Kontemplasi di Kanvas Srihadi
Peristiwa yang mengubah orientasi melukis Srihadi Soedarsono itu terjadi pada pameran seni rupa di Paviliun Khusus DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah pada 1975. Ketika itu, Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang tidak menyukai lukisan Srihadi berjudul Air Mancar, mencoret-coret karya tersebut dengan spidol. Bang Ali tak suka dengan penggambaran Ibu Kota yang penuh dengan iklan berbagai produk Jepang di lukisan itu.
“Sontoloyo! Apa ini reklame barang-barang Jepang?” tulis Ali Sadikin, yang juga membubuhkan tanda tangan di lukisan berukuran 130 x 130 cm itu. Peristiwa itu jelas menimbulkan kehebohan di kalangan perupa, meskipun Bang Ali akhirnya meminta maaf atas tindakan tersebut.
“Kebetulan Pak Ali Sadikin mau minta maaf. Dia seorang yang gentleman dan saya kira hanya dia satu-satunya pemimpin di republik ini yang mau minta maaf kalau salah,” tutur Srihadi kepada saya ketika mengenang kejadian itu.
Bagi Srihadi secara pribadi, kejadian itu memiliki dampak besar dalam prosesnya melukis. Sejak itu, ia tak lagi membuat lukisan yang berisi kritik sosial. “Sejak kejadian Pak Ali Sadikin mencorat-coret lukisan itu, saya punya kesimpulan tidak ada gunanya kita mengkritik kekuasaan yang otoriter,” kata pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah, 4 Desember 1931 itu.
Lukisan Air Mancar sendiri tak pernah dijual Srihadi dan tetap menjadi koleksi pribadinya sampai sekarang. Bersama sekitar 130 karya Srihadi lainnya, lukisan legendaris itu dipamerkan dalam pameran tunggal bertajuk “Srihadi dan Seni Rupa Indonesia” di Art:1 New Museum, Jalan Rajawali Selatan Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, 30 Mei-30 Agustus ini. Pameran ini menghadirkan karya-karya Srihadi mulai tahun 1947 hingga 2012.
Pameran yang dikuratori Jim Supangkat ini merupakan pameran pertama di Art:1 New Museum yang baru dibuka pada Oktober tahun lalu. “Pameran ini sengaja digelar selama tiga bulan, mengikuti tradisi museum seni di luar negeri,” kata Srihadi. Sebagai restrospeksi, pameran ini bisa dikatakan sangat representatif untuk menggambarkan kerja kreatif pelukis yang juga guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Dibesarkan dalam keluarga pengusaha batik di Solo, Srihadi merupakan salah satu maestro seni lukis Indonesia yang diakui secara internasional. Karya-karyanya telah dipamerkan di pelbagai pameran penting internasional serta dikoleksi dengan harga mahal oleh kolektor seni di dalam dan luar negeri.
Sebagai seniman, perjalanan estetik Srihadi menempuh jalan berliku. Saat kecil, ia dididik dalam kultur Jawa yang sangat kental. Menginjak usia 15 tahun, Srihadi–yang menunjukkan bakat melukis sejak kecil–bergabung dengan Balai Penerangan Divisi IV Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Solo sebagai “wartawan-pelukis”. Selama bergabung dengan TKR, Srihadi bergaul erat dengan sejumlah pelukis senior Indonesia masa itu, seperti Soedjojono, Hendra Gunawan, dan Affandi.
Pada usia sekitar 16 tahun, Srihadi sudah bergabung menjadi anggota Seniman Indonesia Muda yang dipimpin Soedjojono. Setelah lulus sekolah menengah atas pada 1952, Srihadi masuk ke Balai Pendidikan Universiter untuk Guru Seni Rupa di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung–cikal bakal jurusan seni rupa ITB. Ia lalu melanjutkan pendidikan di Ohio State University, Amerika Serikat, pada 1960-1962.
Semua pengalaman Srihadi itu memiliki pengaruh pada perjalanan kreatifnya, yang jejaknya bisa kita lihat dalam pameran ini. Sketsa-sketsa yang dibuatnya saat menjadi wartawan-pelukis, misalnya, masih bisa kita temukan. Sejumlah sketsa itu, antara lain, menggambarkan jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA milik Indonesia yang mengangkut obat-obatan pada 1947.
Jejak kreatifnya saat belajar seni rupa secara akademis di Bandung bisa kita temukan dalam beberapa lukisan dengan gaya kubisme, antara lain pada Wanita-wanita (1957) dan Sindhu Sanur, Bali (1955). Sejumlah karyanya yang berisi kritik sosial tapi bernuansa abstrak juga masih bisa kita lihat, seperti The Hungry People (1962), Green Togas (1971), dan Beauty Contest (1973).
Sayangnya, lukisan-lukisan Srihadi yang murni abstrak tak bisa kita temukan. Karya-karya yang dibuat ketika Srihadi belajar di Ohio State University dan mendapat pengaruh abstrakisme yang sedang merajalela di Amerika itu memang sangat sulit ditemukan sekarang. Setelah pulang dari Amerika, Srihadi membakar lukisan-lukisan abstraknya, dan sejak itulah ia dikenal sebagai pelukis yang anti terhadap abstrakisme murni.
Ia lalu berpaling pada lukisan berisi kritik sosial, meskipun kemudian lagi-lagi meninggalkan kecenderungan itu. Srihadi akhirnya berlabuh pada kecenderungan estetik yang ditekuninya hingga sekarang. Istri Srihadi, Sitti Farida, menyebut lukisan-lukisan suaminya itu penuh unsur meditatif dan kontemplatif. “Lukisan-lukisan itu berisi perenungan,” ujar Farida, yang juga pengajar seni rupa di Institut Kesenian Jakarta.
Dalam lukisan Srihadi yang kontemplatif itu, ada sejumlah objek yang selalu berulang, antara lain gambar horizon atau kaki langit, Candi Borobudur, penari Bali, dan penari bedaya. Objek-objek itu tidak digambar dalam kerangka realis, melainkan hanya hadir dalam sapuan yang bersifat ekspresionis atau bahkan kadang abstrak. “Lukisan saya memang tidak mengarah ke realis karena yang ingin saya ungkapkan adalah esensi,” Srihadi memaparkan.
Muara lukisan-lukisan itu memang lebih ke perenungan ke dalam diri pribadi, bukan lagi komentar atas situasi sosial. Meskipun begitu, Srihadi sebenarnya tak benar-benar berhenti berpendapat soal situasi Indonesia sekarang. Seri lukisannya soal penari bedaya–yang dibuatnya setelah 1990-an–secara tak langsung merupakan renungannya atas situasi Indonesia sekarang yang memprihatinkan.
“Saya ingin mengingatkan, dulu kita punya budaya seperti tari bedaya yang sangat adiluhung. Ke mana semua itu sekarang?” tutur Srihadi.
Haris Firdaus
NB: versi sedikit berbeda dari tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gatra, foto diambil dari sini.
menarik…
meski belum akrab benar dengan seniman lukis yang satu ini, karya2nya memang layak diapresiasi. mantab!