Harapan dan Momentum Mesuji
Pekan lalu, dari Jumat sampai Minggu, saya mengunjungi wilayah Mesuji yang masuk dalam dua provinsi, Lampung dan Sumatra Selatan, untuk meliput seputar konflik di sana. Sejak awal, niatan saya tidak pernah muluk-muluk: saya hanya ingin mendapatkan gambaran nyata perihal konflik itu, dengan validitas yang bisa dipertanggungjwabkan. Ini kelihatannya merupakan soal sederhana, tapi dalam konflik di Mesuji, sejak awal kita semua menyadari bahwa ada kesulitan untuk memahami fakta-fakta yang sesungguhnya sangat sederhana.
Ketidakpahaman orang bahwa Mesuji ada di dua provinsi, misalnya, terjadi cukup lama. Juga catatan perihal korban meninggal 30 orang yang diulang-ulang cukup lama. Media massa Jakarta, pada hari-hari awal, melaporkan kasus ini dengan sangat tidak komprehensif, terpotong-potong, dan penuh distorsi informasi. Saya bersyukur ditugaskan ke Mesuji, meski penugasan itu mendadak, dan saya terjun ke lapangan dengan peta konflik yang masih buram.
Menyadari ketidakpahaman saya itu, sejak awal saya menghubungi sejumlah kawan LSM bidang agraria supaya bisa mendapat informasi awal sebagai panduan, juga supaya saya bisa mendapat kontak orang-orang di lapangan yang bisa membantu liputaan saya. Ketika sampai di lapangan, saya baru menyadari kenapa begitu banyak distorsi informasi terjadi soal Mesuji. Penyebab pertama adalah jauhnya jarak Mesuji dengan Jakarta dan susahnya medan untuk mencapai wilayah konflik di sana.
Soal kedua adalah banyaknya wilayah yang mempunyai konflik di Mesuji. Kini, kita tahu, ada tiga konflik besar di Mesuji. Yang pertama terjadi di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), di mana masyarakat berkonflik soal kerja sama pembangunan kebun plasma kelapa sawit dengan dua perusahaan: PT Treekreasi Margamulia dengan PT Sumber Wangi Alam. Konflik inilah yang memakan korban tujuh orang, masing-masing dua warga dan lima orang di pihak PT Sumber Wangi Alam. Dua sekuriti perusahaan, kita tahu, dipenggal kepalanya.
Konflik kedua terjadi di tiga desa di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, yakni Desa Sri Tanjung, Kagungan Dalam, dan Nipahkuning. Warga tiga desa itu berkonflik dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo dan PT Lampung Interpretiwi, lagi-lagi soal kerja sama pembangunan kebun plasma kelapa sawit. Satu orang warga meninggal karena ditembak aparat kepolisian.
Konflik ketiga terjadi di wilayah yang akrab disebut sebagai Register 45 di Kabupaten Mesuji. Ini konflik yang paling rumit. Intinya, warga di beberapa desa berebut lahan hutan dengan PT Silva Inhutani Lampung. Konflik ini terjadi karena warga merasa tanah mereka diserobot oleh PT Silva. Penyerobotan ini terjadi ketika PT Silva mendapat tambahan wilayah hutan untuk dikelola menjadi hutan industri.
Selain itu, masih ada konflik antara warga pendatang yang masuk menduduki lahan yang diklaim milik PT Silva. Sampai sekarang, saya belum mengetahui secara persis ada berapa desa atau wilayah yang punya konflik dengan PT Silva karena luasnya areal Register 45 itu. Yang jelas, selama tahun ini, terjadi beberapa kali penggusuran di Register 45 dengan korban meninggal satu orang karena luka tembak. Akibat penggusuran ini, ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan ladang.
Dari gambaran sekilas itu, jelas bahwa konflik di Mesuji sangat kompleks. Kondisi ini diperparah dengan rentang waktu terjadinya konflik yang sangat lama, juga video kekerasan yang ternyata merupakan kompilasi dari pelbagai kejadian, termasuk kejadian di Pattani, Thailand.
Selain itu, ketika kasus ini mencuat di Komisi III DPR, sebenarnya tak jelas pihak-pihak yang melaporkan kasus ini mewakili siapa. Sepanjang hasil verifikasi saya di lapangan, Lembaga Adat Megou Pak, yang membawa kasus ini ke Komisi III, sebenarnya hanya merepresentasikan warga di Register 45 dan itu pun tidak secara keseluruhan. Warga Sungai Sondong, juga Sri Tanjung dan kawan-kawan, tidak mempunyai hubungan apapun dengan lembaga adat itu.
Turut campurnya orang-orang semacam Saurip Kadi dalam masalah ini juga menimbulkan pelbagai analisis. Situs petapolitik.com, misalnya, membuat analisis panjang yang berkesimpulan Saurip Kadi punya motif politik saat mengangkat kasus ini. Saurip Kadi, kata petapolitik.com, diduga dekat dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan ekspos besar-besaran kasus Mesuji berkaitan dengan kepentingan Golkar untuk melemahkan citra pemerintahan SBY-Boediono.
Saya tidak tahu persis sejauh mana kebenaran analisis soal Saurip Kadi dan Golkar itu. Tapi, bila pun itu benar, saya kira ini tidak terlalu masalah. Bagaimanapun, harus diakui, dengan ikut campurnya beberapa tokoh itu justru membuat kasus Mesuji yang sebenarnya sudah lama terjadi tapi tak pernah terekspos besar-besaran bisa mencuri perhatian publik luas. Kini media-media Jakarta berlomba mengirim wartawan ke sana dan berebut menyajikan berita-berita eksklusif.
Saya berpandangan, sesudah detail konflik lapangan jelas, kini saatnya kita memilih fokus. Lupakan “bunga-bunga” dalam kasus ini, seperti keaslian video dan keterlibatan Saurip Kadi atau Golkar, dan mari berfokus menyelesaikan konflik lahan di sana. Ya, konflik lahan yang harus diselesaikan, bukan sekadar memproses hukum para pelaku pembunuhan. Dalam konteks ini, media massa harusnya didorong tidak hanya terus-menerus bercerita soal aksi pembunuhan dengan pemenggalan kepala dan perusakan pabrik, tapi juga soal konflik lahan di wilayah itu.
Saya tahu, kasus konflik lahan memang kalah seksi daripada pembunuhan sadis dengan memenggal kepala. Saya juga tahu, yang membuat heboh kasus ini adalah soal rekaman kepala yang dipenggal. Tapi, menyoal itu terus-menerus tak menyelesaikan masalah. Konflik agraria adalah sumber masalah, dan masalah ini terjadi puluhan tahun sehingga efek dari konflik itu bisa sangat besar. Yang penting dicatat: konflik lahan itu harus diselesaikan sekarang, saat momentum konflik Mesuji ini belum lewat, dan media massa masih memberi perhatian besar.
Tim gabungan bentukan pemerintah, oleh karenanya, tidak hanya harus mencari fakta, tapi juga menyelesaikan akar masalah. Tim itu harus menerobos kewenangan birokrasi daerah dan pusat yang selama ini tumpul mencari solusi konflik agraria di Mesuji. Semua itu mesti dilakukan sekarang, ketika momentum terangkatnya kasus ini belum lewat.
***
Saya menulis esai yang berapi-api ini semata-mata karena saya merasa terlibat dengan Mesuji, meski jelas saya tak tahu sangat banyak soal konflik di sana. Saya memutuskan menulis ini pada tengah malam ketika saya terus teringat pertanyaan seorang pria yang turut mengadvokasi kasus sengketa lahan di Sungai Sodong.
Pada suatu petang, sambil menonton televisi yang terus menayangkan konflik Mesuji, pria itu, yang menjadi pemandu saya meliput ke Sungai Sodong, bertanya: “Kalau media memberitakan kasus ini secara besar-besaran gini, kira-kira apakah konflik lahan ini akan selesai ya, Mas?” Saya diam mendengar pertanyaan itu, tapi kemudian memberi jawaban yang bernada optimis. Padahal sebenarnya saya tidak yakin. Saya sedih sekali bila teringat pertanyaan itu. Sangat sedih.
Sama sedihnya ketika saya teringat Keis, perempuan 22 tahun beranak satu, yang rumah dan ladangnya di Register 45 digusur paksa. Saya menemuinya di pengungsian, sedang memandikan anaknya yang masih balita di dalam sebuah ember hitam berukuran kecil. Keis berkeluh kesah dengan suara keras, meski saya tak memintanya, tentang bagaimana dia meninggalkan kampungnya di Jawa Barat bersama suami dan anaknya, lalu pindah ke Mesuji karena tergiur tanah yang berharga murah. “Kalau bisa menangis, kami akan nangis, Mas. Tapi air mata kami sudah susut,” katanya.
Mereka yang membaca tulisan ini mungkin akan menganggap kisah Keis sebagai klise belaka, tapi saya ada di sana, menatap wajahnya, melihat matanya yang tak punya harapan, juga anak balitanya yang masa depannya tak jelas. Percayalah, kesedihan yang timbul akibat pengalaman fisik jauh lebih menyiksa daripada kesedihan akibat membaca berita paling dramatis sekalipun, dan itulah yang saya rasakan hingga sekarang.
Saya juga sedih ketika ingat perkataan seorang tokoh masyarakat di Desa Sri Tanjung yang menyebut para wartawan dari Jakarta yang meliput konflik di sana sebagai “prajurit yang dikirimkan Allah”. Dia mengatakan itu kepada seorang keluarga korban yang masih trauma dan belum mau terbuka saat saya wawancarai. “Nggak usah takut, mereka ini prajurit yang dikirimkan Allah untuk membantu kita semua,” kata si tokoh itu sambil menunjuk saya dan kawan fotografer saya.
Saya bergetar hebat saat mendengar perkataan itu karena menyadari betapa besarnya harapan mereka pada media massa, atau pada momentum yang sekarang terjadi berkait kasus Mesuji. Saya tak bisa membayangkan saat momentum itu kemudian lewat, ketika media tak lagi memberi porsi besar pada kasus ini, dan para warga di Mesuji dibiarkan lagi sendiri dan ketakutan menghadapi perusahaan besar yang dibekingi aparat keamanan. Saya tak bisa dan tak ingin membayangkan itu terjadi.
Jakarta, 22 Desember 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari Tempo.co
bagian endingnya keren.
ayo ris, terus diungkap!
Terima kasih, Mas. ini memang harus terus digulirkan. sampai tuntas.
Mas, yang saya tau, masyarakat di Register 45 punya sejarah jelek sama Kementerian Kehutanan. Banyak dari mereka yang perambah hutan. Sudah beberapa tahun ini perwakilan warga dari Register 45 bolak-balik ke kantor planologi di Bogor (kantornya di seberang gerbang kebon raya bogor) untuk minta pelepasan status hutan di wilayah mereka tapi ditolak.
Kementerian Kehutanan nolak karena gak ada rekomendasi dari Gubernur Lampung (yang merupakan salah satu syarat). Gubernurnya sendiri ogah juga ngelepas karena wilayah hutan di Lampung udah minim banget. Sesuai peraturan, Propinsi di luar pulau Jawa minimal harus punya 30% lahan berupa hutan. Nah, Lampung itu udah mepet banget.
Mungkin agak gak nyambung sama sengketa lahan antara masyarakat dengan perkebunan. Tapi mengingat reputasi orang di sana yang lumayan sering nakal, ada baiknya juga berhati-hati.
Mungkin banget mereka salah, tapi mereka gak sadar kalo mereka salah. Mungkin juga tanah yang mereka sengketain itu ternyata masuk kawasan hutan. Kalo udah gitu, mau perkebunan ato masyarakat yang ngaku punya tanah itu pasti salah.
terima kasih komentar bagusnya. di Register 45 memang ada beberapa konflik, yang untuk mudahnya bisa dibagi menjadi dua konflik besar: pertama, konflik warga adat dengan PT Silva dan kedua, konflik warga pendatang dengan PT Silva. untuk diketahui, kedua konflik ini memang berkaitan dengan wilayah hutan, bukan lahan tanah. tpai hutan itu sendiri sudah “dilepas” ke PT Silva untuk hutan industri. masalahnya, sejak 1997, hutan-hutan ini mangkrak, tak diurus, sehingga warga pendatang mulai menduduki lahan kosong itu. secara hukum formal ini tidak benar, tapi dalam perspektif keadilan tanah jelas beda karena PT Silva ini menguasai 43 ribu hutan, kok masyarakat nggak boleh mempunyai lahan 2 hektar saja, misalnya?
di antara warga refister 45 memang ada yang nakal. terutama yang menjuali lahan yang bukan miliknya ke pendatang. ini jadi soal serius karena warga pendatang yang tinggal di sana kemudian menjadi korban dua kali, kehilangan lahan sekaligus uang. oknum-oknum penjual lahan inilah yang memang patut diwaspadai. berdasae beberapa sumber saya, oknum ini berkait dengan Lembaga Adat Megou Pak tapi ketua lembaga adat itu sudah menyangkal. yang menjual itu bukan atas nama lembaga adat tapi oknum2 saja.
bagi saya, tanah di regsiter 45 harus ditata ulang. kurangi lahan milik PT Silva, lalu redistribusikan ke warga dengan seleksi yang ketat. tapi tentu patut dipikirkan soal kuota 30 persen hutan itu.
terima kasih
Terima kasih untuk insightnya, mas. Saya sendiri sebenarnya gak terlalu paham dengan lahan yang disengketain.
Kalau lahan tersebut adalah hutan, maka mungkin PT Silva hanya diberi ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Kalau ini yang terjadi, maka lahan ini masih berstatus hutan. Artinya lahan ini tetap harus berfungsi sebagai hutan, penanaman sawit jelas adalah sebuah pelanggaran.
Tapi kalau lahan itu sudah tidak berstatus hutan, artinya kemenhut memang sudah melepas status kehutanan dan sawit boleh-boleh saja ditanam di sana.
Kalo dari namanya, Silva Inhutani, ini harusnya hutan banget. harusnya geraknya di sektor hutan industri sih ya. Tapi dari berita yang bersliweran kok katanya sawit ya?
Penyelesaiannya emang bakal rumit nih kayaknya. Makasih untuk informasinya, mas.
PT Silva Inhutani Lampung itu memegang jenis izin HTI, Mas. Hutan Tanaman Industri. Dia menanam karet dan pohon alba, bukan kelapa sawit. Jadi memang masih hutan. Kalau kelapa sawit itu konflik lain, di Sungai Sodong dan Sri Tanjung dkk.
Tapi masalah ini gak bisa dilihat hanya dari status hukum legal saja, Mas. Kalau status hukum, masyarakat kalah karena lahan tempat mereka tinggal masih berstatus hutan. tapi sekali lagi ini harus dilihat dari perspektif keadilan. bagaimana masyarakat kecil tidak punya tempat tapi perusahaan menguasai puluhan ribu hektar tanah. di mana keadilan kalau begini?
Bagus mas Haris. Saya paling terharu membaca bagian wartawan yang dianggap sebagai prajurit Allah.
iya, nan. ini paling mengharukan tapi juga paling membuat pundakku jadi punya beban berat. hiks.
Yang pertama-tama harus mendapatkan hukuman dari kasus di register 45 jelas PT. Silva Inhutani Lmapung yang mendapat konsesi Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) tapi sebagian lahannya ditelantarkan bahkan ada oknumnya yang menanami lahannya dengan nanas. Nah, kalau perusahaan tak sanggup mengelola lahan seluas 43.100 hektare harus dilakukan audit oleh pemerintah. Jadi, masyarakat mula-mula datang karena melihat lahan kosong. Dalam konteks ini kita nggak bisa salahin masyarakat yang memang butuh tanah, tapi yuk apakah pemerintah sudah melakukan audit pada perusahaan? Jika memang perusahaan tak mampu kan luasan konsesinya harusnua dikurangi sesuai kemampuannya dan sisa lahannya bisa untuk masyarakat. Nah, bukankah sampai sekarang belum dilakukan audit oleh kementerian kehutanan pada PT. SIL? mengapa tidak diaudit? apakah ada kongkalingkong? ingat juga ya, PT. SIL itu hasil merger Inhutani V dengan PT. Silva Lampung Abadi. Nah, mengapa mereka merger? Ada yang tahu?
Alasan kementerian kehutanan nggak mau melepaskan karena nggak ada rekomendasi dari Gubernur Lampung karena dianggap kawasan hutan di lampung tinggal sedikit itu aneh, sebab Register 45 itu bukan hutan lindung apalagi hutan konservasi. Itu Hutan Tanaman Industri yang fungsinya untuk nanam kayu akasia. Kau akasia nggak ada hubungannya sama konservasi hutan karena itu untuk kebutuahn industri.
Membaca konflik di Register 45 pun harus dilihat sampai 100 tahun ke belakang loh. Kita kan tahunya dari tahun 1980an saja, jauh dari akarnya. Selain itu konflik di Register 45 ada 3 kelompok besar. Moro-Moro yang sudah berdiri sejak 1997 dna bangun kampung yang hijau. Wilayah Pekat yang di utara dan di timur yang merupakan hasil penebangan kayu2 akasia entah atas komando siapa. Jadi, konflik ini baru akan bersih jika akarnya dibersihin dulu, yaitu audit perusahaan. Kalau itu ngga dilakukan sampe kapanpun konflik disana nggak akan selesai.
Salam,