Rahim Danarto dan Anjing Joko Pinurbo
Ada sebuah benda yang selalu dibawa oleh putri-putri kita, tidur maupun jaga, ketika makan maupun bengong, naik Trans Jakarta maupun naik pesawat. Benda itu laboratorium Tuhan. Benda apakah itu?
Di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Jumat malam 14 Oktober lalu, sastrawan Danarto menanyakan pertanyaan aneh itu pada para penonton. Setelah hening sesaat, seorang perempuan muda menyahut. “Rahim,” katanya. Danarto membenarkan jawaban itu, lalu mempersilakan sang perempuan mengambil satu tas berisi sejumlah barang: sebungkus cokelat dari Belgia, ayam goreng, rujak, dan buku karya Barack Obama berjudul Of Thee I Sing: A Letter to My Daughter.
Tidak jelas apa maksud Danarto memberikan kuis singkat itu. Pertanyaan yang diajukannya dan isi hadiahnya benar-benar acak, dan tak nyambung sama sekali dengan cerita pendek yang malam itu dibacakannya. Tapi, memang begitulah Danarto: spontan, kocak, dan penuh kejutan. Malam itu, ia tampil dalam acara pentas dan bincang sastra bertajuk “Ironi, Humor, Sufi”. Acara ini merupakan bagian dari Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara 2011 yang diselenggarakan 8-29 Oktober.
Bienal Sastra tersebut merupakan festival sastra internasional yang digelar dua tahun sekali sejak 2001 oleh Komunitas Utan Kayu—yang kini berganti nama jadi Komunitas Salihara. Memasuki penyelenggaraannya yang ke-6, festival itu mengambil tema “Klasik Nan Asyik”, dengan maksud merayakan kembali khazanah sastra zaman lampau, baik yang berasal dari Indonesia mapun dunia.
Sejumlah sastrawan dari dalam dan luar negeri hadir dalam acara ini. Mereka yang dari Indonesia, antara lain F. Rahardi, Joko Pinurbo, Hanna Fransisca, Okky Madasari, Ahmad Fuadi, Linda Christanty, Hasan Al Banna, Bre Redana, D. Zawawi Imron, dan lain sebagainya. Sementara, beberapa penulis dari negara lain, adalah Tariq Ali (Pakistan), Steven Conte (Australia), Shirley Lim (Amerika Serikat), Mritjunjay Kumar Singh (India), dan beberapa lainnya.
Kebanyakan acara dalam festival ini berupa diskusi dan pembacaan karya. Sejumlah pentas musik, yang menafsir karya-karya sastra, juga digelar sebagai selingan. Dilihat dari pilihan tema diskusi dan karya-karya yang dibaca, sebenarnya Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara kali ini tidak terlampau bersetia dengan tema “Klasik Nan Asyk”. Kelihatannya, kurasi atas tema tersebut memang tidak berlangsung dalam batas-batas yang ketat. Tafsir atas “khazanah klasik” pun melonggar, dan merambah ke mana-mana.
Dalam acara “Ironi, Humor, Sufi”, misalnya, penonton hampir-hampir tidak menemukan relevansi karya-karya yang dibaca dengan tema besar festival. Karya-karya itu hanya bisa ditarik relevansinya dengan tema kecil sesi tersebut. Selain menampilkan Danarto, sesi ini menampilkan Joko Pinurbo, F. Rahardi, dan D. Zawawi Imron. Danarto dan Zawawi Imron mungkin representasi dari sufi, sementara Joko Pinurbo dan F. Rahardi bisa jadi dimaksudkan menjadi representasi dari humor dan ironi.
Yang paling asyik adalah menonton Danarto memang. Cerpen yang dibacanya malam itu sungguh-sungguh bagus. Ceritanya tentang seorang turis dari Jerman yang memanfaatkan komputer untuk mengawasi sebuah tarian tradisional di Bali—sebuah kisah yang penuh kejutan, dan hampir tanpa pesan moral berarti. Dibuat pada 1974, cerpen ini menggabungkan elemen literer dengan suara dan visual—sebuah karakter yang menandai cerpen-cerpen Danarto dan membuat cerita ini cocok untuk dipanggungkan.
Keasyikan juga didapat saat mendengarkan F. Rahardi membaca sajak-sajaknya yang dipenuhi ironi. Kebanyakan puisinya adalah kritik terhadap kondisi Indonesia di era Orde Baru. Yang lucu, saat sajak tersebut dibacakan di era sekarang—yang sepenuhnya berbeda dengan masa Orde Baru—muatan perlawanannya menjadi tanggal. Yang tersisa dari sajak F. Rahardi justru humor, dengan ironi sebagai unsur utama.
Sementara itu, Joko Pinurbo, yang dianggap sebagai pembaharu estetika puisi Indonesia paska Afrizal Malna, ternyata tampil dengan datar. Jokpin, demikian ia biasa dipanggil, akhir-akhir ini memang tak lagi produktif dan sajak-sajak terakhirnya juga tak bisa disebut seindah seri puisinya soal celana. Tak heran, malam itu, Jokpin masih saja mengandalkan sajak-sajak lama untuk dibaca, seperti “Dengan Kata Lain”, “Telepon Tengah Malam”, dan “Terompet Tahun Baru” meski dia juga membaca sajak “Asu” yang dibuatnya tahun ini.
Soal Zawawi Imron, tak banyak yang bisa dikatakan. Penyair sepuh asal Madura ini masih penuh semangat, tapi puisi-puisinya memang tak lagi bisa mencerminkan semangat zaman. Puisinya klasik, tapi kurang asyik. Untungnya, tak seperti Zawawi, Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara kali ini tetap asyik, meski semangat menggali yang klasik kurang terasa.
Haris Firdaus
*versi lain tulisan ini dimuat di Majalah Gatra , gambar diambil dari sini
karya2 cerpen danarto termasuk salah satu yang saya kagumi. penuh suspensi, surealis, dan tak terlalu banyak mengobral pesan moral. sayangnya, saya ndak bisa menyaksikan ketika dia baca cerpen2nya.
benar sekali pak sawali. danarto itu gabungan surealisme dan absurd di alur kisahnya. sangat keren
Aki sich belum pernah membaca karya2 dari pak danarto. Tapi dari artikel ini, membuat aku penasaran dan ingin sekali membaca tulisan beliau.