Sebab Cinta (Kadang) Harus Dicopet
Bila cinta yang kau incar berada di saku celana orang lain, mungkin kamu memang harus mencopet untuk mendapatkannya. Tentu saja itu kontroversial, juga membutuhkan keberanian dan kerja keras, tapi bukankah semua hal yang terkait cinta selalu berhubungan dengan ketiganya?
Mungkin tidak selalu begitu, tapi dalam film terbaru Fajar Nugros, Cinta di Saku Celana, cinta memang terus-menerus berkait dengan kontroversi, juga keberanian dan kerja keras. Tokoh utama film ini, Ahmad (Donny Alamsyah), adalah seorang pegawai kantor pos yang jatuh cinta pada Bening (Joanna Alexandra), mahasiswi cantik yang kerap ditemuinya di KRL.
Ahmad bukan lelaki yang luar biasa memesona, tapi jelas dia bukan pria yang buruk dan tanpa harapan. Wajahnya, tentu saja, tidak jelek, dan betapapun dia cuma pegawai rendahan dan seorang anak yang yatim piatu, ia jelas sangat punya kesempatan untuk mendapatkan cinta Bening—betapapun gadis itu sudah punya tunangan.
Masalahnya, Ahmad adalah penakut yang keterlaluan sehingga hanya untuk berkenalan saja dia tidak berani. Bahkan ketika ia menemukan buku Bening yang tertinggal di kursi KRL, dan itu berarti peluang mendekati Bening terbuka sangat lebar, Ahmad tak mampu mengubah momen itu menjadi kesempatan untuk memulai sebuah hubungan.
Maka, yang kita lihat adalah sosok lemah nan menyedihkan yang memandangi perempuan yang dicintainya sepanjang waktu selama masih memungkinkan, mengkhayalkannya terus-menerus, dan bahkan merekam semua aktivitasnya dengan handycam lalu menonton rekaman itu dalam frekuensi sangat sering, tapi tak berani untuk memulai apa-apa.
Sebelum menontonnya, saya mengira film yang diangkat dari cerpen Fajar Nugros berjudul “Cinta di Saku Belakang Celana” ini adalah drama realis percintaan biasa—dan sampai seperempat awal film dugaan itu masih bertahan—tapi ternyata tidak begitu. Kita memang bertemu alur dan peristiwa ala drama realis di bagian awal, tapi pada satu titik, bangunan realisme itu tiba-tiba ambruk. Pada akhirnya, menurut saya, Cinta di Saku Celana adalah film simbolis, atau setidaknya setengah simbolis.
Pintu yang menghantar pergantian dari realisme ke simbolisme dalam film itu adalah ketika Ahmad bertemu seorang pencopet bernama Gubeng (Ramon Y Tungka), tepatnya ketika Ahmad meminta Gubeng untuk “mencopet cinta”. Saya tertawa geli saat menonton adegan itu, bukan karena kata-kata itu adalah sebuah humor cerdas, melainkan karena menurut saya kalimat itu sengaja ingin kelihatan cerdas tapi gagal.
Dalam cerita realis, permintaan Ahmad pada Gubeng untuk “mencopet cinta” jelas tak bisa ditoleransi, tapi dalam teks simbolis, hal semacam itu bisa sedikit dimaklumi. Pasalnya, dalam simbolisme, yang terpenting bukanlah cerita itu sendiri, melainkan pesan yang tersembunyi di balik cerita tersebut. Dalam simbolisme, cerita hanyalah simbol dan oleh karenanya keberhasilan sebuah cerita tidak dinilai dari seberapa masuk akal dan menariknya dia tapi seberapa berhasil ia merepresentasikan pesan yang hendak disampaikan.
Karena itu, mungkin kita memang harus menerima sejumlah peristiwa tak masuk akal dalam Cinta di Saku Celana, dari Gubeng yang tobat lalu masuk penjara, munculnya pengedar narkoba yang menyamarkan diri dalam usaha laundry, kantor polisi yang aneh, dan yang paling tak masuk akal, kemunculan tiba-tiba Bagas (Lukman Sardi), tunangan Bening, yang tampak seperti mafia tingkat dewa. Semua kejadian itu, yang secara urutan terjadi sesudah permintaan Ahmad pada Gubeng untuk “mencopet cinta”, memang tak lagi bergerak dalam nalar realis sehingga segala upaya untuk melogiskannya hanya akan berakhir sia-sia.
Satu-satunya alasan kenapa Fajar Nugros susah payah membangun semua adegan tak logis tersebut, tentu saja, adalah untuk menjadi simbol atas pesan yang ingin diungkapkannya. Dan melihat bagaimana Gubeng dan si bandar narkoba bernama Roy (Gading Martin) dengan sangat mudah mendapatkan cinta Bening hanya dengan sedikit trik ala playboy 1980-an, maka kita tahu bahwa Fajar Nugros ingin berkata dengan sedikit ngotot bahwa jika kamu memberanikan diri untuk mencoba dan berusaha, kamu mungkin akan berhasil “mencopet cinta”.
Bagi saya, hadirnya tokoh Gubeng dan Roy—dua pria brengsek tapi mempunyai keberanian untuk “mencopet cinta”—adalah kontras sempurna dari sosok Ahmad yang alim, pekerja keras, ganteng, tapi pengecut. Bila Gubeng dan Roy justru, dalam periode tertentu, mampu membuat Bening jatuh hati hanya dengan tipuan sederhana, Ahmad justru tak bisa sekadar berkenalan dengan Bening—bukan karena dia gagal saat melakukan upaya pedekate, tapi karena dia tak punya keberanian untuk memulai.
Tokoh Gifar (Dion Wiyoko), sahabat baik Ahmad, dihadirkan dalam film ini juga untuk mempertegas pesan yang mau disampaikan Nugros tentang betapa bergunanya keberanian memulai dalam soal cinta. Lihat bagaimana Gifar berbekal trik pura-pura sakit mendadak mampu menggaet cewek-cewek cantik nan seksi yang, tidak tanggung-tanggung, dua di antaranya serupa dengan Masayu Anastasia dan Luna Maya.
Sampai di sini, pesan yang tampak dalam Cinta di Saku Celana kelihatan agak berjarak dengan realita, sebab bagaimanapun modal keberanian dan kemampuan berpura-pura sakit seringkali tidak cukup untuk “mencopet cinta”. Dalam konteks ini, kelihatan ada semacam penyederhanaan masalah, dan karena itulah menurut saya, film ini terjebak dalam lubang yang biasa menjatuhkan cerita simbolis: simplifikasi.
Bagi saya, keberhasilan cerita simbolis juga bergantung pada seberapa menarik pesan yang hendak disampaikan, dan dalam banyak kasus, daya tarik sebuah pesan itu berbanding lurus dengan kompleksitasnya. Dalam Cinta di Saku Celana, pesan yang dihadirkan sangat sederhana dan transparan sehingga kita bisa dengan mudah meraih pesan tersebut, tanpa ambiguitas apapun.
Meski begitu, di bagian akhir, film produksi Starvision Plus ini sebenarnya menyampaikan sesuatu yang agak berbeda—walaupun ini tak menolong kualitas film itu secara keseluruhan. Ketika Ahmad akhirnya tak lagi berharap bisa menjalin cinta dengan Bening, secara tak sengaja ia justru bertemu kembali dengan Briptu Nila (Enditha), polisi yang dulu menangkapnya, dan kemudian mereka begitu saja berpacaran. Bisa dikatakan, Ahmad sama sekali tak berkontribusi dalam hubungan ini—dia tetap pria yang pasif—karena pertemuan mereka itu tidak dirancang olehnya, melainkan oleh tante pemilik kosnya.
Bila kejadian ini juga dianggap sebagai bagian dari simbolisme, maka pesan di baliknya, menurut saya, adalah Tuhan itu Maha Penyayang karena Dia bisa saja memberikan cinta secara cuma-cuma pada seseorang yang terlalu penakut untuk memulai sebuah hubungan. Karena itu, bila cinta yang kau incar berada di saku celana orang lain, dan kamu terlalu penakut untuk mencopetnya, mungkin kau hanya perlu berdoa.
Jakarta, 5 Juli 2012
NB: foto diambil dari sini
judul film karya Fajar Nugros ini sudah cukup bikin penasaran orang, mas. Hmm … “Cinta di Saku Celana”, sayangnya kendal ndak pernah bisa update film2 terbaru.
jadi pengen nonton
Bagaimana pendapat penonton yang sudah menonton film tersebut?