Sebab Leon Agusta Pernah Bahagia
Leon Agusta adalah penyair yang datang dengan semangat khas seni modern. Ia memuja kebebasan dan individualitas, serta menyukai pengembaraan. Dalam lanskap seni modern, di mana konsep manusia sebagai individu yang lepas dari ikatan dipuja, pengembaraan memiliki posisi penting. Ia bukan hanya merupakan komponen dalam penciptaan karya seni tapi juga menjadi semangat hidup yang begitu disukai para seniman.
Di Indonesia, personifikasi terbaik atas semangat seni modern ada pada sosok Chairil Anwar. Dalam masa hidupnya yang singkat, dan oleh karenanya dipenuhi mitos, Chairil telah dianggap sebagai sosok yang bukan hanya menerapkan dengan baik semangat modernisme dalam puisi-puisinya, tapi juga dalam hidupnya sendiri.
Saya kira, Leon Agusta punya semangat yang mirip dengan Chairil. Dia memuja pengembaraan dan menyukai konsep mengenai individu yang bebas. Ia mengemukakan itu dalam puisi-puisinya, tapi juga menjalankan itu dalam hidupnya. Barangkali karena itu Leon ikut menandatangani Manifes Kebudayaan yang bisa dianggap sebagai salah satu upaya para seniman tahun 1960-an meraih kebebasan.
Dalam peta sastra Indonesia, nama Leon Agusta, yang lahir pada 1938 di Sumatra Barat, pernah terdengar dengan cukup nyaring meski anak-anak sekarang akan berkerut keningnya ketika nama Leon disebut di depan mereka. Dalam pencarian yang pendek melalui Internet, saya menemukan bahwa Leon pernah dikelompokkan ke dalam Angkatan 70 dalam sastra Indonesia. Tentu saja, soal angkatan dalam sastra Indonesia ini memang menjemukan, kuno, dan sebenarnya tak relevan lagi dibicarakan hari ini, tapi saya harus menyebut informasi itu untuk memberikan informasi latar mengenai posisi Leon.
Bagi saya, salah satu hal yang paling jelas dari tiap angkatan dalam sastra Indonesia itu adalah waktu. Artinya, sekumpulan sastrawan yang masuk—atau dimasukkan—dalam satu angkatan tertentu itu sebenarnya disatukan oleh periode berkarya yang sama atau berdekatan. Tapi tentu saja, akan ada kritikus yang berupaya membuat semacam benang merah atas karya para sastrawan itu dan benang merah itu kemudian akan dianggap sebagai ciri khas dari angkatan tersebut.
Maman S Mahayana, dalam sebuah esainya, menyebut salah satu ciri Angkatan 70 sastra Indonesia adalah eksperimentasi. Dalam puisi, eksperimentasi paling jelas tentu saja ada pada sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Ciri lain dari puisi Angkatan 70, kata Maman, adalah: “lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan” dan ”gencar pula menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan”.
Saya tak paham maksud Maman mengenai “lebih mementingkan ekspresi”—yang ia elaborasi dengan sangat tak meyakinkan—sehingga tak ingin membahasnya dan memperbandingkannya dengan puisi Leon. Sementara, soal menggali akar tradisi, saya kira, Leon tak masuk dalam kategori ini. Leon jelas penyair yang tak menampakkan jejak tradisi dalam puisi-puisinya. Kecenderungan ini sebenarnya menarik karena pada 1970-an, para sastrawan kita mulai meninggalkan atau malah melawan kecenderungan para penyair generasi 45 yang ingin menjadi “ahli waris kebudayaan dunia”.
Pada 1970-an, gema kembali pada lokalitas dan menghargai tradisi mulai terasa. Dan akibatnya, pendirian Chairil Anwar, Asrul Sani, dan kawan-kawannya mengenai pelepasan dari tradisi mulai ditinggalkan. Tapi, Leon tak pernah mengikuti kecenderungan itu. Selepas mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, ia justru mengembara ke sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Maka, seterusnya, ia tetap menjadi pengembara.
***
Kumpulan puisi Leon Agusta yang terbit tahun ini, Gendang Pengembara, adalah penegasan terhadap sikapnya yang memuja kebebasan individu dan petualangan. Memuat 200 lebih puisi yang dibuat dalam rentang 1962-2011, Gendang Pengembara berisi puisi-puisi pilihan dari sejumlah buku puisi Leon yang pernah terbit sebelumnya, seperti Monumen Safari (1966), Catatan Putih (1975), Di Sudut-sudut New York (1977), dan Hukla (1979), ditambah puisi-puisi terbarunya.
Sejak bagian awal Gendang Pengembara, kita sudah bertemu dengan pendirian Leon soal kebebasan dan lepasnya individu dengan ikatan. Puisi pertama dalam antologi ini, “Kenapa Tak Pulang, Sayang”, adalah penjelasan Leon pada ibunya kenapa dia memilih pergi dari kampungnya. Bagian terbaik dari puisi ini adalah bait ketiganya yang dengan bagus menggambarkan sikapnya:
Rinduku pun kelabu, Ibu/ Tapi empedu di kerongkongan/ Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang/ Tak akan ada yang tanyakan anakmu, Ibu/ Kalau pun pulang takkan dipinang…
Dari puisi ini, kita sudah melihat benih-benih ide Leon mengenai pengembaraan, tapi manifesto pengembaraan Leon saya kira baru dihasilkannya 8 tahun kemudian, melalui puisi “Mengembara”. Bagi saya, “Mengembara” adalah sajak dengan sikap modernisme yang khas, di mana pengembaraan dipandang dengan heroik. Di satu sisi, Leon memosisikan pengembaraan sebagai sebuah “dosa” tapi pada sisi lainnya, ia menerimanya dengan senang hati. Melalui sikap ambigu semacam inilah individu lahir sebagai sosok yang heroik, karena ia menerima luka dengan suka.
Dengan mesra kusandang dosa itu/ Sudah diamanatkan bagiku: mengembara/ Bagi hasratku yang berjalan jauh// Hingga sudah biasa aku berpisah/ Nafas damai dan dan tidur yang nikmat/ Khianat diterima tanpa kesumat…
Ditulis di sebuah penjara di Pekanbaru, tempat Leon pernah dikurung selama 7 bulan, “Mengembara” mengingatkan saya pada sajak “Aku” Chairil Anwar. Dua sajak itu, bagi saya, punya pendirian yang mirip, di mana individu dengan bangga menerima sesuatu yang menyakitkan. Saat Chairil dengan bangga berteriak “aku ini binatang jalan, dari kumpulannya terbuang”, Leon berkata “dengan mesra kusandang dosa itu”.
Yang berbeda dari dua sajak itu hanyalah “volume” keduanya: sajak “Aku” terkesan sebagai teriakan, sebuah proklamasi yang riuh dan hiruk-pikuk, sementara “Mengembara” terkesan begitu lirih dan nyaris diam. Bila “Aku” ditujukan Chairil buat orang-orang di luar dirinya, “Mengembara” kelihatannya dibuat Leon untuk dirinya sendiri.
Dalam sejumlah sajak lain, Leon berkali-kali mengulang soal pengembaraan, tapi bagi saya, yang paling menarik kemudian adalah melihat sikapnya soal cinta. Bagi seorang pengembara, cinta akan selamanya ambigu: pada satu sisi, cinta tak pernah bisa ditampik seluruhnya, tapi di sisi lain, cinta juga tak pernah diterima sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu, meski Leon menyatakan dengan sangat verbal perihal kebutuhan pada kekasih (melalui “Ya, Kita Memerlukan Seorang Kekasih”), di sisi lain ia juga menyatakan bahwa cinta tak pernah menghambatnya untuk pergi.
Itulah yang dengan terang dinyatakannya dalam “Rasa Tak Sampai di Mana-mana”: Bagaimana aku boleh mengucapkan/ aku sangat sayang kepadamu/ bila aku masih membiarkan/ kakiku melangkah pergi/meninggalkanmu/ ….
Lagi-lagi saya ingin membandingkan sajak ini dengan sebuah puisi Chairil, “Pemberian Tahu”, yang juga dengan sangat bagus menggambarkan sikap mendua Chairil soal cinta. Inilah baris-baris dari puisi itu yang paling saya sukai: Kita berpeluk ciuman tidak jemu/ Rasa tak sanggup kau ku lepaskan/ Jangan satukan hidupmu dengan hidupku/ Aku memang tak bisa lama bersama/ Ini juga ku tulis di kapal, di laut tak bernama.
Yang khas juga dari Leon adalah pandangannya terhadap common sense, sesuatu yang sudah jadi kesepakatan umum dan biasanya diterima tanpa pertanyaan lagi oleh kebanyakan orang. Pada seniman dengan kesadaran individual yang tinggi, “pandangan umum” adalah sebuah musuh yang kadang-kadang bukan hanya harus ditampik tapi juga dimusuhi. “Pandangan umum” itu bisa berupa apa saja, baik dalam bentuk norma, hukum, atau bahkan agama.
Chairil menolak banyak standar umum semacam itu, demikian pula Leon. Dalam sajak “Perbedaan”, Leon menyatakan bahwa apa yang baik bagi orang lain bisa jadi buruk menurutnya, juga sebaliknya. Simak potongan sajak ini: Semua yang kau ucapkan berulang-ulang, saudara/ itulah yang tak dapat aku yakini/ Semua yang kau bisikkan dengan perlahan, sahabat/ itulah yang bagiku paling mengerikan.
Dari kutipan itu kita lihat, bukan hanya pandangan orang lain yang ditampik Leon, tapi juga pendapat dari saudara dan sahabatnya. Namun, beda dengan Chairil yang memberontak dengan berapi-api, Leon menampik dengan lembut. Di bait kedua “Perbedaan”, ia menyatakan: Tapi aku tak sanggup kehilangan engkau/ Meskipun engkau sisihkan aku/ Perkenalan dengan engkau kecemasan selalu/ Maut pun takkan menebus kebimbanganku.
Demikianlah, Leon dan Chairil sama-sama menampik, meski nada suara keduanya berbeda. Tapi, sebagaimana Chairil Anwar yang meledak-ledak kemudian mencapai masa tenang dan dewasa, Leon Agusta juga akhirnya mencapai masa semacam itu. Itu adalah masa ketika Leon bisa menerima situasi yang mungkin tak sesuai dengan pendiriannya. Chairil mencapai masa semacam ini menjelang kematiannya, dan itu tercermin pada sajak “Derai-derai Cemara” di mana ia mengatakan “aku sekarang orangnya bisa tahan, sudah berapa waktu bukan kanak lagi”.
Leon, saya kira, mencapai tahap itu ketika ia menulis sajak “Suasana”. Dibuat pada 2010, “Suasana” adalah puisi yang berisi baris-baris pendek, hampir tanpa ungkapan ekspresi pribadi—sesuatu yang membuatnya agak berbeda dengan sajak Leon yang lainnya. Justru, seperti judulnya, “Suasana” lebih banyak berisi pelukisan situasi—semacam sajak-sajak imajis ala Sapardi Djoko Damono. Hanya dua baris terakhir sajak itu, yang entah kenapa masing-masing menjadi bait tersendiri, yang berisi ungkapan ekspresi yang jelas perihal penerimaan Leon atas kondisi yang melingkupinya sekarang.
Dan ekspresi yang tersampaikan di sana itu begitu sederhana sekaligus mengena, seolah-olah itulah hasil perenungan dan pengembaraan Leon bertahun-tahun ini: Semua sudah dimaafkan// Sebab kita pernah bahagia.
Jakarta, 15 April 2012
makin terbukti kalau kepiawaian mas haris dalam menulis esai tak perlu diragukan lagi. pendapat pengamat sekaliber maman s. mahayana pun berhasil dimentahkan. salut.
waduh terima kasih pak sawali. sungguh saya tak ingin membantah, hanya memberi penilaian pembanding
Pak Sawali, begitulah kawan kita si induk semang Rumah Mimpi ini
halah, paman tyo iki nambah2i thok 😀
Semua sudah dimaafkan Sebab kita pernah bahagia, suka banget sama kata kata itu.