Karena Kami Tidak Takut
Hari masih pagi ketika keponakan saya yang berusia 3 tahun mendatangi tempat tidur saya. Sambil memanggil-manggil nama saya, ia menyodorkan koran Solopos hari ini. Keluarga saya tak berlangganan koran dan tidak hobi membaca berita, jadi kami hanya menemui koran di rumah pada kondisi yang agak luar biasa.
Dan, hari ini memang termasuk yang tidak biasa, terutama untuk kami yang tinggal di Solo. Semua orang ingin mendapat informasi mengenai baku tembak yang kemarin malam terjadi di Jalan Veteran, Solo, yang diduga terkait dengan penembakan pos polisi sehari sebelumnya di wilayah Singosaren.
Kemarin malam saya tidur tepat pukul 12 malam demi mengikuti siaran berita di TV One dan Metro TV, juga mengamati berita-berita melalui Twitter dan situs berita online, serta ngobrol dengan beberapa kawan via BlackBerry Messenger, untuk mengetahui informasi sedetail-detailnya terkait baku tembak itu.
Saya tidur dengan rasa penasaran yang masih tersisa terkait baku tembak itu, dan saat bangun pagi harinya, saya langsung disergap oleh berita-berita soal peristiwa itu lagi. Begitu benar-benar membuka mata pagi tadi, saya menemukan Solopos yang digeletakkan keponakan saya, dengan headline tentang tewasnya tiga orang dalam baku tembak itu.
Seperti saya, semua orang yang tinggal di Solo mungkin tertidur kemarin malam setelah mendengar soal baku tembak itu, dan kemudian, saat bangun tidur keesokan paginya, langsung bertemu lagi dengan berita-berita ihwal kejadian mengenaskan itu. Lalu, sepanjang hari ini, kami semua membicarakan peristiwa itu, lengkap dengan pelbagai bumbu, spekulasi, teori konspirasi, dari yang masih bisa diterima akal sampai yang paling imajinatif.
Salah satu hal yang paling sering dibahas adalah, bila benar aksi penembakan itu merupakan aksi terorisme, bukan kriminal biasa, kenapa para pelakunya memilih Solo? Tentu saja ada banyak faktor, tapi menurut saya, salah satu alasan yang paling masuk akal, para pelaku teror itu butuh publikasi besar (sebab tanpa publikasi aksi teror tak mencapai daya destruktif yang maksimal) dan dengan melakukan teror di Solo, mereka akan mendapatkannya.
Kondisi Solo terus-menerus disorot akhir-akhir ini terkait dengan majunya Walikota Joko Widodo dalam Pemilihan Gubernur DKI tahun ini—salah satu peristiwa politik terbesar tahun ini yang akan terus mendapat perhatian besar dari media massa. Segala yang terjadi di Solo akan dengan mudah dikaitkan dengan Pilgub DKI, dan oleh karena itulah publikasi atas peristiwa-peristiwa di Solo akan mendapat tempat yang luas di media massa.
Kemenangan Jokowi di putaran pertama Pilgub DKI menaikkan pamor Solo, dan mungkin bisa dikatakan (untuk sementara) bahwa Solo adalah kota terpenting kedua di Indonesia setelah Jakarta pada hari-hari belakangan. Lagipula, dalam soal keamanan, bukankah Solo sudah dikenal sebagai “kota sumbu pendek” yang mudah disulut?
Dengan semua faktor itu, Solo kelihatannya menjadi kota yang paling strategis untuk melakukan aksi teror di Indonesia (selain Jakarta tentu saja), tapi benarkah demikian? Benarkah aksi teror ini menimbulkan ketakutan yang meluas?
Bisa dikatakan kami, warga Solo dan sekitarnya, akan terus teringat baku tembak itu, juga terus-menerus mencari informasi paling update, tapi pertanyaan terpenting dari semua hal ini adalah: apakah kami takut? Ya, jika rangkaian penembakan terhadap pos polisi yang sudah terjadi tiga kali sejak akhir Ramadhan lalu itu memang sebuah teror, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah teror itu berhasil? Apakah kami merasa terteror?
Jawabannya: tidak. Kami ternyata tidak takut. Bisa dikatakan bahwa kami memang akan terus “terikat” dengan penembakan itu, tak bisa melupakannya sampai beberapa hari ke depan, tapi ingatan dan “rasa terikat” itu, menurut saya, sama sekali tidak menimbulkan rasa takut. Kami beraktivitas seperti biasa: para pekerja berangkat ke kantor, pelajar pergi ke sekolah, dan para pedagang masih membuka kios mereka.
Solo masih normal hari ini, dan akan terus begitu. Bahkan, yang agak karikatural, tapi ini khas Indonesia, tempat terjadinya baku tembak kemarin malam itu justru ramai didatangi warga yang hendak “menonton”. Dari pagi sampai siang, berdasar siaran sejumlah televisi dan berita di situs online, warga Solo berbondong-bondong datang ke pertigaan dekat Lotte Mart yang menjadi titik baku tembak itu.
Padahal, kalau mau berpikir agak mendalam, apa yang sebenarnya hendak ditonton di sana? Jalan tempat baku tembak semalam tentu saja sudah dibersihkan, police line sudah tak ada, ceceran darah sudah ditutupi pasir, dan selongsong peluru pasti telah diambil oleh polisi. Tapi, ketiadaan semua hal itu ternyata tak membuat minat masyarakat untuk “menonton” surut. Siang tadi, paman saya berkunjung ke rumah kami, dengan alasan “mampir sebentar setelah nonton tempat tembak-tembakan”.
Jadi, sudah jelas, bukannya menimbulkan perasaan terteror, baku tembak kemarin malam itu justru menimbulkan rasa penasaran. Terorisme, yang harusnya membuat orang-orang takut dan menjauh, kini justru membuat orang penasaran dan mendekat. Dipandang dari sisi pelaku teror, bukankah ini kontradiktif?
Jelas. Sebab, terorisme akan selalu kontraproduktif jika masyarakat yang menjadi sasarannya tidak mempan diteror dan ditakut-takuti. Situasi kontradiktif itulah yang terjadi pada aksi penembakan di Solo akhir-akhir ini yang direncanakan sebagai aksi teror tapi tak pernah benar-benar berhasil. Karena kami tidak takut.
Terima Kasih, Tulisan yang sangat membantu. Salam Sukses!