Tugas Sedih Sondang Hutagalung
Seorang pejuang tidak hanya dihargai dari hasil yang dicapainya, tapi juga dari niatan awalnya. Dengan keyakinan semacam itulah saya ingin menyampaikan rasa salut dan hormat untuk Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta, yang membakar diri di depan Istana Merdeka pada Rabu, 7 Desember lalu, demi meneriakkan sebuah protes.
Kita tidak pernah benar-benar mengetahui motivasi Sondang karena belum ada surat wasiat yang ditemukan atas namanya tapi kita semua menerka-nerka Sondang memilih jadi martir untuk membuat sebuah perubahan. Tapi perubahan yang semacam apa? Konon, sebelum membakar diri, Sondang berteriak, “Turunkan SBY!” Dari sini, barangkali, kita bisa menebak bahwa Sondang ada dalam barisan aktivis yang tidak puas dengan kinerja pemerintah SBY-Boediono dan berharap terjadi sebuah perubahan radikal sebelum Pemilu 2014.
Bila benar Sondang ada dalam barisan aktivis yang berpikiran seperti itu, maka dengan segala hormat, saya harus menyatakan bahwa saya tak sepakat dengan dia. Saya tidak sedang memosisikan diri sebagai pembela dari pemerintah. Saya hanya ingin menjadi seorang yang realistis. Betapapun banyak masalah yang kita hadapi sekarang, betapapun jeleknya kinerja pemerintah di beberapa bidang, kita harus mengakui bahwa membubarkan pemerintahan ini di tengah jalan tak akan menyelesaikan semua masalah.
Alih-alih menyelesaikan semua masalah, pembubaran pemerintah justru menimbulkan segudang masalah baru. Revolusi, apa boleh buat, tidak akan otomatis menyelesaikan masalah di Indonesia. Saya percaya, demokrasi di Indonesia yang ada sekarang sudah cukup baik karena setidaknya kita punya kebebasan berpendapat yang sangat luas meski sistem representasi politik memang belum berkorelasi positif dengan terwakilinya kepentingan rakyat.
Kita semua memahami Indonesia punya banyak masalah dan beberapa di antara kita lalu berimajinasi tentang sebuah perubahan radikal, perubahan total, semacam perubahan besar yang bisa menyelesaikan semua masalah. Revolusi di beberapa negara Timur Tengah menguatkan imajinasi tersebut dan dengan gagah beberapa aktivis menggalang demonstrasi untuk menurunkan SBY-Boediono. Hasilnya, tidak ada apa-apa. Legitimasi SBY-Boediono juga tidak tergerus banyak akibat demonstrasi yang digerakkan oleh massa bayaran itu.
Selain konteks sosial Indonesia yang berbeda, yang tidak dalam posisi siap melakukan perubahan radikal, revolusi ala negara-negara Timur Tengah terbukti tak menyelesaikan semua masalah. Pertikaian politik di Mesir dan Libya paska turunnya Husni Mubarok dan Muammar Qadhafi sudah cukup menjadi bukti bahwa revolusi juga terus menyisakan pekerjaan rumah yang tak mudah.
Oleh karena itu, dalam negara seperti Indonesia yang kondisinya lumayan demokratis, saya berpendapat perubahan sektoral dan setahap demi setahap jauh lebih penting dan berguna. Maksud saya, tidak perlulah SBY-Boediono diturunkan tapi mari berkonsentrasi pada masalah-masalah khusus di pelbagai bidang, seperti hukum, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Sepanjang pengamatan saya sebagai wartawan, perbaikan-perbaikan yang terjadi di Indonesia sesudah reformasi merupakan perbaikan yang sifatnya sektoral dan dilakukan sedikit demi sedikit. Tidak radikal. Dibandingkan dengan tuntutan-tuntutan yang sifatnya umum, semacam “Kembali ke Pancasila dan UUD 1945” dan “Turunkan SBY dan Boediono”, dari beberapa kelompok, seperti Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) dan Petisi 28, maka siaran-siaran pers dari Indonesia Corruption Watch (ICW) atau KontraS jauh lebih bergema dan berkontribusi positif.
Riset, investigasi, dan komentar-komentar aktivis ICW dan KontraS di media massa jauh lebih jelas efeknya daripada demonstrasi-demonstrasi Bendera dan Petisi 28. Media massa juga lebih suka pada isu-isu yang sifatnya khusus, tidak abstrak, dan punya efek langsung, daripada sekadar seruan kuno seperti “Mari Kembali ke Konstitusi”. Riset ICW soal rekening gendut Polri, komentar-komentar mereka mengenai kasus Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, jelas lebih menyumbang lebih banyak perbaikan daripada demonstrasi yang paling ricuh sekalipun.
Dengan semua argumentasi itulah saya harus menyatakan berbeda pandangan dengan Sondang Hutagalung. Tapi barangkali, aksi bakar diri yang dilakukannya itu tidak harus dipandang sebagai sebuah tindakan yang menghendaki perubahan total. Mungkin Sondang juga tidak pernah berharap akan ada revolusi sesudah dia membakar dirinya. Kenyatannya, kita tahu, memang tidak ada revolusi sesudah Sondang meninggal pada Sabtu, 10 Desember lalu.
Bagi saya, aksi Sondang itu juga bisa dipandang sebagai bagian dari perubahan bertahap yang harus terus kita perjuangkan. Barangkali, kita juga membutuhkan aksi dengan daya kejut seperti itu, untuk mengingatkan bahwa masalah masih ada dan kita semua harus terus menerus berupaya. Semampu kita.
Seandainya Sondang tidak memilih membakar diri, dan memilih terus berjuang di Himpunan Advokasi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat Bangsa Indonesia (Hammurabi) yang diketuainya, saya kira, dia akan tetap menjadi pejuang. Dia akan tetap punya kontribusi. Tapi Sondang sudah memilih. Dia memilih peran sebagai martir. Kita mesti menghargai keberanian itu meski dengan sedih harus mengakui: kematiannya tak pernah menyulut sebuah perubahan yang benar-benar radikal.
Dengan kesadaran itu, bahwa kematian Sondang ternyata tak menghasilkan perubahan radikal, saya tak sedang mengecilkan perannya tapi justru ingin menambahkan rasa salut untuknya. Sebab, dengan kondisi semacam itu, tugas sedih yang dipilih Sondang itu benar-benar menjelma menjadi tugas yang sangat sedih.
Jakarta, 11 Desember 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
Hemm,cukup kaget dengan keberanian Sondang yang memilih menjadi martir *Diksi mengutip Haris* demi perubahan. Jujur, saya tidak melihat korelasi yang cukup signifikan dengan aksi bakar diri. Pun jikalau dia dianggap sebagai penggiat HAM ( dari beberapa berita online yang saya baca), mungkin Sondang lupa bahwa tindakan bakar dirinya justru telah merenggut hak nya sendiri sebagai manusia.
Namun,benar itu kembali pada Sondang yang memilih untuk melakukan aksi tersebut. Hal yang sangat disayangkan pula jika perubahan (meskipun tidak radika) akan terjadi dengan mengorbankan nyawa seseorang.
**quote**
Konon, sebelum membakar diri, Sondang berteriak, “Turunkan SBY!”
**unqoute**
tolong pakai akal lagi, konon itu berarti masih tidak pasti
saya tidak pro SBY, dan meskipun Indonesia juga belum matang dalam menyelesaikan semua urusan KKN, tapi Indonesia lebih dewasa daripada Mesir dalam hal demokrasi.
Disamping itu, kerusuhan tidak ada di Indonesi yang menginginkan kerusuhan, terutama seperti di tahun 1997