Laju Lurus Perahu Kertas
Berdasarkan sejumlah pengalaman, selalu ada problem dalam film yang dibuat dari adaptasi novel. Orang-orang sering mengeluh kenapa kisah filmnya berbeda dengan cerita di novel, atau kenapa film adaptasi itu hanya mencuplik sebagian kisah di novel. Dalam Film Perahu Kertas karya Hanung Bramantyo, problemnya bukan pada dua hal itu, melainkan justru karena film itu terlalu bersetia pada kisah novel yang diadaptasinya.
Diangkat dari novel laris karya Dewi Lestari berjudul sama, Perahu Kertas tampak berupaya sekuat mungkin bersetia dengan cerita novelnya. Barangkali karena itulah skenario film ini akhirnya ditulis oleh Dewi Lestari sendiri. Keputusan membagi film ini menjadi dua bagian—yang pertama mulai tayang pada 16 Agustus kemarin dan lanjutannya pada Oktober nanti—juga merupakan upaya untuk bersetia dengan kisah dalam novel.
Sayangnya, menurut saya, hasil akhir film ini tidak bisa menyamai kualitas novelnya. Harus dicatat, dalam semesta karya Dee, novel Perahu Kertas mempunyai posisi yang unik. Dari lima novel yang sudah ditulis Dee, hanya Perahu Kertas yang bukan bagian dari seri Supernova yang legendaris itu.
Bagaimanapun, sebagai novelis, Dee akan lebih dikenal sebagai penulis seri Supernova yang kadang merupakan science fiction, kadang cerita petualangan, atau gabungan keduanya sekaligus. Sementara itu, Perahu Kertas—yang terbit di antara Petir dengan Partikel—melulu berisi kisah cinta remaja sehingga tampak seperti simpangan dalam perjalanan menulis Dee.
Namun, bila kita cukup cermat untuk membandingkan novel tersebut dengan novel-novel Supernova Dee, juga dengan cerpen-cerpennya dalam Filosofi Kopi, Rectoverso, sampai Madre, kita akan menemukan bahwa Perahu Kertas bukanlah sebuah simpangan. Novel itu ternyata berada dalam “jalur yang sama” dengan prosa-prosa Dee lainnya, tak peduli betapa jauhnya genre buku itu dengan seri Supernova.
Lebih dari itu, mengingat bahwa Perahu Kertas ditulis pertama kali jauh sebelum Dee menulis novelnya yang pertama terbit, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, novel itu bisa dikatakan sebagai “pemula” bagi karya-karya Dee lainnya. Memang versi cetak Perahu Kertas yang kita baca sekarang merupakan hasil penulisan ulang, tapi saya kira ada hal-hal esensial dari novel itu yang tak berubah sejak pertama kali ditulis.
Dan, ternyata hal-hal esensial dalam Perahu Kertas itu juga bisa kita temukan dalam kebanyakan prosa yang sudah ditulis Dee. Dalam Perahu Kertas, kita bisa menemukan bagaimana pandangan Dee atas hidup yang selalu berkisar pada dua hal.
Pertama, saat menjalani hidup, kamu harus menemukan panggilan sejatimu sehingga akhirnya kamu bisa “menjadi diri sendiri”. Kedua, percayalah pada kekuatan di luar manusia yang ikut menentukan jalannya hidup kita—dengan catatan, kekuatan ini tidak harus dipahami sebagai titah Tuhan dalam batas konvensional.
Dalam serial Supernova, dua hal itu jelas muncul—secara tegas maupun samar-samar—sementara dalam cerpen-cerpen panjang Dee, seperti “Filosofi Kopi” dan “Madre”, dua pandangan hidup itu bahkan merupakan hal utama. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa secara esensial Perahu Kertas sangat mirip dengan dua cerpen terkenal Dee itu, terutama dalam pandangannya mengenai bagaimana mencapai kebahagiaan dalam hidup.
Dan, karena Film Perahu Kertas sangat bersetia dengan novelnya, sikap Dee atas hidup tampak sangat menonjol dalam film ini. Kegalauan Keenan yang hendak menjadi pelukis tapi justru dipaksa kuliah di fakultas ekonomi oleh bapaknya, juga kebimbangan Kugy untuk menjadi penulis dongeng, menunjukkan dilema hidup khas prosa-prosa Dee. Dilema semacam ini bisa kita temui dengan nyata, misalnya, dalam diri Tansen, seorang bohemian yang beralih menjadi pengelola toko roti dalam cerpen “Madre”.
Sementara itu, soal pandangan Dee mengenai kekuatan di luar manusia, ini juga terlihat jelas dalam Perahu Kertas, terutama melalui komunikasi Kugy dengan Neptunus si Dewa Laut. Memang, Kugy tak pernah menyembah Neptunus (dia hanya menjadi Agen Neptunus), tidak seperti Zarah Amala dalam Partikel yang menyembah jamur, tapi komunikasi itu jelas menunjukkan bahwa ada hubungan kuat antara dunia manusia dengan dunia-di luar-sana yang transeden tapi tak berkait agama.
Dalam Perahu Kertas, soal utama yang dihadapi para tokohnya adalah dilema ketika mereka hendak “menjadi diri sendiri”, bukan relasi dunia manusia dengan dunia transeden di sekelilingnya. Tepat pada titik inilah Perahu Kertas berbeda dengan seri Supernova. Para tokoh dalam seri Supernova relatif sudah “menjadi diri sendiri” dan mereka punya privilese untuk itu, meskipun mereka masih melakukan pencarian diri yang belum selesai juga.
Berkebalikan dengan Keenan dan Kugy dalam Perahu Kertas, tokoh-tokoh dalam seri Supernova itu terlibat problem serius dalam hubungannya dengan dunia di luar manusia. Sementara Keenan dan Kugy belum selesai dengan diri mereka dan orang-orang di sekelilingnya, Zarah Amala, misalnya, terlibat petualangan yang membawanya ke dalam pemahaman mengenai alam semesta.
Saya kira, dengan semua analogi itu bisa disimpulkan bahwa bila dalam seri Supernova Dee hendak menjelajahi hakikat alam semesta, dalam Perahu Kertas ia ingin berfokus pada manusia dan hidupnya yang tak sempurna. Dengan niat sederhana semacam itu, harus diakui Perahu Kertas adalah novel dengan kisah sederhana tapi memikat dan menyentuh secara emosional.
Sayangnya, hasil jadi Film Perahu Kertas ternyata biasa-biasa saja. Maudy Ayunda dan Adipati Dolken tampaknya tidak bisa menghidupkan tokoh Kugy dan Keenan dengan baik. Dialog-dialog soal diri sendiri dan hidup, yang memenuhi sekujur film ini, kurang bisa dihidupkan oleh keduanya. Yang makin tak menguntungkan, mereka mendapat lawan main Reza Rahadian (berperan sebagai Remi) yang tampil menawan sehingga akting keduanya kelihatan sangat biasa.
Sebagai orang yang sudah membaca novelnya, saya tak merasa menemukan kejutan saat menonton Perahu Kertas. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam film ini bisa kita rujuk kembali ke novelnya, tanpa pengembangan yang lumayan berarti atau tambahan imajinasi yang bisa mengejutkan. Setelah selesai menonton bagian pertama film ini, saya juga tak merasa penasaran untuk menonton bagian keduanya, sebab dengan konstruksi kisah demikian, saya bahkan bisa menebak ending film ini.
Dengan semua hal ini, saya berharap Hanung Bramantyo mempersiapkan bagian kedua Perahu Kertas dengan pendekatan yang berbeda—kalau perlu, sedikit menyimpang dari novelnya. Tampaknya sedikit penyimpangan memang diperlukan, sebab bagian pertama Perahu Kertas terlalu datar dan biasa saja.
Ibarat perahu, film ini melaju dengan lurus tanpa kelokan. Dengan pendekatan semacam itu, film ini memang bisa membawa penontonnya selamat sampai tujuan, tapi begitu sampai tujuan, para penonton mungkin akan menyadari betapa perjalanan mereka ternyata membosankan.
NB: gambar diambil dari sini
Nyuwun sewu, minjem gambarnya di pajang di blog aku.
Bukan buat kupas tentang novelnya kok.
Hanya interest pribdi aja.
Makasih ya sebelumnya
menurut saya memang semacam ada ketakutan yang dialami hanung sebagai sutradara di film ini…dia takut lepas drcerta novelnya , makanya dia berpegang teguh ma novelnya…tp ya bener bagi yang udah baca novelnya ini semacam pengulangan tnpa ada ledakan imajinasi sang sutrdara… tp jujur dari sekian banyak film indonesia yang di adaptasi dr novel ini yg terbaik,,,
sepakat utk soal tak ada kejutan di film ini bagi penonton yang sudah baca novelnya, semacam pengulangan saja. kalo soal film adaptasi terbagus dari novel, saya mungkin kurang sepakat. dwilogi film laskar pelangi menurut saya lebih mengesankan kok. atau sang penari
review ini membuat saya tidak begitu bernafsu menonton filmnya. sebagai pembaca saya kerap merasa takut jika harus menyaksikan apa yang sudah terbenam di otak kita menjadi visual, menjadi film.
Nice Writing, Kang.
proud can be keenan’s hand
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.3203960900438.2144706.1308598023&type=3
Luar biasa sekali bang ulasan tentang Perahu Kertas. Detail.
Jujur saja aku belum baca novelnya secara keseluruhan, tapi sudah nonton filmnya. Ketika saya menonton film Perahu Kertas ini, dari awal saya merasa ada sesuatu yang kurang, aneh. Ceritanya seperti tak ada greget. Ngambang. Tidak memuaskan pokoknya. Uforia teman ketika awal muncul film ini sempat membuatku untuk ikutan berbondong-bondong menonton, tapi ternyata seperti tidak ada isinya.