Ke Merapi, Mereka kan Kembali
Widarti adalah perempuan yang tegar dan periang. Usianya 49 tahun. Saya bertemu dengannya pada suatu siang, saat dia baru saja kembali dari kebun kecil di belakang komplek hunian sementara (Huntara) korban letusan Gunung Merapi di Dusun Plosokerep. Tidak banyak hasil kebun yang dibawanya kala itu, hanya beberapa biji tomat dan ketela. “Mari mampir, Mas,” katanya ramah saat bertemu saya.
Widarti merupakan satu dari ribuan korban erupsi Gunung Merapi tahun lalu. Tempat tinggal aslinya ada di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Saat erupsi terjadi, rumah Widarti ikut hancur. Ia sempat singgah di sejumlah tempat pengungsian, sebelum akhirnya tinggal di Huntara di Dusun Plosokerep, yang masih merupakan wilayah Desa Umbulharjo.
Widarti sudah setahun tinggal di Huntara di Plosokerep. Komplek Huntara ini dikhususkan untuk warga Desa Umbulharjo. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DIY menyebut ada 315 unit Huntara di komplek itu dengan sejumlah fasilitas: instalasi air bersih, bale warga, mushola, kandang ternak, dan kolam ikan.
Huntara di Plosokerep hanya satu dari 7 lokasi Huntara di Kabupaten Sleman yang digunakan untuk menampung warga di 6 desa yang masuk wilayah Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak. Di Sleman, total ada 2.682 unit Huntara.
Sehari-hari, Widarti tinggal di Huntara bersama suami dan dua anaknya. Suami Widarti bekerja sebagai tukang ojek dan tukang jaga portal di kawasan wisata erupsi Merapi di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo. Penghasilan dari pekerjaan semacam itu tidak banyak. Pasalnya, banyak sekali warga yang bekerja sebagai tukang ojek dan penjaga portal sehingga jam kerja mereka akhirnya digilir.
Saat saya bertanya bagaimana rasanya tinggal di Huntara, Widarti menyatakan, mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri. Kadangkala banyak fasilitas yang tak bersahabat. “Sudah dari kemarin air di sini mati,” ujarnya.
Sebagaimana pengungsi lainnya, ia tinggal di Huntara berukuran 6 x 6 meter yang dibagi menjadi sejumlah ruangan: ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Dinding Huntara terbuat dari bambu, sementara atapnya terbuat dari seng. Pasokan listrik dipenuhi dari PLN, sementara air bersih dipenuhi dari instalasi yang dibangun pemerintah.
Meski merasa cukup nyaman, toh akhirnya Widarti tak bisa tinggal selamanya di Huntara. Masa berlaku Huntara ini hanya dua tahun. Sementara ia belum bisa membangun rumahnya karena tak punya uang. Lebih dari itu, sebenarnya Widarti tak boleh lagi tinggal di rumahnya di Pangukrejo. Pasalnya, Pangukrejo, yang berjarak sekitar 7 km dari puncak Merapi, masuk wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III.
KRB III merupakan kawasan yang paling terancam bila erupsi Merapi kembali terjadi. Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi yang dirilis pemerintah, KRB III adalah wilayah yang sering terkena awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar, dan hujan abu lebat. Karena kerawanan ini, maka KRB III telah ditetapkan tidak boleh dijadikan sebagai wilayah hunian tetap.
Masalahnya, hingga setahun sesudah erupsi besar Merapi, relokasi warga di KRB III ini belum tuntas. Sejumlah warga bahkan terang menolak dan mulai membangun rumah mereka kembali yang ada di KRB III. Saat mengunjungi komplek Huntara di Dusun Plosokerep, misalnya, saya melihat sejumlah Huntara yang kosong. Beberapa Huntara bahkan tak lagi terawat: pintunya terbuka, dindingnya tertutup jaring laba-laba, dan kamar mandinya sudah ditumbuhi rumput liar.
Widarti menyatakan, sejumlah tetangganya memang tidak lagi tinggal di Huntara. Sebagian sudah membangun kembali rumahnya, sementara warga lainnya kadang-kadang kembali ke Huntara beberapa hari sekali. Masalah utama di Huntara adalah tidak adanya pekerjaan pasti yang bisa menghasilkan uang—selain fasilitas yang kadang-kadang tidak mencukupi.
Saya bertanya pada Widarti soal relokasi. Dia kelihatan kurang begitu paham soal konsep relokasi yang dicanangkan pemerintah. Menurut Widarti, pemerintah hanya akan menanggung biaya pembangunan rumah sebesar Rp. 30 juta, sementara pembelian tanah harus dilakukan warrga sendiri. Bila ini yang terjadi, Widarti jelas tidak bisa ikut relokasi. “Dari mana saya dapat uang?” katanya. “Kalau tanahnya juga dibelikan, saya mau,” ia menambahkan.
Saat mengunjungi lokasi erupsi Merapi di wilayah Sleman beberapa waktu lalu, saya mendapat kesan konsep relokasi yang hendak dilakukan pemerintah tidak jelas, atau setidaknya, tidak tersampaikan secara baik ke warga. Saya berbicara ke beberapa orang korban dan mendapatkan gambaran bahwa mereka agak kebingungan dengan masa depan mereka sendiri.
Tapi ada juga warga yang sudah punya sikap tegas. Salah satunya adalah Mitro Kawit, warga Pangukrejo. Saya bertemu dengannya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, yang merupakan lokasi wisata erupsi Merapi. Mitro bekerja sebagai tukang ojek, merangkap menjadi guide. Dia masih punya hubungan darah dengan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang meninggal saat bencana terjadi. “Mbah Maridjan itu adik bapak saya,” kata Mitro.
Mitro sudah menetapkan pilihan. Ia memilih membangun kembali rumahnya dengan pinjaman uang. “Di sini kan memang sudah tempatnya dari zaman nenek moyang. Kalau mau direlokasi, nggak mau,” kata pria berusia 56 tahun itu. Sejak beberapa bulan lalu, Mitro sudah tinggal di rumahnya semula yang masuk KRB III. “Saya nggak betah di Huntara, nggak nyaman. Di sana paling cuma tiga bulan,” tuturnya.
Mitro menyatakan, konsep relokasi yang diketahuinya adalah warga harus membeli tanah sendiri di lokasi aman dan pemerintah hanya akan membantu biaya pembangunan rumah sebesar Rp. 30 juta. Ia mengaku tidak memiliki uang untuk membeli lahan. “Kalau untuk membeli tanah juga dibantu, ya saya mau. Tapi kalau nggak, ya nggak usah,” tuturnya.
Lambannya realisasi bantuan juga membuat jengah. Mitro menyatakan tidak mau berharap pada bantuan dan lebih memilih berupaya sendiri. “Kalau menunggu bantuan, kita nggak hidup. Kami harus berupaya sendiri dari nol,” ujarnya. Bagaimana kalau erupsi Merapi kembali terjadi? “Kalau bisa saya hindari, saya akan hindari. Tapi kalau tidak, saya pasrah sama Tuhan,” ungkap Mitro tenang.
Jelas tidak semua warga menolak relokasi. Konsep relokasi korban Merapi tampaknya memang berbeda-beda, bergantung pada banyak hal, terutama kesediaan lahan. Warga Dusun Glagahmalang, Desa Glagahrejo, Kecamatan Cangkringan, kebanyakan menerima relokasi karena mereka dijanjikan mendapat tanah dan rumah gratis.
Saya menemui Kepala Dusun Glagahmalang, Suradi. Dia mengatakan, kebanyakan rumah warganya sudah habis terkena lahar dan awan panas Merapi. “Hanya 20% rumah di dusun kami yang masih ada,” katanya. Kondisi ini menyebabkan warga Glagahmalang lebih memilih menerima relokasi.
Sampai sekarang, sebanyak 272 warga Glagahmalang tinggal di 91 Huntara yang ada di Dusun Jetis Sumur, Desa Glagaharjo. Di lokasi ini pula, kata Suradi, pemerintah akan membangun hunian tetap. “Tanah ini kan tanah kas desa sehingga warga tidak perlu membeli tanah lagi,” ujarnya.
Konsep pembangunan Huntap bagi pengungsi Merapi tampaknya memang belum tersosialisasikan dengan baik. Akibatnya, muncul sejumlah resistensi dari warga masyarakat. Berdasarkan Buku Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekosntruksi Wilayah Pasca Bencana Gunung Merapi yang diterbitkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pembangunan Huntap sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pusat. Biaya pembangunan itu termasuk pula biaya pembebasan lahan.
Menurut buku tersebut, lokasi Huntap tidak boleh berlokasi di KRB III, tapi bisa berlokasi di KRB II yang tingkat kerawanan bencananya lebih ringan. Sementara di KRB III, rencananya warga masih diperbolehkan menggarap lahan pertanian mereka, tentu dengan memperhatikan tingkat kerawanan bencana.
Rencananya, pemulihan sektor perumahan di kawasan terkena bencana Merapi akan mencapai Rp. 247, 15 miliar dari total dana rehabilitasi dan rekosntruksi sebesar Rp. 1, 35 triliun. Bila merujuk ke jumlah rumah yang rusak di wilayah DIY dan Jawa Tengah, maka Huntap yang harus dibangun totalnya mencapai 2.956 unit.
Saya membaca di sejumlah media bahwa tahun ini ratusan hunian tetap ditargetkan selesai dan bisa ditempati. Ini jelas kabar yang menggembirakan. Tapi, masalah korban erupsi Merapi masih banyak. Setahun sesudah erupsi, mereka terus hidup dalam keterbatasan ekonomi, juga ancaman bencana gunung api.
Haris Firdaus
sosialisasi sepertinya tidak berjalan dengan baik……….
memang, mas. banyak hal yang tidak jelas terkait konsep relokasi ini. ini yang harus terus-menerus diingatkan.
betul..!!
sepertinya pemerintah harus selalu memperhatikan rakyatnya yang kesusahan..
semoga menjadi semakin baik dan bisa kembali ke rumah masing masing…
warga merapi tetap semangat…