Debu yang Menanggung Duka
Sesudah lebih dari 70 tahun, Goenawan Mohamad akhirnya menerbitkan sebuah buku utuh untuk kali pertama. Sebelum ini, kita tahu, buku-buku Goenawan selalu berupa kumpulan—kumpulan puisi, kumpulan esai, kumpulan Catatan Pinggir di Majalah Tempo, kumpulan naskah lakon, kumpulan esai setengah jadi, kumpulan kutipan dari esainya, dan, yang paling menggelikan, kumpulan kicauan di Twitter.
Menerbitkan kumpulan tulisan memang hobi Goenawan, sebab, seperti yang tersirat dalam esai-esainya, ia tampaknya memiliki alergi yang lumayan akut terhadap segala hal yang utuh dan total. Penolakannya untuk membuat buku yang utuh selama puluhan tahun prosesnya menjadi intelektual barangkali sejalan dengan pemikirannya yang mempunyai prasangka terhadap totalitas satu gagasan.
Kita tahu, esai-esai Goenawan seringkali berisi pembelaan yang gigih atas hal-hal kecil, yang berserak, tak beraturan, semacam chaos yang meski kacau tapi mempunyai keindahannya sendiri. Bentuk esai Goenawan yang seringkali lebih mirip rangkaian kutipan pikiran orang lain disertai komentarnya sendiri, bukan sebuah esai dengan argumen yang kukuh dan kokoh, juga menunjukkan kegemaran Goenawan pada ketidakutuhan.
Tapi, mereka yang mengikuti Catatan Pinggir sejak bertahun-tahun lalu pasti menyadari, di balik ketidakutuhan itu, tersimpan semacam garis penghubung, semacam konsistensi gagasan yang selalu hadir meski dalam bentuk yang berbeda-beda. Pemikiran Goenawan soal agama dan Tuhan, soal politik dan Marxisme, soal kodrat hidup manusia, misalnya, hampir-hampir konsisten dari tahun ke tahun. Ide-ide itu selalu datang lagi dan lagi di Catatan Pinggir, meski Goenawan akan membungkus ide tersebut dengan kemasan yang berbeda dengan cara mengutip penulis dan buku yang berlainan.
Maka, meski sejak awal Goenawan menyatakan buku Debu, Duka, dsb berisi “catatan bersambung” yang “tak dimaksudkan untuk menyatu padu”, saya tetap ngotot menyebut buku itu sebagai sebuah buku utuh. Diterbitkan tahun ini sebagai bagian dari perayaan 70 tahun Goenawan Mohamad, Debu, Duka, dsb sebenarnya diniatkan untuk berbicara perihal satu pokok saja, yakni theodise.
Theodise adalah terjemahan dari theodicy dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya bermakna semacam pemikiran untuk membuktikan bahwa Tuhan itu berkuasa dan adil dengan sifat-sifat seperti maha penyayang, maha tahu, dan maha kuasa. Berasal dari dua kata, theos yang bermakna Tuhan, dan dike yang berarti keadilan, theodise pertama kali diperkenalkan oleh Gottfried Leibniz, seorang filsuf Jerman. Inti theodise Leibniz, kata Goenawan, adalah untuk menjawab bagaimana hubungan antara Tuhan yang Maha Penyayang dengan segala kejahatan dan bencana di dunia.
Dalam konteks itu, Leibniz membela Tuhan: ia menyatakan bahwa segala macam keburukan di dunia ini terjadi karena alasan yang cukup dari Tuhan. Dalam bahasa lebih gampang, menurut Leibniz, Tuhan selalu punya alasan yang cukup untuk menurunkan keburukan, bencana, dan malapetaka di dunia. Goenawan berbeda pandang dengan Leibniz. Dia tak membela Tuhan dan oleh karenanya, Debu, Duka, dsb diberi subjudul “sebuah pertimbangan antitheodise”.
Buku itu sebenarnya ditulis Goenawan terkait dengan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Saat tsunami terjadi, orang-orang berbondong-bondong mencari penjelasan soal bencana itu, salah satunya dengan bekal agama. Kita kemudian tahu, sejumlah orang menghubungkan bencana itu sebagai bagian dari azab Tuhan karena beberapa waktu sebelum tsunami, konon, ada orang-orang yang melakukan maksiat di Bumi Serambi Makkah itu. Sikap semacam itu adalah sebentuk theodise dan Goenawan menolak hal itu.
Melalui buku ini, Goenawan membangun semacam argumen yang menyangkal theodise dan berupaya memberi penjelasan berbeda mengenai malapetaka dan bencana. Tapi segera saja kita akan tahu, saat melakukan itu, Goenawan akan melintasi jalan yang berliku-liku dengan membahas mengenai hal-ihwal yang mungkin tak berkait langsung dengan theodise. Saat membaca Debu, Duka, dsb, saya justru merasa buku ini merupakan “rangkuman” dari pemikiran Goenawan yang selama ini dikemukakan secara tak utuh lewat pelbagai esainya.
Di buku itu, kita akan menemui “repetisi” dari pelbagai ide Goenawan soal pelbagai hal: tentang Tuhan yang tak bisa direngkuh penuh-seluruh, keadilan yang mustahil, Marxisme yang bisa berarti harapan tapi juga kungkungan, subyek atau sang “Aku” yang cacat dan terikat sejarah, dan sebagainya. Penolakan Goenawan atas theodise tentu saja hadir cukup dominan dalam buku ini meski soal ini bukanlah satu-satunya.
Sepanjang pembacaan saya, antitheodise Goenawan sebenarnya berpangkal pada penolakannya atas konsep Tuhan yang pasti dan total. Baginya, Tuhan adalah sosok yang maha transeden, tak bisa dijangkau dengan nalar manusia yang terbatas. Manusia tak bisa mengatakan bahwa tsunami Aceh merupakan azab Tuhan sebab desain Tuhan terhadap semesta itu, bagi Goenawan, tak bisa dijangkau dengan penuh-seluruh. Tuhan dalam pandangan manusia adalah Tuhan yang selalu berada dalam tafsir dan tafsir itu selalu terbuka untuk gagal.
Menurut saya, melalui antitheodisenya, Goenawan bukan hanya menolak konsep Tuhan ala Leibniz tapi juga menolak segala upaya untuk mengonsepkan Tuhan secara pasti dan total, sebuah upaya membentuk konsep yang tak mengakui ada celah untuk salah. Konsep Tuhan yang utuh itu, bagi Goenawan, hanyalah berhala.
Meski antitheodise Goenawan cukup mewarnai Debu, Duka, dsb, tapi ide paling besar (frasa “ide paling besar” sendiri sebenarnya tak mungkin disukai Goenawan) yang dibawa Goenawan, menurut saya, adalah perihal takdir manusia. Maka, Debu, Duka, dsb yang seharusnya berbicara perihal Tuhan itu justru lebih banyak bicara soal manusia.
Dalam pandangan Goenawan, Tuhan memang tak lepas dari manusia. Semua pembicaraan perihal Tuhan selalu datang dari kaca mata manusia dan di sini kita akan menemui ambiguitas yang paling digemari Goenawan: bagaimana mungkin Tuhan yang transeden dan tak terjangkau itu bisa diringkus dalam pengertian ala manusia yang terbatas, sempit, dan daif? Bila Tuhan tak bisa dipahami dengan sungguh-sungguh, lalu bagaimana manusia harus menjelaskan dunia dan takdirnya?
Manusia butuh kepastian untuk memahami dunianya tapi bagaimana bila kepastian itu—pengertian tentang Tuhan, juga keadilan—tak pernah benar-benar ada? Bagaimana bila manusia harus menanggung penderitaan tanpa sebuah dasar yang pasti? Ini pertanyaan-pertanyaan favorit Goenawan dan untuk menjawabnya, ia pasti akan mengutip Albert Camus atau Nietzshce. Goenawan sangat menggemari mitologi Sisifus yang pernah ditafsirkan Camus dengan nuansa absurdisme yang kental. Sisifus dalam tafsir Camus, bisa jadi, adalah model yang paling disukai Goenawan untuk menggambarkan manusia.
Sisifus yang dihukum membawa batu ke puncak gunung oleh para dewa itu, kita tahu, adalah terpidana seumur hidup. Tiap kali batu yang dipanggulnya sampai ke puncak bukit, batu tersebut akan turun lagi dari bawah dan Sisifus harus membawanya naik kembali. Lalu batu itu turun lagi dan Sisifus membawanya naik. Dalam tafsir Camus, kita tahu, akhirnya Sisifus justru berhasil mengatasi hukuman itu—bukan dalam pengertian ia berhasil lepas dari hukuman itu tapi ia berhasil menerima hukuman itu sebagai takdirnya. Dalam konteks itu, hukuman itu tak lagi hukuman. Ia takdir yang diterima dengan kepala tegak.
Goenawan sangat menyukai Sisifus yang menerima takdir itu. Baginya, meski manusia ada di dunia yang penuh malapetaka, manusia bisa tetap bahagia dengan menerima takdir tersebut. Dalam konteks ini, Goenawan juga menyukai Nietzsche yang menganjurkan penerimaan atas hidup bahkan jika hidup itu suatu siklus yang selalu berulang kembali secara sama persis.
Tapi dalam kaitan dengan ini, Goenawan akan tak disukai oleh para pemikir Marxis. Sebab, hasil akhir dari penerimaan takdir manusia itu adalah status quo, di mana si tertindas menjadi bahagia bukan karena berhasil menghapuskan penindasan tapi karena si tertindas menerima penindasan itu sebagai takdirnya. Emansipasi, salah satu kata kunci dalam Marxisme, adalah kata yang dicurigai Goenawan: dalam emansipasi memang bisa ada pembebasan tapi dalam tiap emansipasi yang membutuhkan keutuhan total, bisa terjadi pula penindasan.
Itulah kenapa Martin Suryajaya, salah satu pemikir muda di Indonesia yang gemilang, mengkritik habis tata bangunan pikir Goenawan soal emansipasi ini. Bagi Martin, akibat terakhir dari logika pikir Goenawan adalah tak perlu ada emansipasi. Sisifus tak perlu melawan dewa-dewa, ia cukup menerima takdirnya. Masalahnya adalah, Goenawan bukan cuma pemikir yang melamun. Dia juga aktivis dan kita tahu selama Orde Baru dia melawan. Dia melakukan emansipasi—sembari, saya bayangkan, ia terus mencurigai proses emansipasi yang dilakukannya sendiri.
Goenawan juga memihak secara politik ketika dia berpihak pada Boediono dalam Pemilu 2009, juga ketika ia membela Sri Mulyani dalam kasus Bank Century. Artinya, dia tak berpangku tangan meski kita bisa sangat tak sependapat dengan pemihakannya tersebut. Lagipula, dalam mitologi Sisifus, tak ada yang bisa dilakukan lagi oleh Sisifus: ia tak mungkin melawan para dewa. Artinya, hukuman itu memang takdir yang tak bisa diubah.
Melalui Sisifus dalam tafsir Camus, Goenawan, menurut saya, bukannya ingin mengatakan manusia tak bisa melakukan apa-apa buat mencegah keburukan. Bagi saya, Goenawan hanya menyatakan: manusia itu daif dan terbatas sehingga semua upaya yang dilakukannya mungkin tak pernah benar-benar bisa mengubah dunia menjadi surga. Dunia tetap akan penuh dengan malapetaka tapi bukan berarti manusia harus muram menerima itu. Manusia tetap bisa bahagia walau hidup dalam dunia semacam itu, dengan cara menerima takdir tersebut.
Tapi sekali lagi: menerima takdir bahwa dunia tak bisa jadi surga bukan berarti berpangku tangan. Perjuangan tetap perlu. Di alam semesta, manusia memang hanya setitik debu yang menanggungkan duka, tapi bukan berarti debu itu tak bisa mengubah apa-apa dan tak perlu melakukan apa-apa.
Jakarta, 29 Desember 2011
Haris Firdaus
semakin yakin dengan dugaanku, semakin tua umur penulis, akhirnya ia akan menulis tentang: tuhan, pulang dan kematian… 😀
He3. Mungkin benar Mas. Tapi GM menulis soal Tuhan sejak dulu kok, meski mungkin makin tua makin intens 😀
deru dan debu nich..
Tuhanku dalam debu duka dsb. sebuah buku yang tipis utk sekedar mengukur keimanan kita
Tuhan itu meliputi segala sesuatu, like this, “Tuhan adalah sosok yang maha transeden, tak bisa dijangkau dengan nalar manusia yang terbatas”
Gunawan Mohammad adalah salah satu sastrawan besar yg dimliki oleh Negeri ini, semoga ada generasi yang menggantikan sekaliber beliau
menarik tulisannya…
Edan, Ris. Tulisan menarik, terutama soal “memiliki alergi yang lumayan akut terhadap segala hal yang utuh dan total” dan “manusia itu daif dan terbatas sehingga semua upaya yang dilakukannya mungkin tak pernah benar-benar bisa mengubah dunia menjadi surga.” Sedikit banyak itu hal-hal yang gue rasakan setiap membaca tulisan2 GM, dan kamu berhasil merasionalikannya dalam sebuah tulisan dengan jelas. Btw, sangat “galau” juga di akhir tahun menuliskan hal-hal beginian, ya… Haha. Apa pun, karena sekarang sudah Tahun Naga Air!
sebagai pembaca tulisan GM, aku lama sekali merasakan hal ini, di. dan ketika buku ini terbit, aku merasa inilah buku yg merangkum pemikiran GM selama ini yang terserak di esai-esainya. makanya, aku sebut ini buku utuh pertama GM dan penting utk para pengkaji GM