Ruang dan Pengalaman
Setelah hampir tiga tahun di Jakarta, saya masih kesulitan menganggap kamar kos sebagai tempat tinggal. Persoalannya sederhana: saya selalu merasa menghabiskan lebih banyak waktu di luar kos-kosan itu daripada di dalamnya. Benar bahwa hampir tiap malam saya pulang ke sana untuk tidur, berganti baju, dan mandi, tapi bila dikalkulasikan, jumlah waktu saya ada di kamar kelihatannya lebih sedikit daripada waktu yang saya habiskan buat bekerja dan jalan-jalan.
Karena itu, saya lebih sering menganggap kamar kos itu sebagai ruang transisi daripada tempat tinggal. Maka, kata “pulang” sebenarnya juga kurang tepat menggambarkan aktivitas saya di kos. Barangkali, kata yang tepat adalah “singgah”. Ya, mungkin saya memang hanya singgah di kos-kosan sebab seringkali saya sampai di sana pada larut malam dan pergi lagi esok paginya.
Singgah juga mungkin kata yang tepat karena saya tak melakukan “aktivitas lengkap” di kamar kos seperti halnya aktivitas seorang di rumahnya. Saya sangat jarang makan di kamar kos dan tak pernah memasak makanan di sana—sekalipun tidak pernah. Dulu kadang saya memanaskan air dengan heater untuk menyeduh kopi atau teh, tapi sekarang sangat jarang saya melakukan itu. Heater saya bahkan kini sudah berpindah tangan ke tetangga kos yang lebih membutuhkan.
Akibat dari kebiasaan itu adalah selama ini jarang ada makanan atau minuman yang saya simpan di kos dalam waktu lama. Saya pernah membeli satu boks teh celup isi 25 dan beberapa bulan kemudian saya membuangnya masih dalam kondisi tersegel rapi. Seorang kawan pernah membelikan gula bermerek dari supermarket tapi saya tak pernah memakainya dan berbulan-bulan kemudian saya juga membuangnya masih dalam kondisi utuh.
Saya hanya punya satu Aqua galon untuk persediaan air minum dan kadang saya membeli biskuit atau roti seharga Rp. 1.000 di warung dekat kos apabila ingin makan cemilan. Beberapa waktu belakangan, saya mengeliminasi satu lagi kegiatan rutin yang sebelumnya saya lakukan di kos: mencuci pakaian. Kini saya menggunakan jasa laundry.
Saya kira, kebiasaan “hanya-singgah” itu tak terjadi dengan serta merta. Awal-awal di Jakarta tentu saya cukup banyak berdiam di kos karena tak ada pilihan lain. Tapi begitu saya bisa beradaptasi dengan kota ini, juga mulai mengenal tempat-tempat menarik dan orang-orang baru, saya mulai suka keluyuran dan kumpul-kumpul dengan teman.
Tapi beberapa hari belakangan, saya merasa agak lain.
Sekira sebulan lalu, saya pindah dari kamar kos yang telah saya tempati selama ini. Kamar baru itu tak jauh dari kamar yang lama karena keduanya berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan jarak 1,5 meter. Saya memutuskan pindah karena kondisi kamar saya mulai tak nyaman karena lantainya retak-retak. Kamar baru ini dulu ditempati kawan SMA saya yang beberapa bulan lalu hijrah ke Surabaya.
Kepindahan itu membuat hubungan saya dengan kamar kos menjadi sedikit lain. Kamar baru saya sebenarnya kondisinya tak jauh beda dengan kamar lama. Bedanya, lantainya tidak retak-retak tapi langit-langitnya sedikit berlubang. Meski kondisinya serupa, kamar baru ini memberikan nuansa yang berbeda.
Saya berusaha menata barang-barang sedemikian rupa sehingga tatanan di kamar baru ini lebih rapi. Saya beruntung di dinding kamar ini banyak paku sehingga saya bisa menggantung rupa-rupa barang di sana dan lantai kamar saya kelihatan lebih lapang —di kamar lama, saya terlalu malas untuk menancapkan paku ke dinding sehingga kebanyakan barang tergeletak begitu saja di lantai.
Setelah pindah, entah kenapa saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Saat Ramadhan kali ini, misalnya, saya jauh lebih banyak berbuka puasa di kamar daripada di luar. Saya lebih suka membeli makanan kecil dan kolak untuk dibawa ke kos meskipun untuk makan besar saya masih melakukannya di warung makan. Pada tahun lalu, saya sangat sering ngumpul dengan teman-teman untuk buka puasa bersama tapi tahun ini aktivitas semacam itu sangat jarang.
Saya menghabiskan akhir pekan berdiam di kos untuk menonton film, membaca buku, atau menulis—pada Ramadhan tahun lalu, saya hampir selalu jalan-jalan pada akhir pekan, entah untuk nonton ke bioskop atau buka puasa bersama. Oh ya, sekarang saya merasa jauh lebih nyaman menulis di kos daripada di kafe, kedai kopi, atau semacamnya. Padahal, sepanjang tahun lalu, saya terhitung jarang menulis di kos. Saya lebih suka mencari suasana baru saat menulis.
Saya juga mulai membeli persediaan makanan dan minuman meskipun selalu dengan batasan yang jelas: semuanya harus instan. Saya masih tidak mau memasak makanan dan menyeduh minuman karenanya saya hanya membeli roti dan susu kotak untuk disimpan agak lama di kos.
Pada akhirnya, hubungan seseorang dengan ruang di sekitarnya memang dinamis dan berkembang terus. Saya baru saja menamatkan novel karya Luis Sepulveda yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dan ada cerita menarik tentang bagaimana hubungan manusia dengan ruang di sekitarnya dalam buku itu.
Tokoh utama dalam novel itu adalah Antonio Jose Bolivar Proano, seorang kakek tua yang tinggal di desa terpencil Ekuador. Ia tinggal di sebuah gubuk bambu jelek berukuran 10 meter persegi yang beratapkan rumbia dengan isi sangat minimalis: sebuah ranjang gantung dari goni, sebuah meja tinggi tempat si kakek membaca novel cinta sambil berdiri, juga krat bir untuk menyangga kompor minyak.
Kesukaan utama Antonio Jose Bolivar adalah membaca novel berisi cinta yang menyedihkan dengan cara perlahan-lahan karena kemampuan bacanya sangat kurang. Ia sering melakukannya di gubuk reyotnya dalam waktu lama, sebelum kemudian terkantuk-kantuk di ranjang gantungnya dalam waktu lama juga. Si kakek hanya keluar gubuk untuk mencari makan dan tampaknya ia merasa sangat nyaman berada di gubuk itu.
Bagi saya, kenyamanan Antonio Jose Bolivar berada di dalam gubuk sempit itu agak aneh. Pasalnya, bertahun-tahun sebelumnya ia orang yang terbiasa hidup di keluasan hutan yang tak terbatas, berburu beraneka ragam binatang, tidur di pepohonan, dan tinggal bersama orang-orang Indian Shuar yang memang merupakan penghuni hutan. Peralihan itu memang tidak terjadi dalam waktu cepat tapi gubuk dan hutan tetap kontras yang kentara.
Tentu saja ada faktor “kisah cinta” dalam peralihan itu, sebab Antonio Jose Bolivar merupakan orang yang terobsesi pada cintanya yang berakhir sedih dan karena itu ia kecanduan pada novel cinta yang penuh kesedihan tapi berakhir bahagia. Dan novel cinta itulah yang memang membuatnya memilih untuk menetap di gubuk bambu itu dan ia menemukan kenyamanan yang tak tergugat di sana.
Tidak seperti Antonio Jose Bolivar yang menemukan alasan pasti kenapa ia nyaman menetap di gubuknya, saya tak tahu pasti apa yang membuat saya kini lebih nyaman berada di kamar kos. Mungkin karena sekadar adanya faktor “kebaruan” di ruang itu atau karena sejauh ini kamar itu lebih rapi daripada yang dulu. Tapi, betapapun kini saya lebih nyaman berlama-lama di kos-kosan, saya tetap susah menganggap ruang itu sebagai tempat tinggal. Bagi saya, ia tetap saja ruang transit, tempat kita mampir sejenak sebelum pergi kemudian.
NB: ilustrasi diambil dari sini
kalo sekarang tubuh dan pikiran kita bukannya lebih banyak dihabiskan di ruang maya ya? hehehe
banyak terkoneksi dg internet sih iya, tapi saya gak menganggap internet itu sebagai “ruang” tersendiri kok mas. itu juga bagian dari dunia sehari2. hehe.
Tinggal menunggu waktu saja mas haris sebelum kebosanan kembali datang 😀 hehe
walah, semoga saja tidak lekas bosan! 😀
malah bagus kalau anda aktivitas di luar kos pak, cari banyak pengalaman. dari pada terkungkung sendirian di kamar kos yang sempit.
salam.
semoga kenyamanan di kost barunya awet.