Komposisi Hantu Jawa-Eropa
Tiga penari perempuan itu menjelma menjadi ksatria-ksatria perkasa. Dengan ritme cepat, tangan dan kaki mereka bergerak penuh tenaga. Sikap tubuh mereka gagah dan kaki-kaki mereka kadang mengambil posisi kuda-kuda. Sementara, di samping mereka, seorang penari pria dengan dada bidang, perut kotak-kotak, dan tangan berotot, justru melenggak-lenggok penuh gemulai. Gerakannya lembut dan ekspresi mukanya kemayu. Benar-benar kontras yang tak normal.
Dengan iringan gamelan, juga gerakan yang kebanyakan diambil dari tari tradisi Jawa, komposisi itu makin tampak tak biasa. Pasalnya, empat penari yang memeragakan semua gerak itu berasal dari Eropa. Perbenturan antara tubuh Eropa dengan tata gerak Jawa—juga sebaliknya—itulah yang membuat pertunjukan tari Ghost Track menjadi menarik. 9-10 Februari lalu, komposisi ini dimainkan oleh grup tari LeineRoebana di Teater Salihara, Jakarta Selatan.
Setelah mempertontonkan petikan dari Ghost Track di Teater Salihara akhir tahun lalu, LeineRoebana akhirnya mempertunjukkan versi lengkap komposisi ini yang berdurasi sekitar 90 menit. LeinaRoebana merupakan kelompok tari asal Belanda yang didirikan koreografer Andrea Leine dan Harijono Roebana. Sejak 1990-an, kelompok ini sudah diperhitungkan dalam peta tari kontemporer Belanda.
Dalam versi lengkap Ghost Track kali ini, ada lima penari dari Eropa dan tiga penari dari Indonesia yang dilibatkan. Sementara, untuk iringan musik, LeinaRoebana memilih gamelan. Mereka menggandeng komposer Iwan Gunawan yang memiliki latar belakang gamelan Sunda tapi juga sekaligus mempunyai pengetahuan musik Barat.
Sejak mulai mengerjakan Ghost Track pada 2009, Harijono Roebana memang tertarik memadukan tradisi tari Jawa dengan Eropa. Ketertarikan ini tak lepas dari latar belakang Harjono karena ayahnya berasal dari Indonesia sementara ibunya dari Eropa. “Saya punya keterikatan yang kuat dengan Indonesia,” kata warga negara Belanda ini. Melalui Ghost Track, Harijono dan rekan-rekannya ingin mempertanyakan apakah tradisi yang membentuk tubuh penari akan bisa terlacak dalam gerakan-gerakan mereka.
Dari pertanyaan itu, Harijono mulai menyusun koreografi yang memadukan tari Jawa, terutama yang berasal dari tradisi Solo, dengan tari kontemporer Eropa. Ia mempelajari dasar-dasar gerakan dari tari Jawa, mencatat karakteristiknya, lalu mulai menggabungkannya dengan gerakan-gerakan yang berasal dari Eropa. Salah satu yang menarik Harijono adalah keberadaan orang-orang transgender dalam tradisi kesenian Jawa, yakni lelaki yang memerankan perempuan atau sebaliknya. Dalam Ghost Track, eksplorasi atas hal ini tampak dari gerak lembut penari laki-laki dan gerak gagah penari perempuan.
Hal lain yang dicatat Harijono, misalnya, dalam tari Jawa, gerakan tangan penari itu sangat sering berfokus pada telapak tangan. Setidaknya ada empat posisi telapak tangan dalam tradisi tari Jawa dengan nama berbeda, seperti nyekiting, nyempurit, ngrayung, dan baya mangap. Empat variasi ini hanya dibedakan oleh posisi telapak tangan, bukan bagian tangan lain. Mengetahui karakter semacam ini, Harijono lalu mencoba menggabungkan gerakan tangan ala tari Eropa, yang banyak melibatkan lengan, siku, dan bahkan pundak. Hasilnya, seperti tampak dalam Ghost Track, lumayan menarik.
Menurut Harijono, dalam koreografi, saat komposisi Jawa digabungkan dengan Eropa, secara tidak langsung sebenarnya tercipta satu komposisi baru yang tak kelihatan. “Komposisi yang tak kelihatan inilah yang saya sebut sebagai ghost track,” tuturnya.
Harijono juga menantang para penari dari dua tradisi berbeda itu untuk saling belajar. Para penari dari Solo diminta mempelajari gerakan Eropa, demikian sebaliknya. Yang unik, kata Harijono, pertukaran gerak macam itu tak terlalu sulit dilakukan. Dalam Ghost Track, kita melihat penari-penari Eropa dengan baik menampilkan komposisi-komposisi Jawa. Sementara para penari dari Solo kelihatan sangat wajar saat melakukan gerakan mengayun-ayunkan dada ala Belanda.
Dilihat dari sisi tampilan, Ghost Track pada akhirnya menjadi olah gerak saja, tanpa narasi. Sejak awal, Harijono memang berfokus pada eksplorasi gerak, bukan menciptakan kisah lewat gerak. Maka, bila dalam beberapa bagian ada iringan tembang Jawa dan Sunda yang mengisahkan satu cerita, hal itu sesungguhnya tak berhubungan langsung dengan gerak para penari.
Tapi, meski begitu, bukan berarti Ghost Track jadi sekadar paduan gerakan yang melulu harus dipandang dari sisi teknis koreografi. Melalui komposisi ini, Harijono ternyata juga ingin menyampaikan sesuatu. “Di Eropa sekarang sedang marak xenophobia, ketakutan pada yang asing. Dengan tari ini, saya ingin menyatakan pada publik Eropa bahwa pertemuan dengan yang asing itu bukan berarti meniadakan identitas asli kita,” katanya.
foto diambil dari Tempo.co
Tidak sengaja ketemu blog ini saat “jalan-jalan”, sangat menarik, banyak hal baru yang saya temui di sini
sebagai bagian dari produk budaya, koreografi memang perlu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan kulturalnya. di era kesejagatan seperti sekarang upaya saling belajar merupakan cara yang tepat utk membangun sebuah produk budaya kontemporer yang bagus.