Nabi yang Memunggungi Dunia
Ruwat Sengkolo adalah perpaduan rock star dan sufisme tingkat lanjut. Ia memakai kaos buntung tanpa lengan yang dipadukan dengan rompi panjang warna cokelat, lehernya digelayuti sejumlah kalung berwarna perak, kepalanya ditutup kain slayer, di matanya tersemat kaca mata hitam, dan kakinya dibungkus sepatu boot hitam ala rocker. Tangan kanannya dipenuhi tato, juga sejumlah gelang besi yang bergemerincing saat bergerak. Ia mengenakan celana panjang garis-garis hitam putih, dan membawa-bawa terompet yang ditiupnya terus-terusan dengan antusiasme yang tak lumrah.
Mulanya, dia hanyalah pria biasa yang ditinggalkan istrinya. Ruwat tinggal bersama sang kakek, Mbah Soimun, di sebuah desa, sementara ayahnya, Jangkep, pergi merantau ke ibukota. Entah bagaimana awalnya, Ruwat tiba-tiba membangun sebuah kurungan di dalam rumahnya dan memutuskan tinggal di kurungan tersebut. Berbentuk persegi panjang setinggi 2 meter dengan atap segitiga, kurungan itu dilapisi dengan kain putih di sekujurnya. Di dalamnya, Ruwat berada bersama sejumlah barang, seperti terompet dan dingklik kecil.
Selama tinggal di kurungan, Ruwat mulai meracau. Ia merapalkan kalimat-kalimat aneh tentang kerusakan dunia, keburukan para pemimpin, kebodohan rakyat, dan sebagainya. Ia juga berhasrat menemukan dirinya yang sejati, yang sudah dirampas oleh kondisi sosial sekitarnya. Kisah Ruwat yang meracau itu diangkat dalam pertunjukan teater bertajuk Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc yang dipentaskan Teater Perdikan di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat malam, 9 Maret lalu.
Naskah Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dengan kontribusi gagasan dari Toto Rahardjo dan Novi Budianto. Sejumlah pemain yang tampil dalam pertunjukan ini merupakan seniman kawakan asal Yogyakarta, seperti Joko Kamto, Novi Budianto, Fajar Suharno, Eko Winardi, Bambang Susiawan, dan Kumbo. Tak seperti pentas teater umumnya, pertunjukan ini tak diarahkan oleh sutradara tunggal. Fadjar Suharno memegang posisi sebagai koordinator penyutradraan tapi semua pemain ikut menentukan arah pentas. Yang juga unik, tata musik pentas ini diserahkan ke grup band Letto.
Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc merupakan pentas pertama Teater Perdikan. Ya, ini memang kelompok teater baru tapi dengan wajah-wajah lama. Para pendiri Teater Perdikan adalah sejumlah seniman teater kawakan asal Yogyakarta, seperti Fajar Suharno, Eko Winardi, Bambang Susiawan, dan Kumbo. Kebanyakan dari mereka ini adalah orang-orang yang dulu pernah bergabung dengan Teater Dinasti di Yogyakarta.
Teater Dinasti?singkatan dari Dana Informasi Nasional Teruna Indonesia?merupakan sebuah legenda dalam sejarah teater di Yogya. Kelompok ini didirikan oleh beberapa alumnus Bengkel Teater, seperti Fajar Suharno, Azwar AN, Moortri Purnomo, dan Gajah Abiyoso, pada 1977. Sejumlah seniman yang pernah bergabung dalam kelompok ini, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Butet Kertaradjasa, Angger Jati Wijaya, Halim HD, Novi Budianto, Jemek Supardi, dan Jujuk Prabowo.
Sejak awal, Dinasti dikenal dengan pementasan bertema sosial. Yang unik dari kelompok ini adalah proses kerjanya yang kolektif, di mana semua proses dalam berteater, seperti pendiskusian ide, penyusunan naskah, penyutradaraan, dan pengaturan artisitik dilakukan secara bersama-sama. Proses kolektif ini pula yang masih terlihat dalam pementasan Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc. Pengaruh ini wajar sebab hampir semua orang yang terlibat dalam produksi ini pernah berproses di Teater Dinasti.
***
Ide utama pentas ini adalah bahwa kerusakan di dunia sudah sangat parah. Saking parahnya, semua upaya manusia, sekeras dan segigih apapun, dipercaya tidak akan berhasil mengubahnya dengan tuntas. Dari perenungan semacam inilah sosok semacam Ruwat Sengkolo hadir. Kita bisa menduga bahwa ia merupakan orang yang mempelajari ilmu makrifat dalam tradisi sufi. Dalam tradisi tersebut, perenungan akan kehidupan, pengenalan pada Tuhan, juga refleksi atas diri, diberi porsi yang sangat banyak.
Pada satu sisi, Ruwat Sengkolo mencari-cari hakikat dirinya dan oleh karena itu ia mengurung diri, menolak bersosialisasi dan menatap kehidupan nyata. “Aku berjalan memunggungi dunia karena ia merebutku dari diriku. Aku pergi menjauh dari kehidupan karena ia memisahkanku dari bayiku,” katanya.
Di sisi lain, melalui ritual pengasingan diri itu, Ruwat terus-menerus merasa mendekatkan diri dengan Tuhan dan segala makhluk langit. Pada sisi yang lain lagi, Ruwat juga menghujat orang dan kehidupan secara konsisten. Menurutnya, kondisi kehidupan di bumi sekarang sudah rusak total. “Penduduk bumi itu lamban dan kreativitasnya mandek,” ujarnya.
Karena itulah Ruwat sampai pada kesimpulan bahwa dibutuhkan nabi atau rasul baru untuk menyelesaikan semua masalah di dunia. Bila nabi atau rasul yang sesungguhnya tak bisa ada lagi sekarang, “Minimal ya ada Nabi Darurat atau Rasul Ad Hoc,” ungkapnya. Ide ini kemudian menggelinding, menjadi bola liar, dan orang-orang lalu menganggap Ruwat hendak mendaku dirinya nabi baru. Desas-desus yang menyebar itu yang kemudian mengakibatkan rumah Ruwat didatangi massa dan ia lalu diamankan polisi.
Kisah dalam pentas ini punya banyak dimensi. Meski tendensi mengkritik kebobrokan penguasa jelas ada, tapi itu bukanlah tendensi utama cerita ini. Kita bahkan tak tahu siapa yang benar dalam lakon ini, sebab Ruwat yang pintar itu pun akhirnya mendapat banyak kritik dari gurunya, juga makhluk halus bernama Brah Abadon. Tak ada simpulan yang utuh tentang bagaimana mesti menghadapi?apalagi mengatasi?semua keburukan yang terjadi. Meski, satu pesan jelas disampaikan: selain manusia, ada tangan-tangan tak kelihatan yang ikut bekerja mengurusi semua proses di dunia.
Berlangsung selama 3 jam tanpa jeda, Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc terhitung berat untuk ditonton tanpa rasa bosan atau kantuk. Apalagi, pentas ini kebanyakan berisi dialog dan monolog panjang, sementara peristiwa dalam pertunjukan ini tergolong sedikit.
Akting Joko Kamto menjadi Ruwat terhitung baik dan staminanya kuat. Sayangnya, para pemain lain tak tampil maksimal. Kita masih bisa menoleransi kekurangan akting para personel Letto di atas panggung, sebab mereka memang bukan pemain teater profesional. Tapi sungguh sayang aktor sekelas Eko Winardi dan Novi Budianto ternyata tampil dengan sejumlah kekurangan sehingga peran mereka untuk mencairkan suasana kadang gagal. Sementara itu, Fajar Suharno, Bambang Susiawan, Tertib Ruratmo, dan Kumbo tampak kurang bisa menghidupkan dialog-dialog panjang nan berat ala Emha.
Musik yang digarap Letto juga tak bisa menyatu padu dengan permainan para aktor. Sejumlah lagu yang dibawakan grup itu justru terkesan menjadi selingan antara satu adegan dengan adegan lain. Perlu eksperimen lebih jauh memang untuk menyatukan sebuah band dalam pertunjukan teater dan tampaknya Teater Perdikan belum menemukan formula pas kali ini.
NB: versi lain dari tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gatra, foto diambil dari Media Indonesia
Lama nggak lihat pentas teater.
Laporannya mantap gan.
Repertoar yang unik dan teatrikal, mas haris. nama ruwat sengkolo yang khas jawa agaknya juga mengesankan kalau orang2 dari etnik jawa memang sangat dekat dengan nilai2 kesufian.
Kenapa tidk d sebutkn jg apa yg seharus ny d lakukn utk mngtasi kekurangn itu?
kenapa tdk dsebutkn juga apa yg harus dilakukan untk mengatasi kekurangan itu?
Dibutuhkan nabi dalam menyelesaikan masalah di dunia ini? memang betul kita butuh sosok seperti nabi untuk menyelesaikan masalah yang ada dinia akan tetapi sebenarnya kita juga sebagai umat manusia sangat bisa untuk menyelesaikannya hanya saja tidak mengikuti apa yang di anjurkan oleh nabi, jadinya masalah- masalah itu tidak terselesaikan.