Harapan dan Momentum Mesuji

Register-45

You may also like...

9 Responses

  1. yudhi says:

    bagian endingnya keren.
    ayo ris, terus diungkap!

  2. Kebon jahe says:

    Mas, yang saya tau, masyarakat di Register 45 punya sejarah jelek sama Kementerian Kehutanan. Banyak dari mereka yang perambah hutan. Sudah beberapa tahun ini perwakilan warga dari Register 45 bolak-balik ke kantor planologi di Bogor (kantornya di seberang gerbang kebon raya bogor) untuk minta pelepasan status hutan di wilayah mereka tapi ditolak.

    Kementerian Kehutanan nolak karena gak ada rekomendasi dari Gubernur Lampung (yang merupakan salah satu syarat). Gubernurnya sendiri ogah juga ngelepas karena wilayah hutan di Lampung udah minim banget. Sesuai peraturan, Propinsi di luar pulau Jawa minimal harus punya 30% lahan berupa hutan. Nah, Lampung itu udah mepet banget.

    Mungkin agak gak nyambung sama sengketa lahan antara masyarakat dengan perkebunan. Tapi mengingat reputasi orang di sana yang lumayan sering nakal, ada baiknya juga berhati-hati.

    Mungkin banget mereka salah, tapi mereka gak sadar kalo mereka salah. Mungkin juga tanah yang mereka sengketain itu ternyata masuk kawasan hutan. Kalo udah gitu, mau perkebunan ato masyarakat yang ngaku punya tanah itu pasti salah.

    • haris says:

      terima kasih komentar bagusnya. di Register 45 memang ada beberapa konflik, yang untuk mudahnya bisa dibagi menjadi dua konflik besar: pertama, konflik warga adat dengan PT Silva dan kedua, konflik warga pendatang dengan PT Silva. untuk diketahui, kedua konflik ini memang berkaitan dengan wilayah hutan, bukan lahan tanah. tpai hutan itu sendiri sudah “dilepas” ke PT Silva untuk hutan industri. masalahnya, sejak 1997, hutan-hutan ini mangkrak, tak diurus, sehingga warga pendatang mulai menduduki lahan kosong itu. secara hukum formal ini tidak benar, tapi dalam perspektif keadilan tanah jelas beda karena PT Silva ini menguasai 43 ribu hutan, kok masyarakat nggak boleh mempunyai lahan 2 hektar saja, misalnya?

      di antara warga refister 45 memang ada yang nakal. terutama yang menjuali lahan yang bukan miliknya ke pendatang. ini jadi soal serius karena warga pendatang yang tinggal di sana kemudian menjadi korban dua kali, kehilangan lahan sekaligus uang. oknum-oknum penjual lahan inilah yang memang patut diwaspadai. berdasae beberapa sumber saya, oknum ini berkait dengan Lembaga Adat Megou Pak tapi ketua lembaga adat itu sudah menyangkal. yang menjual itu bukan atas nama lembaga adat tapi oknum2 saja.

      bagi saya, tanah di regsiter 45 harus ditata ulang. kurangi lahan milik PT Silva, lalu redistribusikan ke warga dengan seleksi yang ketat. tapi tentu patut dipikirkan soal kuota 30 persen hutan itu.

      terima kasih

    • Kebon jahe says:

      Terima kasih untuk insightnya, mas. Saya sendiri sebenarnya gak terlalu paham dengan lahan yang disengketain.

      Kalau lahan tersebut adalah hutan, maka mungkin PT Silva hanya diberi ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Kalau ini yang terjadi, maka lahan ini masih berstatus hutan. Artinya lahan ini tetap harus berfungsi sebagai hutan, penanaman sawit jelas adalah sebuah pelanggaran.

      Tapi kalau lahan itu sudah tidak berstatus hutan, artinya kemenhut memang sudah melepas status kehutanan dan sawit boleh-boleh saja ditanam di sana.

      Kalo dari namanya, Silva Inhutani, ini harusnya hutan banget. harusnya geraknya di sektor hutan industri sih ya. Tapi dari berita yang bersliweran kok katanya sawit ya?

      Penyelesaiannya emang bakal rumit nih kayaknya. Makasih untuk informasinya, mas.

    • haris says:

      PT Silva Inhutani Lampung itu memegang jenis izin HTI, Mas. Hutan Tanaman Industri. Dia menanam karet dan pohon alba, bukan kelapa sawit. Jadi memang masih hutan. Kalau kelapa sawit itu konflik lain, di Sungai Sodong dan Sri Tanjung dkk.

      Tapi masalah ini gak bisa dilihat hanya dari status hukum legal saja, Mas. Kalau status hukum, masyarakat kalah karena lahan tempat mereka tinggal masih berstatus hutan. tapi sekali lagi ini harus dilihat dari perspektif keadilan. bagaimana masyarakat kecil tidak punya tempat tapi perusahaan menguasai puluhan ribu hektar tanah. di mana keadilan kalau begini?

  3. Nanda says:

    Bagus mas Haris. Saya paling terharu membaca bagian wartawan yang dianggap sebagai prajurit Allah.

    • haris says:

      iya, nan. ini paling mengharukan tapi juga paling membuat pundakku jadi punya beban berat. hiks.

  4. Yang pertama-tama harus mendapatkan hukuman dari kasus di register 45 jelas PT. Silva Inhutani Lmapung yang mendapat konsesi Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) tapi sebagian lahannya ditelantarkan bahkan ada oknumnya yang menanami lahannya dengan nanas. Nah, kalau perusahaan tak sanggup mengelola lahan seluas 43.100 hektare harus dilakukan audit oleh pemerintah. Jadi, masyarakat mula-mula datang karena melihat lahan kosong. Dalam konteks ini kita nggak bisa salahin masyarakat yang memang butuh tanah, tapi yuk apakah pemerintah sudah melakukan audit pada perusahaan? Jika memang perusahaan tak mampu kan luasan konsesinya harusnua dikurangi sesuai kemampuannya dan sisa lahannya bisa untuk masyarakat. Nah, bukankah sampai sekarang belum dilakukan audit oleh kementerian kehutanan pada PT. SIL? mengapa tidak diaudit? apakah ada kongkalingkong? ingat juga ya, PT. SIL itu hasil merger Inhutani V dengan PT. Silva Lampung Abadi. Nah, mengapa mereka merger? Ada yang tahu?

    Alasan kementerian kehutanan nggak mau melepaskan karena nggak ada rekomendasi dari Gubernur Lampung karena dianggap kawasan hutan di lampung tinggal sedikit itu aneh, sebab Register 45 itu bukan hutan lindung apalagi hutan konservasi. Itu Hutan Tanaman Industri yang fungsinya untuk nanam kayu akasia. Kau akasia nggak ada hubungannya sama konservasi hutan karena itu untuk kebutuahn industri.

    Membaca konflik di Register 45 pun harus dilihat sampai 100 tahun ke belakang loh. Kita kan tahunya dari tahun 1980an saja, jauh dari akarnya. Selain itu konflik di Register 45 ada 3 kelompok besar. Moro-Moro yang sudah berdiri sejak 1997 dna bangun kampung yang hijau. Wilayah Pekat yang di utara dan di timur yang merupakan hasil penebangan kayu2 akasia entah atas komando siapa. Jadi, konflik ini baru akan bersih jika akarnya dibersihin dulu, yaitu audit perusahaan. Kalau itu ngga dilakukan sampe kapanpun konflik disana nggak akan selesai.

    Salam,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>