inspirasi pentas.
Selain dua partner tetapnya, Djaduk Ferianto dan Agus Noor, kali ini Butet mengajak Syafril Teha Noer, seniman asal Kalimantan Timur, untuk membuat konsep pertunjukan. Representasi Kalimantan Timur hadir melalui 25 penari asal Samarinda dan sebuah band metal bernama Kapital.
Untuk pemain teater, Butet memboyong belasan pemain Teater Gandrik dari Yogyakarta, sementara urusan musik diserahkan ke Kua Etnika pimpinan Djaduk. Selain mereka, masih ada Dik Doank dan anak-anak Kandank Jurang Doank yang dibinanya.
Pada awalnya, naskah Kutukan Kudungga hendak ditulis oleh pentolan Teater Gandrik, Heru Kesawa Murti. Niatnya, Heru ingin menafsir ulang lakon yang pernah ditulisnya, yakni Dhemit. Sayangnya, pada 1 Agustus lalu, saat penggarapan pertunjukan ini baru dimulai, Heru Kesawa Murti meninggal dunia.
Maka, Agus Noor lalu melanjutkan penulisan naskah ini dengan tetap berdasarkan lakon Dhemit. Sayang, hasil jadi naskah yang ditulis Agus ini cenderung klise, juga menyederhanakan persoalan.
Inspirasi pertunjukan ini adalah legenda yang berkembang di Kalimantan Timur mengenai kutukan yang pernah diucapkan Raja Kudungga. Dalam sejarah kerajaan di Kalimantan Timur, Kudungga dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Kutai. Konon, dulu Kudungga hanyalah seorang kepala suku. Setelah memeluk agama Hindhu, dia mengubah struktur kekuasannya menjadi kerajaan sehingga kelak keturunannya akan menjadi raja-raja penerusnya.
Masyarakat Kalimantan Timur percaya, Raja Kudungga pernah mengeluarkan sebuah kutukan: “Barang siapa yang mengambil dan membawa pergi kekayaan alam di pulau ini, makan hidupnya akan sengsara dan celaka.”
Dalam masa yang lebih kontemporer, kutukan ini menemukan relevansinya dengan perusakan besar-besaran hutan di Kalimantan. Bila ada perusak hutan yang celaka, masyarakat akan di sana akan mengaitkan hal itu dengan kutukan Kudungga. Mitos semacam ini menarik, tapi sayang Agus Noor menafsirkannya dengan sangat sederhana dan kurang imajinatif sehingga hasilnya mirip kisah hantu murahan.
Maka, jadilah kita menemukan pertunjukan ini bergerak dalam alur dan irama yang mudah ditebak. Penampilan aktor-aktor Gandrik yang terkenal dengan gaya plesetannya memang sedikit banyak menolong pertunjukan ini. Tapi penampilan mereka juga terlalu dominan sehingga menjadikan pentas ini menjadi “sangat Gandrik” dan justru menepikan gambaran kesenian Kalimantan Timur. Tari-tarian tradisi Kalimantan memang hadir, tapi ini hanya semacam jeda sekejap di antara lelucon-lelucon panjang—tapi kurang bertenaga—dari Susilo Nugroho dan Marwoto.
Lagi-lagi, seperti pertunjukan “Indonesia Kita” sebelumnya, pentas ini mengalami kesulitan untuk menemukan keterpaduan antar-unsurnya. Kali ini, masalah keterpaduan itu justru kian tampak. Alih-alih kohesif, pentas ini justru tampak seperti semacam parade atau festival pelbagai kesenian: dari tari tradisional Samarinda, musik metal, dagelan Mataraman, hingga musik akustik ala Dik Doank.
Dengan komposisi yang semacam itu, Kutukan Kudungga, harus dikatakan, merupakan pertunjukan “Indonesia Kita” yang paling tidak mengesankan bila dibandingkan dengan empat pentas sebelumnya.
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
sayang gak bisa menyaksikan langsung je…
makanya, ayo ke jakarta mas. banyak acara recomended
Saya malah belum pernah nonton teater di TIM, pengen sih nonton..
Tapi sekarang ada tuh teater AntigoNEO-nya Teater Koma di GKJ..