Twitter dan Kenyataan di Luarnya
Film Republik Twitter sebenarnya berangkat dari asumsi zaman baheula yang pernah diungkapkan dengan baik oleh Sosiolog Peter L Berger. Secara sederhana, asumsi itu menyebut bahwa segala objek ciptaan manusia pada satu saat akan mencapai taraf yang relatif independen dari penciptanya, lalu pada suatu saat berikutnya akan balik memengaruhi si pencipta itu. Teknologi adalah contoh paling baik perihal objek yang berpengaruh balik ke penciptanya, dan bila kita butuh detail yang kontekstual dengan kondisi sekarang, kita bisa menyebut Internet sebagai contoh juga.
Internet memang luar biasa. Dia bukan hanya berhasil membuat proses interaksi antar-manusia menjadi efisien dan memudahkan banyak proses dalam kehidupan manusia, tapi juga dianggap telah menciptakan sebuah dunia baru yang begitu dipercaya berbeda dengan “dunia nyata” yang kita tinggali dalam hidup yang sesungguhnya. Frasa “dunia maya” itu jelas rancu dan terlalu hiperbolis sebenarnya, sebab apapun definisi atas frasa itu, dia toh tak pernah layak disebut sebagai “dunia” tersendiri yang berbeda dan tak menjadi bagian dengan “dunia nyata”.
Bahkan bila kita mau jeli, sesungguhnya frasa “dunia nyata” itu juga tak dikenal sebelum kita semua menemukan dan memakai dengan begitu nyaman frasa “dunia maya”. Bagaimanapun dunia itu satu, dan segala yang di dunia itu nyata, termasuk hubungan kita dengan orang-orang lain di Facebook atau Twitter, juga kawan-kawannya. Tapi bukan berarti frasa “dunia maya” itu sepenuhnya salah dan saya hendak menolaknya. Bagi saya, meski hiperbolis, apa yang ingin dirangkum dalam frasa “dunia maya” dan kemudian dioposisi-binerkan dengan “dunia nyata” itu tetap benar-benar ada dan eksis.
Secara kira-kira, “dunia maya” itu adalah segala hal yang ada dan terjadi di pelbagai situs atau jejaring sosial yang ditopang oleh Internet. Dalam Republik Twitter, dunia maya mengacu ke segala hal yang ada di Twitter. Di film garapan Kuntz Agus itu, Sukmo Wiyogo (Abimana Arya) adalah seorang pemuda yang kelihatan cerdas dan percaya diri di Twitter. Ia pandai berkata-kata dan punya follower banyak, dan karena hal itulah dia bisa berkenalan dengan Dyah Hanum Farani (Laura Basuki), seorang perempuan yang cantik, muda, anak pengusaha kaya, yang entah kenapa memilih jadi wartawan majalah.
Dalam sinopsis di website resmi Republik Twitter, Sukmo disebut sebagai orang yang hanya “ganteng” di timeline, tidak di kehidupan nyata. Di Twitter, Sukmo dilukiskan sebagai cowok yang “asik, cerdas, dan penuh kepercayaan diri”. Semua citra itu membuat dia mudah bergaul, termasuk berkenalan dengan Hanum. Tapi, seperti yang disebut dalam sinopsis film tersebut, Sukmo ternyata “berhadapan dengan kenyataan bahwa di dunia nyata semuanya tidak mudah”.
Kita tahu, begitu melihat Hanum secara fisik, Sukmo tiba-tiba merasa tidak percaya diri dan kalah kelas dengan gebetannya itu. Pada titik inilah oposisi biner antara “dunia nyata” dengan “dunia maya” itu disebut terjadi di Republik Twitter. Tapi apakah benar seperti itu? Bila dicermati, perbedaan antara “dunia nyata” dengan “dunia maya” itu hanya berlaku bagi Sukmo dan tidak bagi Hanum. Film itu menunjukkan Hanum di Twitter adalah sama dengan Hanum di dunia nyata.
Bila asumsi itu benar, kenapa Sukmo tidak sejak awal menyadari bahwa sosok Hanum di Twitter itu adalah cewek yang kaya dan “berkelas”? Apakah kicauan-kicauan Hanum tidak cukup menggambarkan hal itu? Bisa jadi begitu. Dan oleh karenanya, bagi saya, ketidakpedean Sukmo di hadapan Hanum sama sekali bukan karena kesenjangan antara sosok dirinya di Twitter dengan di dunia nyata. Ketidakpedean Sukmo itu sebenarnya cuma karena soal sepele: Sukmo tak pernah benar-benar punya pengetahuan memadai soal Hanum.
Ya, bagi saya, memang sesepele itu dan gembar-gembor soal oposisi “dunia maya” dengan “dunia nyata” itu tak terjadi dalam konteks hubungan Sukmo-Hanum. Buktinya, ketika Sukmo berupaya menjadi “cowok Jakarta” yang rapi, terkesan mapan, dan bicara dengan banyak kosa kata bahasa Inggris, Hanum justru mengenali bahwa semua itu bukanlah “Sukmo yang sesungguhnya”. “Di Twitter, lu itu kelihatannya selengekan, kok di sini rapi banget ya?” kata Hanum kesal sebelum keluar dari kafe.
Semuanya sudah jelas sebenarnya: di saat Sukmo tak pernah benar-benar tahu bagaimana sosok Hanum, justru Hanum tahu dengan baik bagaimana sosok Sukmo hanya dari Twitter. Ya, sampai di sini, sudah jelas bahwa tak ada teori canggih soal “dunia maya” yang bisa dijadikan sandaran kisah cinta dua orang ini. Tak perlu mengutip teori Jean Baudrillard soal simulakra untuk menjelaskan kisah cinta Sukmo-Hanum. Semuanya cuma masalah kesenjangan pengetahuan, bukan kesenjangan kenyataan dari dua dunia berbeda.
Menurut saya, relasi kenyataan di Twitter dengan apa yang terjadi dalam hidup justru baru tergambarkan ketika Kemal Pambudi (Tio Pakusadewo) menyuruh Belo Harahap (Edi Oglek) dan anak buahnya untuk merekayasa satu nama supaya menjadi trending topic di Twitter. Di situ, kita lihat bagaimana kesenjangan antara kenyataan di Twitter dengan kenyataan di luar Twitter menemukan bentuknya. Dalam Republik Twitter, dukungan terhadap Arif Cahyadi di Twitter tak digambarkan berkorelasi positif dengan dukungan rill di lapangan.
Bahkan, dukungan hasil rekayasa itu akhirnya dikenali sebagai rekayasa oleh Hanum. Pekerjaan Hanum sebagai jurnalis majalah, bagi saya, memiliki makna simbolik. Bila Twitter adalah cerminan dari new media sementara majalah cetak adalah old media, melalui kisah dalam Republik Twitter itu kita justru mengenali bagaimana hubungan erat keduanya—bukan saling meniadakan seperti yang banyak kita prediksikan dulu.
Dalam film yang skenarionya ditulis novelis Es Ito tersebut, Twitter digambarkan tidak hanya memengaruhi majalah, tapi juga dipengaruhi majalah. Lihat bagaimana setelah Majalah LiniMasa terbit, para pekicau di Twitter ribut dan akun Twitter Kemal Pambudi dijadikan bahan olok-olok. Kemal akhirnya menutup akun Twitternya karena masalah itu.
Di luar film Republik Twitter, kita juga mengenali relasi erat antara old media dengan new media itu, bukan hanya dari sisi saling memengaruhi dalam hal konten. Relasi erat itu juga terbaca dari hubungan mutualisme antara keduanya untuk saling mempopulerkan. Berita di majalah cetak bisa menjadi topik perbincangan di mana-mana bila jadi bahan kicauan di Twitter, sementara isu yang sedang hangat di Twitter bisa mencapai audiens yang lebih luas apabila diberitakan media mainstream.
Jakarta, 23 Februari 2012
foto diambil dari Peneroka.com
Pengen liat filmnya
saya suka tulisannya mas, cukup penasaran juga sebenernya sama film ini cuman belom sempet nonton aja
salam
terima kasih. mari nonton film ini. salah satu film Indonesia tahun ini yang bagus–meski kabarnya tahun ini akan banyak film Indonesia yang bagus tayang di bioskop, semisal The Raid dan Soegija
Pingin tau juga sih bagaimana film twitter-an ini, kadang2 aku berfikir bahwa kita ini dijebak socmed. Begitukah?
dijebak social media? kadang2 iya, tapi saya kira, semua dilakukan dengan sadar kok sebenarnya
belum liat filmnya..
penasaran gara2 baca synopsisnya..hehe
thanks for sharing this article..