Pusaran Kisah di Sekitar Rama Kanjeng
Siang itu, tentara-tentara Jepang berhamburan ke dalam Gereja Randusari, Semarang. Mereka menggeledah ruangan, menyuruh para suster berhenti berdoa, dan menangkap pria-pria Belanda yang bekerja di gereja. Suasana tegang dan jerit tangis para perempuan pun pecah. Tapi di ruangannya, Monsinyur Albertus Soegijapranata tetap tenang. Dengan langkah-langkah pelan, ia menuruni tangga, menuju pintu keluar gereja.
Saat kemudian berhadapan dengan komandan tentara Jepang, Soegija tetap tenang. Tanpa keraguan sedikitpun, ia menampik keinginan sang komandan yang hendak menjadikan Gereja Randusari sebagai markas tentara. “Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya,” kata Soegija. Si komandan terkejut dan marah mendengar jawaban itu, tapi dia tak berbuat apa-apa. Pasukannya bubar dan penggeledehan siang itu tak berakhir dengan pertumpahan darah.
Dalam sejarah pribadi Soegijapranata, kejadian di Gereja Randusari pada 1942 itu merupakan peristiwa yang sering dikutip untuk menggambarkan kepribadian sang imam. Kejadian itu pula yang dihadirkan kembali oleh Garin Nugroho dalam film terbarunya, Soegija. Meski mengambil judul dari nama Soegijapranata, film ini tidak berisi cerita biografis tentang uskup pribumi pertama di Indonesia itu. Garin memilih menyajikan sebuah kisah berisi pelbagai tokoh yang memiliki konflik sendiri-sendiri, dengan Soegija sebagai titik persinggungan.
Seperti Mata Tertutup yang dibuat Garin tahun lalu, Soegija adalah film yang komunikatif dan jelas dibuat untuk menyampaikan satu pesan khusus, bukan “film personal” yang berat seperti Opera Jawa dan karya-karya Garin terdahulu. Tapi, beda dengan Mata Tertutup yang dibuat dengan dana sedikit, konon kurang dari Rp. 1 milyar, Soegija dibuat dengan dana melimpah, mencapai Rp. 12 miliar. Dengan angka sebesar itu, Soegija menjadi film termahal yang pernah digarap Garin.
Biaya besar itu bisa dibilang wajar, karena Soegija memang sebuah film yang membutuhkan tata artistik dan kostum yang rumit. Untuk menghadirkan kembali suasana 1940-1950, Garin dan timnya membangun kembali sejumlah bangunan dan suasana kota seperti di masa lalu. Stasiun Tugu, misalnya, dibangun kembali dalam wujudnya yang jadul, bukan di Yogyakarta tapi di Ambarawa. Sudut-sudut kota Yogyakarta semasa Agresi Militer Belanda dibuat kembali di Klaten.
Soegija juga melibatkan pemain dengan jumlah yang gila-gilaan, sekitar 2.775 orang. Sebagian di antara pemain itu adalah orang asing yang berasal dari Belanda dan Jepang. Guna menguatkan atmosfer masa itu, film ini juga menggunakan enam bahasa sekaligus: Indonesia, Jawa, Belanda, Jepang, Inggris, dan Latin.
Garin menyebut Soegija merupakan interpretasi atas kehidupan Soegijapranata dengan pendekatan sejarah populer. Melalui pendekatan inilah ia menggabungkan kisah Soegija dengan pelbagai tokoh lain yang masing-masing mempunyai konflik tersendiri. Maka, kita bertemu Mariyem (Anissa Hertami), seorang perempuan Jawa yang bekerja sebagai perawat di masa perang kemerdekaan. Dia kehilangan kakaknya yang meninggal di medan tempur, padahal si kakak adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa. Mariyem sempat menjalin hubungan spesial dengan Hendrick (Wouter Braaf), fotografer asal Belanda yang sedang meliput perang di Jawa.
Hendrick sendiri punya konflik batin dalam melihat perang karena meski ia berasal dari Belanda, secara pribadi ia tak menyukai kekerasan. Konflik batin itu tambah rumit karena ia berkawan dengan Robert (Wouter Zweers), komandan tentara Belanda yang brutal tapi sentimentil. Di sisi lain, masih ada sebuah keluarga Tionghoa yang terdiri dari Ling Ling (Andrea Reva), ibunya (Olga Lidya), dan si kakek (Hengky Solaiman). Keluarga ini menjalin hubungan erat dengan seorang komandan tentara Jepang bernama Suzuki (Nobuyuki Suzuki) yang dilanda kerinduan akut pada anaknya.
Selain mereka, Soegija masih menghadirkan seabrek tokoh lain: Lantip (Rukman Rosadi), seorang pemuda Katolik yang nasionalis; Pak Besut (Margono), penyiar radio yang pemberani; Banteng (Andreani Fidelis), anak jalanan buta huruf yang selalu menyelipkan pistol di pinggang belakangnya; dan Soewito (Eko Balung), pemain biola dan pemimpin sebuah orkes musik.
Dengan banyaknya tokoh yang masing-masing mempunyai kisah pribadi, maka tokoh Soegijapranata di film ini justru tidak sentral. Rama Kanjeng?panggilan akrab Seogija?memang masih menjadi titik yang menghubungkan satu tokoh dengan yang lainnya, tapi dia bukanlah pusat berlangsungnya peristiwa. Pusat yang membingkai cerita film ini adalah perang itu sendiri, dan Soegija hanyalah satu di antara banyak orang lain yang mesti menghadapi perang. Maka, peran Soegija dalam masa-masa perjuangan Indonesia, apalagi sosoknya secara pribadi, tidak bisa hadir dengan utuh di film ini.
Kita memang bisa melihat sejumlah kelebatan peristiwa yang menunjukkan peran Soegija, tapi adegan-adegan itu cuma berupa kilasan yang tak membekas kuat. Apalagi, akting penyair dan esais Nirwan Dewanto yang memerankan Soegija tidak sangat kuat sehingga kurang bisa membetot perhatian kita secara mendalam.
Yang juga disayangkan, karena banyaknya tokoh tapi tanpa satu sosok yang mendominasi, penonton Soegija akhirnya susah untuk merasa terlibat dengan nasib orang-orang di film ini. Meski begitu, film ini jelas penting untuk disimak karena pesannya soal pluralisme, toleransi, dan aktivisme politik sangat relevan dengan kondisi Indonesia sekarang.
NB: versi sedikit berbeda dari tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gatra; foto diambil dari soegijathemovie.com
nilai2 pluralisme belakangan ini memang sedang “sakit”. semoga kehadiran film Soegijapranata, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, mampu merekatkan kembali nilai2 pluralisme itu. review yang khas dan haris firdaus banget gitu loh!
betul Pak Sawali. walaupun saya menumpahkan beberapa kritik, tapi film ini sangat penting untuk disimak dan disebarluaskan pesannya.
btw, masak sih ini khas saya banget? hehehe.
Kenapa dibilang aktor pemeran soegija tidak kuat aktingnya?
Pesan apa yang bisa kita ambil dari film tersebut?