Empat Dekade Seni Ideologis Guruh
Di atas panggung megah itu, setelah menyanyikan lagu Januari Kelabu, Riafinola Ifani Sari berkata kepada dua rekannya dari grup musik B3, Cynthia Lamusu dan Widi Mulia. ”Eh, ini bukan bagian dari skenario. Ada yang copot nih di sepatuku,” kata Nola, panggilan akrab Riafinola, sambil menunjuk sepatu hak tingginya. Tanpa canggung, Nola lalu berjalan ke samping panggung. ”Dicopot saja, deh,” ujarnya spontan. Melihat itu, Cynthia dan Widi lalu menyusul Nola. ”Kita lepas semua aja,” kata mereka berdua.
Maka, ketika B3 menyanyikan nomor berikutnya, Lagu Putih, tiga personelnya resmi bertelanjang kaki. Meski begitu, insiden ini sama sekali tidak mengurangi penampilan grup yang dulu dikenal dengan nama AB Three itu. Kamis, 20 Oktober lalu, itu dalam pergelaran musik dan tari ”Beta Cinta Indonesia” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, ketiganya tetap tampil energik, dengan olah vokal dan koreografi yangciamik. Penonton pun, pada akhirnya, tampak memaklumi ”improvisasi” itu.
”Beta Cinta Indonesia” merupakan pergelaran terbaru karya Guruh Soekarnoputra. Pergelaran ini diproduksi Kinarya Gencar Semarak Perkasa, production house di bawah perusahaan bernama PT Gencar Semarak Perkasa. Berdiri pada 22 Februari 1988, perusahaan ini menggantikan peran kelompok Swara Mahardika yang didirikan Guruh pada 1977.
Guruh menyebut ”Beta Cinta Indonesia” sebagai ”petikan karya cipta” karena kebanyakan karya yang dimainkan dalam pentas ini adalah cuplikan pertunjukan yang pernah dibuatnya. Kebanyakan lagu yang dimainkan dalam pentas ini dibuat Guruh dalam rentang 1976-1989. ”Hanya ada tiga lagu baru yang saya buat tahun ini, salah satunya lagu Beta Cinta Indonesia,” papar putra Presiden Soekarno itu.
Tujuan utama ”Beta Cinta Indonesia”, yang dipentaskan untuk umum pada 21 sampai 23 Oktober lalu, itu memang memperingati 40 tahun perjalanan kesenian Guruh. Tampaknya pentas yang rencananya berdurasi 120 menit –tapi prakteknya hampir tiga jam– itu memiliki nilai khusus dalam hati Guruh.
Dalam orasi sebelum pentas dimulai, anggota DPR dari PDI Perjuangan itu mengatakan, ”Beta Cinta Indonesia” merupakan pergelaran kolosal pertamanya setelah ”Jak Jak Jak Jak Jakarta” pada 1989. ”Banyak alasan kenapa saya tidak membuat pergelaran kolosal sejak 1989. Antara lain karena kita mengalami resesi pada 1990-an, kurangnya ruang teater yang memadai, dan kemudian ada hiruk-pikuk pergantian Orde Baru ke (orde) reformasi,” ujar adik Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, itu.
Entah kenapa Guruh mengatakan itu. Padahal, kita tahu, Guruh membuat sejumlah pertunjukan setelah 1989, misalnya ”Legong Surapati” (1998), ”Konser 100 Tahun Bung Karno” (2001), ”Sri Panggung” (2002), ”Lelaki Super” (2003), dan ”Mahadaya Cinta” (2005). Dibandingkan dengan sejumlah pergelaran Guruh sebelumnya, ”Beta Cinta Indonesia” memang bisa disebut sebagai salah satu yang paling spektakuler.
Pertunjukan itu melibatkan sekitar 250 orang, mulai musisi, penari, dan para pendukung lain. Dengan iringan musik Erwin Gutawa Orkestra, pergelaran ini melibatkan sejumlah penyanyi papan atas Indonesia, misalnya Vina Panduwinata, Netta, Once, Tompi, Vidi Aldiano, dan B3. Total lagu yang dinyanyikan ada 18. Beberapa seniman lain, semisal Asri Welas, Tike Priyatna Kusumah, Butet Kartaredjasa, dan Yati Pesek, tampil menyuguhkan pentas lawak singkat di bagian tengah pementasan.
Dibuka dengan lagu Janger, ”Beta Cinta Indonesia” menampilkan ciri khas pertunjukan Guruh, yang selalu menonjolkan warna-warna cerah, dengan penari-penari berkostum mewah yang kebanyakan berhiaskan bulu-bulu, juga busana yang mengambil inspirasi dari pakaian adat. Dari sisi musik, nuansa musik tradisi sangat kental. Tata panggung pertunjukan ini sangat luar biasa, dengan teknologi proyeksi digital, juga berbagai properti untuk mendukung terciptanya suasana nyata yang diinginkan.
Kelebihan tata panggung ini paling terasa pada saat Tompi menyanyikan Nostalgia. Lagu ini berkisah tentang sebuah kenangan percintaan di Hotel Des Indes, sebuah hotel yang beroperasi pada 1856-1960 di Jakarta. Ketika Tompi mulai menyanyi, dengan cepat set panggung berganti secara otomatis, membentuk suasana hotel. Kita seperti dibawa pada suasana hotel pada masa Hindia Belanda, dengan orang-orang kulit putih papan atas yang berdansa. Di panggung, kita menyaksikan sebuah bar lengkap dengan pelayan dan deretan minuman beralkohol, juga sekelompok musisi yang sedang menghibur para tamu. Luar biasa.
Pada saat Vidi Aldiano menembangkan Kenang-kenangan, panggung menjadi sebuah sekolah, dengan sekelompok anak SMA sedang menari dalam gerak riang yang menakjubkan. Sebelumnya, ketika Vidi menyanyikan lagu legendaris Zamrud Khatulistiwa, panggung menjelma menjadi sebuah hutan, dengan proyeksi suasana hutan di layar besar bagian belakang panggung. Ketika lagu-lagu yang bernuansa sejarah dinyanyikan, rekaman kejadian masa lalu ditayangkan. Ini terjadi, misalnya, pada saat lagu Perikemanusiaan yang bercerita soal Bung Karno dan lagu Melati Putih yang berkisah soal Fatmawati, ibunda Guruh.
Puncak pentas ini terjadi ketika Vina Panduwinata menyanyikan lagu Beta Cinta Indonesia. Pada satu bagian, semua iringan musik berhenti dan Vina mengajak penonton menyanyi bersama-sama. Pada saat itu, suasana menjadi syahdu dan nuansa nasionalisme hadir ke seluruh ruang teater tanpa teriakan keras yang klise. Sesungguhnya, apa yang membuat karya-karya Guruh menarik adalah keseimbangan antara pesan dan estetika, dan itu terwakili dalam lagu Beta Cinta Indonesia.
Guruh memang tak menampik nuansa politis dalam karya-karyanya. Ia bahkan dengan lantang menentang pemisahan seni dari politik. ”Seni itu alat perjuangan ideologis. Jadi, hapuskan dikotomi seni budaya dengan politik,” katanya. Tapi seni ideologis Guruh bukanlah seni yang kering dan susut bobot estetiknya. Seperti kita lihat dalam pergelaran-pergelaran yang dibuatnya, estetika tak pernah menjadi bagian yang minor. Ini pula yang terjadi dalam pergelaran ”Beta Cinta Indonesia”. Pertunjukan ini dipenuhi keindahan yang glamor, tapi juga sarat pesan politik yang ideologis.
NB: versi lain tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, foto diambil dari sini
Guruh selalu menyajikan totalitasnya dalam seni. Maju terus dan harumkan nama Indonesia dengan karya-karyamu
itu pertunjukan nyari untung kagak ya? terus biayanya habisnya berapa untungnya berapa ya?
meriahnya ^_^