Cerita Cinta Si Parasit (Tak) Lajang
Ayu Utami masih bisa menjuluki dirinya sebagai parasit bila mau, tapi jelas tak bisa lagi memanggil dirinya dengan sebutan si parasit lajang—sebagaimana dulu ia pernah menyebut dirinya sendiri—sebab ia sudah menikah Agustus tahun lalu. Novel keempat Ayu yang terbit Februari lalu, Cerita Cinta Enrico, sebenarnya tidak berkisah soal pernikahan tapi penerbitan buku ini, bagaimanapun, sedikit banyak akan dikaitkan dengan pernikahannya.
Pasalnya, tokoh utama novel ini, si Enrico, tak lain adalah suami Ayu, yakni fotografer Erik Prasetya. Dalam sejumlah catatan yang menyertai penerbitan buku ini, pernyataan soal kaitan antara Enrico dengan Erik ini memang gamblang. Bahkan di halaman terakhir Cerita Cinta Enrico, dalam keterangan mengenai buku Eks Parasit Lajang, kumpulan esai Ayu yang akan terbit mendatang, ditegaskan bahwa Ayu Utami telah menikah dengan “Enrico” tahun lalu.
Di website pribadinya, Ayu mengatakan bahwa ia sempat berdebat dengan editornya tentang “status” buku barunya ini: apakah harus disebut sebagai novel atau murni biografi. Novel akhirnya dipilih, sebab sebagaimana dijelaskan dengan panjang lebar oleh Ayu di bagian “Catatan Akhir” Cerita Cinta Enrico, kisah dalam buku ini dibumbui dengan imajinasi, baik berupa penambahan diaolg atau peristiwa maupun pengocokan urutan waktu dan tempat.
Imajinasi memang akhirnya diperlukan, dan mungkin memegang peranan penting dalam novel ini. Pasalnya, sebagaimana tiap penulisan novel yang berbahankan kisah hidup seseorang, konflik akan menjadi soal yang gamblang. Bagaimanapun berwarnanya kisah hidup seseorang, tetaplah dibutuhkan polesan imajinatif untuk membuatnya menjadi konflik yang lumayan dramatis sebagaimana dibutuhkan dalam sebuah novel.
Cerita Cinta Enrico punya tantangan semacam itu. Kisah hidup Enrico dalam novel ini sebenarnya tidak dramatis sekali sehingga beberapa bagian dalam buku ini cenderung datar, datar, dan datar. Ayu harus terus-menerus mengaitkan tiap episode kehidupan Enrico dengan peristiwa sosial politik di sekitarnya yang sebenarnya tidak selalu memiliki pengaruh signifikan ke soal pribadi Enrico untuk membawa pembaca merasa terlibat dengan cerita tersebut.
Peristiwa politik yang paling berpengaruh dalam hidup Enrico adalah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Enrico lahir tepat saat pemberontakan itu meletus dan karena ayahnya adalah tentara yang tunduk di bawah komando sang pemimpin pemberontak, ia akhirnya menjadi “bayi gerilya”. Ia mengungsi ke hutan bersama ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Periode gerilya ini menarik tapi Ayu hanya mengisahkannya dalam beberapa kilas sehingga bagian ini tak membekas panjang. Praktis hanya bagian soal “Operasi Bayi Gerilya” yang benar-benar kuat.
Yang paling banyak dikisahkan Ayu adalah periode kanak-kanak Enrico dan kehidupannya sebagai anak kolong serta bagaimana konfliknya dengan sang ibu bermula. Kisah kehidupan anak kolong yang keras lumayan menarik dan konflik Enrico dengan ibunya juga demikian. Sayang, bagian ini agak berpanjang-panjang menurut saya, meskipun konflik Enrico dengan ibunya memang sangat signifikan dan bahkan menjadi penopang paling mendasar dari struktur cerita novel ini.
Cerita Cinta Enrico, bagi saya, adalah kisah mengenai dilema pembebasan dan problem ini dimulai dari konflik Enrico dengan ibunya. Sang ibu, yang pada awalnya dikenal sebagai perempuan modern dan ceria berangsur menjadi konservatif dan pemurung ketika ia masuk jadi bagian dari Saksi Yehuwa, sebuah sekte agama Katolik yang punya aturan sangat ketat bagi pengikutnya dan percaya Hari Kiamat tiba pada 1975. Ketika si ibu memaksakan doktrin-doktrin Saksi Yehuwa ke Enrico, tepat pada titik itulah pemberontakan sang anak dimulai.
Ayu Utami cenderung melukiskan pemberontakan Enrico terhadap sikap ibunya sebagai motif utama—atau bahkan motif satu-satunya—yang membuatnya menginginkan pembebasan sepenuhnya. Yang disayangkan, novel ini kurang mengeksplorasi kisah-kisah mahasiswa Enrico, sehingga didapat kesan bahwa periode kehidupan ini tak berpengaruh banyak pada sikap-sikap memberontaknya.
Konflik dengan sang ibu, oleh karenanya, kelihatan jadi motif satu-satunya untuk berontak dan hidup bebas. Enrico ingin kuliah di ITB untuk lepas dari kungkungan sang ibu, bukan karena ia benar-benar bermimpi kuliah teknik perminyakan di universitas itu. Sikap Enrico yang menjauhi komitmen terhadap perempuan—ia bergonta-ganti pacar, tidur dengan perempuan bersuami, dan mulanya tak mau menikah serta punya anak—juga berkait dengan pemberontakannya terhadap sang ibu.
“Aku tak ingin kemerdekaanku terampas. Ya, aku merasa telah menjadi manusia bebas sejak terlepas dari Ibu dan Hari Kiamat-nya. Aku tak mau terpenjara lagi,” kata Enrico soal alasannya tak mau menikah.
Tapi, kita tahu, Enrico akhirnya menikah. Seperti Tansen dalam Madre-nya Dewi Lestari yang bohemian tapi lalu memilih menambatkan diri pada sebuah toko roti, Enrico akhirnya menemukan cinta sejati atau semacam itulah. Bedanya, cinta sejati Enrico bukanlah sebuah toko roti, tapi seorang wanita yang dalam novel seringkali hanya disebut dengan inisial A—sebuah inisial yang jelas-jelas merujuk ke Ayu Utami.
Cuma, masalahnya, si A adalah juga perempuan yang tak mau terikat: ia gonta-ganti pacar juga dan tak mau menikah. Pertanyaannya kemudian menjadi terlihat rumit: apakah mungkin cinta sejati atau semacamnya bisa terjadi pada orang-orang yang ingin memberontak sebebas-bebasnya—termasuk pada institusi pernikahan dan penindasan komitmen—ini? Jawabannya ternyata sederhana: mungkin.
Kelemahan pemberontakan Enrico dan A, apapun alasannya—egois atau ideologis—adalah menyamakan pernikahan dan komitmen dengan penindasan, seolah yang pertama pasti berakibat pada terjadinya yang kedua. Mereka, terutama A, punya seribu satu alasan untuk sikap tersebut, seperti serombongan teori soal feminisme dan analisis sosial kondisi Indonesia yang patriarkis, tapi ternyata hanya butuh sedikit sekali alasan untuk mengubah pandangan itu.
Ya, hanya dengan sedikit mengubah sudut pandang, keduanya akhirnya menyadari bahwa cinta sejati atau semacamnya itu ada dan mereka toh akhirnya berkomitmen satu sama lain—ya, tentu saja, mereka akan mengatakan bahwa komitmen itu tumbuh dari dalam dan bukan paksaan dari luar. Dan sesudah komitmen tercapai, tokoh A dalam Cerita Cinta Enrico justru yang pertama bicara soal pernikahan dengan alasan bahwa bila pernikahan dan juga bentuk relasi suami-istri disepakati dengan pilihan bebas, bukan paksaan sistem sosial, maka hal itu tak jadi masalah.
Para pemberontak ini memang menempuh jalan yang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, tapi toh mereka tiba pada jalur yang sama kemudian. Tentu saja jalur akhir yang ditempuh para pemberontak ini adalah hasil pilihan bebas, sementara orang-orang yang tak berontak mungkin tiba pada jalur itu karena dipaksa sistem sosial, tapi toh intinya keduanya menjalani proses sama di akhir.
Dengan pemikiran semacam itulah saya ingin menyebut Cerita Cinta Enrico sebagai novel Ayu Utami yang paling melankolis dan sentimentil. Lihat saja bagaimana Enrico si petualang cinta itu ternyata bisa menye-menye juga saat kesepian merindu kekasih dan ketika patah hati. Bagi saya, novel ini bahkan jauh lebih sentimentil bila dibandingkan dengan Manjali dan Cakrabirawa yang sebenarnya melulu berisi cinta-cintaan diselingi dengan detektif-detektifan dan “dokter-dokteran”.
Sebab, meski diawali dengan pandangan-pandangan arogan soal cinta yang berkomitmen, Cerita Cinta Enrico diakhiri justru dengan adegan pernikahan dan kebahagiaan yang dibayangkan abadi sesudahnya, sebuah ending yang sama optimisnya dengan kisah akhir Madre atau bahkan Perahu Kertas-nya Dee yang jelas-jelas sejak awal percaya buta bahwa cinta sejati itu ada.
Selamat, akhirnya kita menemukan bahwa Ayu Utami dan Dewi Lestari tiba pada jalan pencerahan yang sama.
Jakarta, 7 Maret 2012
hem, jadi pingin baca novel ini. tertarik membaca ulasan ini…
Terima kasih. Silakan baca, lumayan menarik
sy sdh baca, kesimpulannya cm 1, novel ini tak lebih dari sekedar pembenaran bagi alasan A utk menikah, kontradiktif dg pemikiran2 A sbelumnya..
mungkin begitu, Andari, mungkin novel ini memang hanya pembenaran. mungkin juga bahwa pilihan A kontradiktif dengan pemikiran2nya sebelum ini. tapi, ya, harus diakui, hidup itu penuh ambiguitas dan kontradiksi yang kadangkala tak bisa ditolak